(pergi
pulang omben maddis;
kisah
buat Aida, Azmil,Tata,Azka dan Amira)
|
Foto: oleh M.A Ramadhan |
Usai shalat jumat, 1 Syawal 1436 H. Rencana Ayah sekeluarga dengan mantu dan cucu-cucunya berkunjung ke keluarga
yang ada di Maddis –Pamekasan. Rencana
berangkat usai jumatan sedikit tertunda karena ada tamu menemui Ayah dan
kelihatannya sangat prnting. Namun kegelisahan kami untuk segera bertemu family
di Maddis. Saya menyuruh ponakan yang paling keciluntuk menemui Mbahnya,
danmengajak untuk segera berangkat.
Jam digital di telpon pintar menunjukkan angka 13,30. Kami
bersiap dan berkemas. Adiksaya tengah menyiapkan kendaraannya untukmembawa kami
semua melaju ke arah timur.Arah Pamekasan. Kami berangkat bersama keluarga
besar kecuali si bungsu yang ada di kota
lain bersamakeluarganya. Mobil yang tak terlalu besar dijejali tubuh orangtua,
dan cucu-cucu ayah yang balita, anak-anak dan remaja.
Terik. Matahari membakar, aspal jalanan yang hitam mendidih.
Tapi keinginan untuk berkunjung dan keterbatasan waktu kami tak menghiraukan panas yang menyengat. Mobil
bergerak ke arah timur, Pamekasan.Acara keluarga rutin yang dilakukan setiap
tahun. Hanya pada saat iedul fitri kami bertemu dengan sanak famili. Pertemuan
kali ini adalah tahun keempat setelah nenekmeninggal dunia. Sebuah pertemuan
yang singkat,karena ketika masih ada nenek kami bermalam di rumah nenek. Namun,
pertemuan yang sngkat ini amat bermakna untukmerekatkan kembali hubungan
keluarga.
Sebulan yang lalu di pertengahan juni, kami semua berkumpul
karena ada saudara sepupu seusia dengan saya meninggal dunia. Susmiyati putri
pertama Nyah Rihah. Artinya kami berkumpul dengan keluarga besar dari pihak
ibu,ketika ; pertama ada sanak famili yang menikah atau berkeluarga.Kedua, ada
anggota keluarga yang meningal dunia, dan yang ketiga saat hari raya iedul
fitri. Kali ini kami akan menuju rumah Nyah Rihah di desa Maddis. Satu-satunya
saudara Ibu yang masih ada,karena yang lain (Siti Aminah, Moh. Bahrah, Moh.
Sahi, dan Moh.Ali Wafa) sudah meninggal dunia.
Jalanan ramai oleh kendaraan yang bising di telinga. Di bulan
semacam ini orang-orang Madura yang ada di rantau pada pulang semua. Mereka
membawa kendaraan roda empat dan roda dua membuat jalan makin sesak saja.
Kendaraan yang menjadi tumpangan mereka,sekaligus penanda kehidupan mereka di
tanah rantau. Desa omben semkain padat,sepanjang tepain jalan bangunan rumah
dan pertokoan menyita perhatian.
“Desa Kapitalis” begitu saya menyebut. Saya masih ingat
sepanjang jalanan ini dulunya masih sepi rumah-rumah berdiri di natara tegal
dan kebun. Kini tak ada lagi. Bangunan bertebaran dan lahan semkain mahal dan
tak ada ruang untuktumbuhan mencengekramkan akar dan menjuraikan reranting.
Kampung yang panas. Sedari dulu kampung dan desa ini tak pernah sepi. Seperti
saat ini, shalat ied baru usai beberapa jam yang lalu. Toko-toko sudah pada
buka menyediakan jasa bagi para konsumen.
Silaturahmi berlangsung di masjid dan dengan tetangga
sekitar, bersalam-salaman mengucapkan idul fitri dan memohon maaf lahir dan
batin. Sederhana. Tak ada kunjung-mengunjung di rumah. Ini hanya dilakukan
antar sanak famili. Maka, yang berjualan kembali membuka lapaknya. Mereka yang
memiliki toko membuka lagi gerainya. Juga pasar Omben yang baru saya lewati
ramai dengan jual beli.
“Ada yang butuh, maka kami layani,” begitulah yang muncul dalam
benak. Saat ini apa yang mereka butuhkan tersedia juga. Meski di hari raya, mereka siap melayani.
Semua tersedia dengan harga yang setara.
Sepanjang jalanan, berpapasan dengan kendaraan bermotor
dengan nomorpolisi yang menunjukkan domisili diluar Madura. Mereka pada “toron”
merayakan idulfitri dan menyambung kembali tali silaturrahmi. Laju kendaraan
perlahan meninggalkan halaman; Omben,
Temoran, Meteng, Pangundung, Madulang, Badung,Pangbatok, Panagguwan,
Jambiringin, Propppo, Samatan, Nylabuh, Bugih, Gadin, Gladak Anyar, Kolpajung,
Nyalaran, Blumbungan, Maddis. Desa-desa yang dilintasi. Desa yang tertanam
dalam benak dan selalu kami lewati setiap berkunjung ke rumah nenek. Jarak yang
tak terlalu jauh, takkurang dari 30 kilometer bentangan.
Melewati pasar Madulang, orang-orang berpakaian baru,
anak-anak,remaja,tua dan muda tumpah ruah ke jalanan. Bunyi petasan bersahut
dengan gelak tawa anak-anak yang kegirangan telah mengagetkan beberapa
perempuan disekitarnya. Pedagang bakso, rujak, soto ramai melayani pembeli. Ya
tak ketinggalan muda-mudi tengah beraksi menunjukkan kekasih mereka. Tellasan
yang selalu memberikan cerita berbeda di setiap tahunnya.
Tanah-tanah tumbuh bangunan rumah di sepanjang tepian
jalan.Perubahan yang terus bertumbuh, menindih lahan pertanian. Bukit-bukit
dikepras, dijualpasirnya.pohon-pohon ditebang dijualkayunya. Tanah-tanah dijual
didirikan bangunan di atasnya. Desa-desa tumbuh menyusul kota yang angkuh.
Bukit-bukit teah kehilangan pohon. Seperti bukit di sebelah
timur rumah nenek tak ada lagi pohon ‘Polai” tebing-tebingnya diruntuhkan
dijual pasirnya. Sumur yang dulunya
menjadi sumber mata air keluarga di rumah nenek, telah lama mengering.
Rumah-rumah tumbuh. Orang-orang tumbuh dengan berbagai aktivitasnya. Jalanan
aspal diperlebar dan kian mulus memperlancar laju mobilitas antar daerah. Gerak akseleratif yang ditopang dnegan
kemajuan teknologi informasi dalam genggaman tangan.
Skitar pukul 14.05 kami tiba di rumah nyah Rihah. Semua sedang berkumpuldi teras rumah sambil
bercengekrama bersama putra-putrinya. Suasana yang selalu hadir dan membekas
dalam ingatan saya sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Rumah ini juga tumbuh ke arah barat dan ke
arah timur dan di ujung barat halaman rumah berdiri kokoh “Kobhung” tempat
shalat keluarga atau ketika melakukan hajat mengundang tetangga dan sanak
famili. Rumah yang teduh di antara pepohonan dan selesir angin kemarau.
Tak ada yang berubah dari atmosfer rumah ini. Pohon-pohon dan
perdu menjadi pagar batas halaman; nangka, kelapa, jambu air, jambu biji,
kembang sepatu, mangga, kanitu dan banyak pohon semak yang tak kukenal namanya.
Pohon-pohon yang merindangi rumah Nyah Rihah, membuat iklim di rumah ini
menjadi sejuk dan nyaman.
Bahagia menyelimuti kami semua, meski sebulan yang lalu
dirundung duka dengan meningalnya saudara Susmiyati. Tapi kami ikhlas dan selalu
mengiriminya doa semoga diampuni segala dosa dan diterima segala amal baik yang
akan menjadi temannya di alam baka. Dengan kunjungan semacam ini kami berupaya
merajut persaudaraan dan pertalian kerabat semakin erat setelah moyang-moyang
kami meninggalkan alam fana. Setidaknya kami masih berkeumpul ketika ada acara
khaul kematian, pernikahan anggota
keluarga, dan hari raya.
Di kampung Maddis, masih terdengar bunyi petasan seperti
bunyimeriam bersusulan. Mercon retengan yang dibuat sendiri. Untaian mercon
dari ukuran kecil sampai ukuran terbesar jadi satu ikatan beruntai,sehingga
ketika salah satu mercon yang kecildisulut,maka secara berantai dan meletuskan
untaiaan mercon yang suaranya terdengar semakin memebsar dan bunyi terakhir
sebagai penutup memiliki dentuman bagaimeriam. Tidakmustahiljika mereka
mengeluarjan biaya jutaan rupiah untukpesat mercon rentengan semacam ini. Tradisi ini masih hidup di kampung Maddis.
Tak lama, kami disuguhi soto ayam kampung. Soto buatan
nyannyah yang sedap. Suguhan yang selalu kamitunggu setiapberkunjung ke rumah
Nyannyah di hari raya. Meski sudah tua, nyannyah masih terlihat sehat dan
cekatan. Beliau berpesan, kalau kami harus tetap rukun, menjalin tali siaturrahmi
supaya hubungan kekeluargaan tetap terjalin.
Inilah soto ayam kampung kami, soto ayam Madura. Potongan
ketupat, suhun, suwiran daging ayam kampung, gorengan bawang poutih, gorengan
cambah, dan potongan telur ayamkampung menyeruak aroma gurih dan sedap. Aroma
yang membukakembali memori berpuluh-puluh tahun yang lalu,ketikakami
masihkanak, merasa senang dan nikmat menyantap soto ayam yang tidak setiap hari
kami makan. Puluhan tahun lalu ketika jaman masih tidak enak,ketika
perekonomian keluarga ayah masih kembang- kempis. Kenangan ketika memori rasa
kami belum dikontaminasi soto Lamongan.
Usai menyantap soto, kami sholat ashar di kobung yang ada di
ujung barat halaman. Tempat yang kembali mengingatkan masa kecil, ketika tempat
itu juga berfungsi untuk menanmpung tidur anggota keluarga laki-laki yang sudah
dewasa dan belum berkeluarga. Sehingga di bagian depanya dilengkapi dengan
penutup yang bisa diangkat dan diturunkan untu menahan angin kencang yang berseliwer di halaman.
Kami berpamitan untukmelanjutkan silaturrahmi ke keluarga
yang lain,ke rumah Nom Wafa (alm). Ke
arah selatan tepat di bawah bukit dan tanjakan jalan yang menikung. Ternyata, ke rumah Joko Rabsodi dan Didik
terlebih dahulu. Saudara-saudara sepupu yang dulu masih sangat akrab dan saling
bersilaturrahmi ketika paman-pamanku masih lengkap.
Memasuki halaman rumah Joko dan Didik, semua memori masa
lampau kembali bergerak, memutar waktu. Ketika kakek dan nenek, Anom dan
Nyannyah masih lengkap. Rumah yang riuh dan selalu menebarkan kisa saat bertemu
sepertilebaran saat ini. Ingatan yang kembali menghadirkan kakek yang mantan
opas (polisi) dengan kedisiplinan dan ketegasannya. Serta Nenek yang penyabar dengan cucunya yang
nakal dan yatim serta piatu. Ya, beliau yang mengasuh sepupu-sepupu yang
ditinggal oleh Ibu dan Ayahnya karena dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Semoga
Allah mengasihi dan memberikan tempat
yang indah di sisiNya.
Kenangan ketika halaman ini dirindangi oleh mangga golek dan
pohon jeruk sedangkan di tebing timur halaman rumah pohon “Pao Tabar” yang
kecildan manis. Pasti,setiapmusim berbuah tiba,kami akan dibekali oleh-oleh
satu glangsing buah mangga,hasilpanen di halaman rumah dan di tegal milik nenek.
Mandi bersama di sumber mata air yang ada di seberang jalan . Kini sduah
kering kehilangan sumber mata air.
Di rumah Joko, kami dihidangi rengginang, jagung goreng, es
godir,dan es manis dibungkus plastik.
Kami tak lama bermaaf-maafan,sedikit berbagi kabar dan pindah ke rumah di
seberang jalan rumah Nom Wafa (alm). Kami bertemu dengan anak-anak Nom Wafa dan
si bungsu Iqbal, kini menjadi siswa baru di SMP
Negeri 2 Pamekasan. Sementara Ana, baru memasuki bangku Perguruan
Tinggi.
Kalau di rumah Nom Wafa, pastinya Lek Nur akan menyediakan
makan besar; nasi, semur daging dan ayam. Yang terasa khas dilidah bumbunya yang terasa
manis dan gurih . Kami tak bisa makan banyak karena lambung sudah terisi soto
ayam. Kami harus menghargai sajian yang ada untukmencicipi karena kalau tidak
mencicipi akan mengecewakan tuan rumah.
Tak terasa sinar matahari mulai redup,gerakmatahari condong
ke arah barat seakan mulai mengintip pintu sore. Jam digital menunjukkan angka 16.45 w.i.b. Kami bersiap pulang ke Omben.
Kami berpamitan, dan melanjutkan
perjalanan pulang. Jalan ke arah Pamekasan,ramai terutama oleh
kendaraan roda dua. Mereka yang baru pulang dari bersilaturrahmi dan berkreasi
di berbagai tempat wisata. Dari arah Pamekasan belok kanan menuju pusat kota ke
munomen Arek Lancor depan masjid Syuhada belok kiri lurus menuju arah Omben.
Perjalanan agak terganggu memasuki wilayah Panagguwan sampai pangbatok. Di kanan kiri jalan
muda-mudi,dan orang dewasa berbaur dengan pakaian anyar yang menarik. Mereka
merayakan idul fitri dengan beremai-ramai
berkumpul, Ada yang berbagi cerita ada yang tengah memesan makanan Bakso
dan Rujak. Sedangkan sebagian lagi anak-anakkecilmembeli balon pada penjual
mainan yang ada di lokasi. Suara petasan menjadi jeda di antara percakapan dan
gurauan mereka. Saat ini kami dapat
melihat aneka model gaun dan celana serta model rambut yang paling
mutakhir.
Desa-desa yang kami lewati dengan para penghuniya telah
berubah secara perlahan dan pasti. Perubahan gaya hidup yang merekaperoleh dari
mobilitas mereka keluar daerah dari kampung halaman atau diperoleh dari telpon
pintar yang ada dalam genggaman tangan mereka.
Mereka tengah menunjukkan perubahan identitas mereka yang terus bergerakmendekatai kota lewat
akses infrastruktur jalan yang makin mulus, dan alat transportasi (sepeda motor dan mobil) yang semakin mudah diperoleh.
Lima kilometer menjelang rumah. Keramaian mulai terlihat lagi
hala yang sama dengan keramaian sebelumnya. Berkumpulnya massa di pasar Madulang dengan aneka aksesoris tubuh .
Sepeda motor dengan aksesorisnya dan nomorpolisi yang menunjukkan mereka adalah
para perantau yang pulang kampung. Mereka yang sebelas bulan mengerahkan tenaga danpikirannya menyambut kerja untuk
mengumpulkan materi dan saat ini mereka menikmatinya, berbagi dengan teman.
Mereka pendistribui perekonomian perkotaan ke kampung halaman.Hasilkerja keras
mereka tumpah kembali saat “toron”,pulang kembali ke kampung halaman.
Dua puluh meter dari pasar ada konvoi sepeda motor.Makin
dekat raung suaranya kian keras memekakan telinga. Tak salah, ada sekitar seratus motor yang
dipimpin oleh tiga orang pemuda menuntun
sepeda motornya dengan suara gas yang ditarik ulur meninggalkan suara
geronggong gaduh menabuh gendang telinga. Di belekangnya dengan warna kaos
serta tulias yang sama. Tulisan yang menyudut ke kiri atas warna merah di dasar
kaos yang berarna putih. Nama yang menunjukkan
kemlompok mereka.
Mereka meminta perhatian sejenak bagi warga sekitar dan
orang-orang yang berpapasan dengannya.
Raung suara yang menimbulkan ketakutan bagi yang berpapasan.Namun seutas senyum
dan gelak tawa terlepas di antara mereka. Senyum ynng menyapa bagi pengedara
yang berpapasan dengannya.
Saya tidak tahu,
apakah mereka bekerja di jalan yang benar. Apakah mereka yang menjadi penggagu
pengendara di jalanan di tempat mereka merantau. Atau mereka mengusik ketengana
warga di suatu kampung. Mereka adalah saudara-saudara saya. Anak bangsa yang
meminta perhatian dari sekitarnya termasuk juga negara. Pmerintah tidak pernah
menanyakan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Persoalan apa yang mereka temukan di tanah rantau.
Saya menyebut mereka adalah petarung yang ingin
mempertahankan diri dari perubahan-perubahan yang terus mendesak dan
menyeretnya. Ada dari mereka yang terseret menjadikan dirinya motor yang taklagi menggunakan hati nurani.
Mereka menggerakkan hidupnya hanya untuk hidup dan memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Apakah ini kegagalan dunia pendidikan membangun karakter anak didiknya?
Entahlah karena karakater paling dasar di bangun di dalam rumah. Apakah
kegagalan rumah tangga dalam mendidik putra-putrinya? Tak tahulah. Ini cerminan
anak-anak muda yang ada di kampung-kampung saat ini.
Tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah. Pikiran saya
buyar dan mendapati matahari telah tertelan ufuk barat. Memerah beriring suara
sholawat mualik di langgar sebelah.(Hidayat Raharja).
Jumat,
17 Juli 2015. Lebaran hari pertama