(Pembacaan atas “Kembang Pitutur dan Opus 154)*
Oleh:
Hidayat Raharja**
------------------
1
Selamat Datang
Membicarakan perkembangan
kesusastraan khsususnya perpuisian di Madura, sesuatu
yang sangat menarik. Generasi
kepenyairan yang terus berledakan di berbagai tempat, utamanya dari komunitas
pesantren yang senantiasa beriak. Juga di luar pesantren yang menyemburkan letupan semburat mewarnai khasanah
kesastraan. Dalam hal ini kehadiran Alek Subairi dengan buku himpunan puisinya
“Kembang Pitutur” dan R Timur Budi Raja dengan buku himpunan puisinya “Opus 154”. Keduanya merupakan representasi
dunia kepenyairan di tanah Madura, yang selama ini selalu muncul dari wilayah
timur, tetapi keduanya lahir dari tanah Sampang dan Bangkalan, wilayah Madura
di bagian barat.
Madura, daerah yang terus menggerakkan kultur dan
masyarakatnya menuju wilayah-wilayah baru. Wilayah yang memungkinkan terjadinya
pembauran bahasa dan kebudayaan sehingga mengahasilkan kultur hibrid yang lokal
dan global dikenal dikenal dengan Glokalisasi. Dua wilayah yang saling bertemu
dan membentuk variannya. Sebagaimana kita lihat pada supporter Taretan Mania - P.MU (Persepam- Madura United) dengan kaos loreng
merah putih yang dipadukan dengan celana jeans, bukan dengan gombor hitam yang menjadi ciri
khas masyarakat Madura agraris. Pola dan bentuk semacam ini dapat ditemukan
pada sajak-sajak dari tanah Madura mutakhir ini.
2
Glokalisasi
Menurut Ohmae, Kinichi. (1995) dalam bukunya The End of The nation state: the
Rise of Regionaleconomics,
menjelaskan mengenai ciri dari Globalisasi yang dinamakannya sebagai borderless world yang ditandai dengan empat “I”. Pertama, investasi, yakni
maraknya pasar modal yang melintasi batas negara. Kedua, informasi, yakni
merebaknya jasa informasi dan industri dan membawa kita pada tatanan dunia global.
ketiga, industri, yakni bangkitnya berbagai perusahaan multinasional yang
global, menggantikan peran pemerintah. Keempat, yakni muculnya individu sebagai
konsumen sangat membutuhkan produk yang trendy, berkualitas tapi murah.
Dalam perkembangannya globalisasi bersilangsengkarut dengan
budaya lokal yang menciptakan Glokalisasi yang ditandai dengan:
1.
Dunia sedang tumbuh menjadi pluralistik
2.
Individu-individu dan kelompok-kelompok lokal memiliki kekuasaan besar
untuk menyesuaikan diri, memperbarui dan melakukan manuver dalam sebuah dunia
glokal.
3.
Proses-proses sosial adalah berhubungan dan saling tergantung. Globalisasi
memancing berbagai reaksi, dari kubu nasionalis sampai penerimaan kosmopolitan,
yang hidup dari dan merubah grobalisasi yang menghasilkan glokalisasi.
4. Komoditas-komoditas
dan media, arena dan kekuatan kunci dalam perubahan budaya pada akhir abad 20
dan awal abad 21 tidak dilihat sebagai (secara total) yang koersif, namun lebih
sebagai penyedia materi untuk dimanfaatkan dalam kreasi individual dan kelompok
di seluruh wilayah dunia yang terglokalisasi.
3
Alek, Ruang Tafsir yang Bersudut dan Bersegi
Jika selama ini wilayah Madura Bagian Sampang dan Bangkalan
dipetakan sebagai basis pergerakan yang terbuka dengan pelbagai tindakan yang
selalu didekatkan pada tindakan kekerasan dan kriminal sebagaimana penelitian
yang dilakukan Elly Towen Bousma yang mengambil sampel di daerah Sampang dengan judul “Kekerasan
Di Tengah Masyarakat Madura”. Sebuah simpulan yang mengidentikan orang
Madura sama dengan mafia di Sisilia - Itali. Pun pada penelitian Rozaki “Menabur
Kharisma Menuai Kuasa; Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim.” penelitian yang mengamati ranah kekuasaan antara kyai dengan kaum blater
sebagai elit penguasa yang berpengaruh dalam masyarakat Madura. Namun di dalam
diri kedua penyair ini, tanah Madura merupakan tanah kelahiran yang memberinya
spirit untuk bergaul dengan masyarakat global secara terbuka. Pergaulan yang
memungkinkan eksis, berbaurnya genetika lokal dengan getika lain tanpa harus
kehilangan identitas atau menemukan identitas baru.
Alek Subairi dan R Timur Budi Raja, dua sosok yang amat
menarik terutama jejak dalam puisinya dan keduanya muncul dengan tempuhan jalan
yang berbeda. Membaca pusi-puisi Alek, memasuki sebuah dunia perpuisian yang
berseliweran di antara detak genetika tradisi yang mulai bermetamorfosis dalam
kegaduhan masyarakat urban. Sehingga di dalamnya kita tak akan menemukan
terikan-terikan yang menghunjam kepada vulgaritas kekerasan sebagai mana yang
muncul dalam simbol-simbol masyarakat agraris Madura. Namun kearifan itu terus
menemukan ruang aktualisasinya yang baru. Sebuah ruang yang memungkinkan setiap
pembaca untuk meberikan tafsir tanpa harus dikerangkeng dalam tafsir tunggal.
Tidak adanya sebuah pengantar atau pun
epilog yang menjadi penuntun tafsir bagi pembaca dalam himpunan “Kembang
Pitutur” adalah penanda bahwa ruang
tafsir disediakan secara terbuka, dari berbagai sudut pandang pembaca.
Aktualisasi genetika tradisi lokal ke dalam peradaban global
sebagai identitas yang bergerak dinamis bersamaan dengan perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi . Bahasa sebagai komunikasi memiliki potensi-potensi
yang memberikan berbagai tafsir dan bahkan imajinasi baru bagi pembaca. Bahasa
iklan bukan hanya komunikasi tetapi juga sebuah kemasan yang mampu menjarah
pemikiran konsumen sehingga merasa dekat dan (harus) memilikinya. Kugaduhan
bahasa iklan dalam ruang publik adalah sebuah kegaduhan yang memaksa bahasa
puisi untuk menghindarinya, sehingga tidak menjadi propaganda atau hanya
sekedar jejalan kata yang kehilangan makna.
Upaya penyeleksian semacam ini dilakukan oleh Alek dalam
puisinya untuk menjadikan bahasa puisi sebagai bahasa yang berbeda dengan iklan
ataupun sebuah berita. Bahasa yang masuk dalam bangunan tubuh puisi menyalin
diri dan bermetamorfosis untuk menemukan tafsir yang lain. Salah satu celah
untuk mengintip dan membuka puisi-puisi Alek adalah pilihan katanya yang amat
beragam antara identitas lokal dan beberapa idiom yang dibiarkan masuk ke dalam
bangunan tubuh pusinya, sehingga menjadi sesuatu yang sembunyi menyimpan makna
puisi itu sendiri.
Badendang, lengkung besi, imigran gelap, kanda, dinda, sang hyang, kendi, tikar, talam, labang, kidung, ning, toron, laut,
adalah pilihan kata yang berbaur antara yang lokal dan yang urban. Kata yang
kemudian membuka berbagai kemungkinan tafsir bagi pembaca,sebagaimana dapat
kita nikmati pada puisiberikut:
Senjakala ialah lelaki yang
pergi
dari rumah, dari kuntum dan
gunjingan
(Mitos Senjakala 1 (surat pisah)
halaman 48)
Merantau atau pergi dari rumah
adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh orang Madura. Ada saatnya ketika
seorang anak dirasa cukup dewasa untuk meninggalkan rumah, baik untuk menimba
ilmu ataupun untuk menimba pengalaman hidup, sehinga akan mendewasakan diri.
Maka tidak heran jika kebiasaan merantau ini akan banyak memberikan pengaruh
kepada kehidupan orang Madura, termasuk juga dalam berkomunikasi atau bahasa. Biasanya
mereka akan mebawa kultur baru ke tanah asal yang memancing orang di sekitarnya
untuk melakukan hal yang sama. Merantau yang mebawa perubahan bagi mereka, baik
perubahan di sektor ekonomi, gaya hidup, mau pun dalam komunikasi.
Bakti yang mengantarku padamu
dan aku tak tau mengapa tubuhku
tak menyesali hidup
berpindah-pindah
(Kendi,halaman 4)
Jelaslah bahwa apa yang
dilakukan penyair adalah sebuah kesadaran untuk tak menyesali keberpindahan
dari yang lokal ke yang urban atau pun sebaliknya, sebab apa yang dilakukannya
tidak lain adalah sebagai bakti, pengabdian tulus untuk membiarkan kata dan
peradaban bergerak menemukan nasibnya. Pergerakan yang tak patut untuk
dicemburui apalagi dicurigai, sebab sunyatanya disitulah ruang kreativitas
bergerak dan peradaban bergulir menemukan sebuah dinamika yang mengisi
ruang-ruang baru sebagai penanda di setiap jaman. Apa yang dikatakannya dalam
potongan ”talam” perpindahan-perpindahan semacam itu tak akan mengurangi rasa
senang dan tak akan menghalangi pandang.
Seperti sepi pada kendi
menjelang pagi
sepikan namaku dari cemburu
apabila
hidangan telah sampai pada doa.
….
Bila datang, kukenang yang
mula-mula malam
sehingga kalau kelak berpapasan
di kembang lain
senangku tak berkurang,
pandangku tak terhalang
(Talam, halaman 6)
Tradisi bagi masyarakat Madura, sebenarnya
bukan sesuatu yang harus dipertahankan secara rigid, sebab sejatinya budaya dan
tradisi Madura bergerak secara fleksibel. Hal ini bila kita pahami secara
arif, tradisi menandai kelahiran bayi
bagi masyarakat Madura, pada masa itu ditandai dengan membunyikan “ronjangan” sebanyak tujuh kali jika bayi
laki-laki, dan bunyi genap jika perempuan. Di Sumenep ditandai dengan mengantarkan
“cangkarok” yang terbuat dari
ketandan kacang hijau yang ditaburi parutan kelapa bagi tetangga dan famili.
Saat ini “cangkaro’ ” telah diganti dengan mie instan, “mulang are” tidak harus menunggu 40 hari
kelahiran tetapi diberikan saat nyambangi ibu yang lahir semua bisa menerima.
Pun juga tradisi “toron” yang berbeda dengan tradisi mudik,
sebab pada tradisi toron bukan hanya sekedar
kembali pulang dari rantau berkumpul dengan keluarga,tetapi mempersatukan
keluarga. Saat itu juga bersilaturrahmi dengan guru atau kyai. Biasanya tradisi
toron dilakukan berkaitan dengan tiga
hal, antara lain: hari raya idulfitri /idul adha -pada hari raya ini biasanya
beberapa hari berikutnya disertai dengan banyaknya undangan pernikahan , kematian,
dan perayaan maulid nabi. Hal ini dapat kita nikmati pada bagian awal dari
puisi “Toron” berikut ini.
melihat ke utara, efni.
orang-orang mengikuti lorong
ke sebuah halaman yang
berbenah dari belah.
udara menabur keping warna
:janur pengantin
Dalam baitnya yang lain, Alek
menegaskan bahwa persoalan harga diri, jika mainan atau kekasih diambiil lelaki
lain merupakan sebuah hinaan martabat atau harga diri, kadang membuat seseorang
mengalami gelap diri dan melakukan sesuatu yang menurutnya pantas untuk membalas
hilangnya martabat atau harga diri. Sebagaimana
dapat kita simak pada potongan larik berikut: mainannya dicuri pejantan
/dan kau yang gulita menghardik dengan / bahasa kumbang seakan mengiris /petang
jadi siluet selendang. (“Toron”, halaman 42)
Namun sebaliknya, jika seseorang
itu mampu mengambil hati maka ia akan menganggapnya sebagai saudara “Padana taretan”. Dalam hubungan persaudaraan semacam ini,
jalinan pertemanan akan saling menjaga dan melindungi. “lalu ia turun lalu ia
turun ke halaman membagi salam./ salamnya orang gunung./ aduhai rintiknya mau pulang/ antarkan hingga ke belokan (Toron,42-43)
Mempertanyakan kebenaran (kitab)
yang dimaksud dalam masyarakat Madura adalah refrensi yang menjadi rujukan
hukum dalam mengatasi persoalan. Perubahan sosial politis yang berlangsung di berbagai
wilayah melalui media teknologi dan komunikasi tanpa disadari telah memberikan
perubahan-perubahan dan peroalan-persoalan baru dalam kehidupan masyarakat.
Persoalan yang tak terhindarkan pula menyusup ke dalam puisi-puisi Alek.
Persoalan-persoalan ini dapat disimak pada potongan larik berikut:
Kebaikan yang kau kenal dalam
kitab
Kapan datang menenang air laut
Yang meninggi,menenang sampai ke
dapur
Kau menangkap ikan-ikan lalu
melepasnya,
Kerna kebajikan musti diberi
halaman
Supaya yang tumbuh segera
berkabar
Supaya kabar tak berebelok ke
arah yang bimbang
(Telah Datang,45)
Perubahan sosial politik telah
menempatkan kiai yang semula menjadi sumber kebenaran (panutan), kini
dipertanyakan kembali ketika mereka banyak terlibat pada kegiatan politis.
Bukan berontak, tetapi mempertanaykan peran
melalui puisinya. Ketika kebenaran semakin tenggelam oleh keculasan politik, Alek mempertanyakan dan mengingatkan
kebenaran untuk diberi halaman. Ingatan
untuk mengembalikan kebenaran sebagai bagian dari keseharian yang teralienasi
dalam kehidupan nyata. Inilah yang dimaksudkan dengan melakukan
perbenturan-perbenturan tradisi dengan realitas kehidupan kekinian,
saatkebiasan berbuat dan berkata “benar”hanya menjadi sebuah harapan, impian,
dan langka.
“Jangan lewat di jalan yang singkat
Dan tak berkeringat!” begitu
bahasa ibunya.
Sehingga ia membaca dirinya
sebagai
titah yang mencari tafsirnya.
(2 Tato) halaman 49).
Dalam bahasa yang lain budaya
tradisi menemukan ruang aktuliasasi dalam berbagai sisi kehidupan. Di kala
kehidupan dipenuhi dengan sesakan-sesakan jalan pintas, budaya tradisi dengan
kearifan lokalnya masih berpeluang untuk melakukan representasinya dalam
berbagai bentuknya.”Kerja Keras” salah satu budaya tradisi di Madura yang masih
relevan untuk kembali hadir dan menguatkan kearifan masyarakat yang dibentur
dengan pelbagai budaya instan yang meninggalakn proses. Dalam tradisi budaya Madura
kerja keras diistilahkan dengan “apello
koneng” – “jangan lewat di jalan yang singkat dan tak berkeringat!” Sebentuk aktulisasi kearifan lokal dengan bahasa
keikinian yang dilakukan Alek.
Semangat kerja keras juga
disingkap Alek dalam “Tanglok” sebuah pelabuhan kecil yang ada di selatan kota.
Pelabuhan yang menyeberangkan penumpang dari dan ke Pulau Mandangin tetapi juga
ada yang ke pelabuhan lain di sekitar Probolinggo atau Situbondo. Di mata Alek
pelabuhan ini bukan sekedar menyeberangkan orang, dan barang tetapi di dalamnya
berlangsung pergulatan hidup yang kompleks. Kehidupan nelayan, para penimba
ilmu (santri) dan juga yang hanya sekedar menikmati pagi sebelum bekerja di
pelabuhan dengan menyeruput kopi hangat di pangkalan. Pagi menyingkap betis adalah sebuah ungkapan yag memberikan banyak
tafsir yang penuh dengan spirit untuk memulai sesuatu, sebagaimana dalam larik
berikut :
Disini, pagi menyingkap betis, mengantar
keranjang ikan, buah-buahan, dan seorang santri,
juga harum kopi di pangkalan.
Aku ingin menoleh ke kiri juga ke kanan
sebab siapa tau aku tidak sedang pergi
tetapi kembali kepada janji yang tak jadi kuucap
(Tanglok, halaman 10)
Sikap kerja keras yang juga
ditandai dengan slogan-slogan yang muncul dalam kehidupan masyarakat
rural-agraris; “abantal omba’ asapo’
angin” yang kemudian berkembang dalam ungkapan ‘abantal syahadat asapo’ iman” sebuah ungkapan yang bersandar pada
semangat relijiusitas yang menjadi kebiasaan masyarakat di Madura. Dalam
semangat relijius tersebut mereka meyakini tentang adanya hal baik dan buruk,
gagal dan berhasil, meyakini adanya takdir yang mewarnai kehidupan manusia.
Mari kita simak puisi berikut:
Selalu ada yang merpati
Pada rimbun yang gelap,mengusap
Sunyi, lalu melepasnya dalam kabut
…..
Ia jalanku sekarang, tanpa
riak dan undang-undang
:lurus tapi berlekuk
berlekuk tapi sabar.
(Kembang Pitutur, halaman 67)
Sebuah keyakinan adanya hal-hal
yang damai di antara kelam kemelut,pencerahan di antara gulita kehidupan. Jalan
hidup yang fluktuatif, lurus tapi berlekuk,berlekuk tapi sabar. Sebentuk
kehidupan yang dipenuhi dinamika persoalan, dan harus dihadapi dengan sabar.
Di tengah laut, angin ialah pitutur yang bijak
dan di dalam pitutur, telinga tak boleh nakal
karna kabar setiap jengkal menggambar
dirimu.
(kembang Pitutur,halaman 74)
Dalam keadaan yang
terombang-ambing ditengah luas laut kehidupan, maka angin sebagai penggerak
perahu kehidupan menjadi penunutun kemana perahu akan berlabuh.”pitutur
angin”yangmenjadi arah perahu untuk sampai ke dermaga tujuan. Hidup hanyalah
sebuah perjalanan mencari bekal menuju yang kekal
Secara genetis, puisi-puisi Alek
masih berbaur kental dengan tradisi lokal, sebuah bentuk hibrid yang
menimbulkan varian-varian dalam bentuk dan pengucapan yang meberikan ruang
tafsir yang lebih terbuka.
4
Timur yang Murung dan Sunyi
Mengenal Timur adalah hal yang sangat
menarik; enerjik, mobilitasnya tinggi
dan tak pernah diam, sehingga ia adalah salah satu penyair di Madura yang kerap
meningggalkan rumah. Penyair avonturir
yang produktif dan tak pernah diam. Monilitas yang sering mempertemukannya
dengan hal-hal baru, yang kemudian berupaya untuk memadukannya atau memilih di
antara keduanya. Karena di sini Timur telah memposisikan diri sebagai orang
asing yang merupakan persenyawaan antara pantai dan matahari. Sebuah pengumpamaan yang mengantarkan saya
untuk memasuki puisi-puisi Timur dalam kumpulan
“Opus 154”.
akulah itu, orang asing yang tubuhnya terdiri
dari persenyawaan pantai dan matahari
(kepada Laut,halaman 17)
Pertemuannya dengan
persoalan-persoalan atau kultur baru,membuatnya semakin kaya ,sebab dalamkilau
peradaban yang gelimang ia masih awas menyaksikan malamyang bersembunyi di
bawah lautan. Sehingga kerap ia menyuarakan susra-suara lain yang jarang
diusung oleh penyair.
ketika riak laut berkilatan
ditindih malam,ia tahu,
ada yang memiliki mata kaca di
atas sana
mengigau sendirian, menerka
surat atau telepon
dari kekasihnya yang setiap sore
menyelam terbenam
di bawah laut di bawah malam
(sumenep, halaman 18)
Karenanya pula maka tidak aneh
jika dalam puisi-puisi Timur akan banyak kita temui kata-kata yang “asing”
tetapi sangat akrab dalam telinga: opus, sine, ahimsa, impresia, beth, bukek, earth
born, oni, theresia, koji, soliloqium, tutitonca ob waci, fragmentasi fort
roterdam, pesta odissey, rhytm of the birds.
Kata-kata asing yang juga bertemu dengan lombang, tenger, sumenep,
bangkalan, kampung karang, jumiang, wilangon, kamal, lidah wetan,
Perjalanan Timur melintasi
berbagai kota tentunya dengan pelbagai imajinasi tentang berbagai perjalanan
itu,merupakan faktor fisikal dan psikologis yang berpengaruh terhadap puisi
puisi yang dilahirkannya. Pengalaman fisikal dan psikhis yang melahirkan banyak
kisah baru, cerita yang telah berkisah dalam ruang kreativitas, dan pertarungan
untuk lahir dalam sebuah puisi, sebagaimana pada larik berikut:
sesekali kau bercerita tentang sebuah negeri jingga
Penuh kupu-kupu, coklat dan gula-gula. Di sana,
katamu,
ada peri yang menjaga kanak-kanak dan orang-orang
ternista dengan kasih sayang matahari dan bunga.
“jangan berhayal, itu buruk!” sergahku
kita pun kembali sunyi,menjadi lelaki pemberani.
turun dan meraba jalan, ketika malam dihidupkan.
(inilah kita, gus, halaman 50)
Pengalaman yang mengantar pada getir
perjalanan yang dipenuhi kekerasan demi kekerasan yang terus beruntun
menciptakan imajinasi yang lain, imajinasi yang meretakkan ruang khayal,
sehingga menghadirkan realitas puisi yang sunyi, tertekan, dan harus menjadi
pemberani untuk melawan peniadaan. Realitas kekinian yang banyak memperkaya
nafas hidup dalam puisi Timur, sebab tradisi baginya hanya sebuah lampau yang harus dijaga dan tak relevan lagi
dengan kekinian. Dalam kondisi semacam ini,masa lalu adalah kenangan yang
taklagi memberikan apa-apa dalam realitas hidup kekinian yang keras, menekan
dan luka. Tak ada yang menarik baginya dari masa lalu, karena iahidup di masa
kini dan dilepaskan darimasa lalunya.
Masa lampau, napas kunang yang
berjaga.
:agar tak padam api di lubuknya,
agar tak robek kulit tubuhnya
kau pun tamasya ke hutan-hutan
malam
penuh suara
(akar, halaman 115)
Kesedihan pada setiap perjalanan
atau kekerasan dan tekanan yang berlangsung pada setiap tempat menjadikannya
sebagai tamsya yang diabadikan dalam kisah-kisah yang terbingkai dalam
puisinya, sehingga kesedihan, sunyi yang tak terengkuh oleh orang lain, dapat
teraba dalam puisi-puisi timur. Semisal, sepudi yang selama ini dikenal sebagai
pulau Sapi, justru ditemukannya sebagai sebuah pantai yang menagis. Pantai yang
telah kehilangan bakau dan bebatuan karangnya, yang mungkin banyak dilupakan
orang karena telah memberikan keuntungan secara ekonomi dengan mengorbankan
lingkungan pantai yang berubah jadi pemukiman.
Liuk perahu,
tamasya kesedihan dari bibir
dermagamu,
kubawa pantai yang menangis.
pantai yang melahirkanmu
pada tiap batas dan seringai
ingatan
(sepudi, halaman 117)
Realitas ini semakin menjadi,
ketika otonomi dijdiikan sebagai harapan baru dalam pemenuhan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat. Justru, otonomi telah menciptakan penguasa-pengusa
baru yang melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam di berbagai tempat.
Eksploitasi penguasa mengakibatkan lahirnya wilayah-wilayah yang telah
kehilangan keutuhan ekosistem sosial dan ekonominya. Di saat swalayan dan
berbagai waralaba menyerbu sampai ke pelosok daerah. Indomaret, Alfamart,
adalah dua bentuk pertokoan yang telah membunuh toko kelontong di
kampung-kampung. Pembunuhan yang kemudian mematikan komunikasi sosial di antara
penjual dan pembeli. Berganti hubungan ekonomis yang statis,tanpa ikatan
hubungan emosional dan sosial.
Tegur sapa menjadi hampa,sunyi
sebatas memenuhiinstruksi tanpa ada kontak nurani,sehingga tak meninggalkan
kesan apa-apa selain pesan,suruhan,atau intimidasi. Dalam berondong kekerasan
dna intimidasi komunikasi ini, semua menjadi sunyi sehingga ada sesutau yang
tak keluar, sesuatu yang tak sampai kepada komunikasi yang sesungguhnya.
Dalamkemurungan yang sunyi dan luka hanya mampu berteriak, ahimsa, ahimsa,
ahimsa. Teriakan yang mungkin akan dikalahkan oleh laju perekonomian yang
menekan ke dalam rumah tangga, bahkan kepada setiap manusiayang tanpa disadari
untuk memborong barang-barang yang dibutuhkannya. Suruhan memaksanya untuk
membelimakanan bukan untuk memenuhi rasa lapar,tetapi untuk memenuhi sebuah
gaya hidup bahwa kita mampu dan ada dalam kehidupan saat ini. Sebagaimana juga
puisi-puisi Timur yang tidak larut ke masa lalu.
diluar, gerimis masih giris,
beranda ini ingin
menyaksikan mereka pulang dan
bercakap lagi bercakap bersama.
Menyeka debu di sekujur
kenangan, tembok,
meja bambu, sofa, vas bunga dan
asbak kayu.
sungguh beranda ini ingin …
di luar di antara gerimis,
tiba-tiba gerimis seperti
menemukan sesuatu
dan berteriak,
”ahimsa, ahimsa,dimana lelaki
itu!”
(biografi dari beranda sine,
halaman 41-42)
Kekerasan dan kepedihan yang
memberi nafas dalam puisi-puisi Timur, kondisi yang mendorongnya meninggalkan
masa lalu dan meyakini serta menekuni kekinian sebagai sesuatu yang pasti dan
harus dihadapi.Sehingga kalau pun Timur menyebut Sumenep, Bukek, Bangkalan
dalam puisinya bukanlah sebuah kenangan akan masalalu yang patut dikenang
tetapi adalah kekinian yang luput dari perhatian. Bukan untukdikenang tetapi
dilakukan perubahan.
“puisi diberi napas seratus ribu
nama sedih,”
ucapmu menyalakan kembali
seluruh lampion
di setapak panjang masa lalu
yang murung.
(mengingat gerimis,halaman 85)
Barangkali pula,karenanya Timur
tidak mau mengagungkan masa lalu karena realitas porakporanda yang ditemuinya,
dia hanya yakin dengan cinta semuanya akan berubah. Cinta yang akan memberinya
makna tentang hidup yang sesungguhnya.
mencintaimu,
sungguh berarti membuat
perhitungan dengan waktu.
di bibirmu yang tak sepi itu,
orang-orang membuka
riwayat tentang garis nasib yang
keras.
dari jejak panjang tapak-tapak kaki yang coklat.
disebab karang dan bau tajam di
jalan,demikianlah
kami pahami tentang hidup
{kamal, halaman 46}
Memasuki puisi-puisi Timur
secara genetis merupakan puisi-puisi yang memisahkan diri dari masa lalu
(tradisi) sepetinya menemukan sebuah mutasi dari sebuah tradisi. Perubahan akan
tradisi yang semula dianggap agung menjadi sesuatu yang tak berdaya menghadapi
persoalan-persoalan kekinian yang keras, menekan, dan tak memberinya ruang
untuk bergerak selain dengan perlawanan.
5
Selamat Jalan
Maka, membaca dua buku himpunan
puisi ‘Kembang Pitutur” dan “Opus 154” kita akan menemukan genetika dua penyair yang
berbeda. “Kembang Pitutur”sebagai puisi yang menghibrid budaya tradisi dalam
penafsiran yang lebih terbukadalam pertemuannya dengan lingkungan diluarnya.
Sedangkan dalam “Opus 154” merupakan sebuah mutasigenetis yang meninggalkan
tardisi memasuki wilayah baru,permasalahan keninian yang kongkret, dan menekan.
Perbedaan wilayah pijakan dan pengucapan menjadikannya sebagai dua sisi mata
uang yang bisa saling melengkapi dan mewarnai khazanah pembacaan yang kita
lakukan khususnya mengenai perkembangan peprpuisian di tanah Madura. Lebih
spesifik adalah tipikal puisi dan kepenyairan yang berasal dari wilayah Sampang
dan Bangkalan melengakapi pertumbuhan puisi yang selama ini selalu bermuara
dari ujung timur pulau Madura.
--------------------------------------------------------------
*Disampaikan pada acara “Bedah Antologi Dua Penyair”
Pekan Seni Budaya Madura IV 2012 di Graha Kemahasiswaan STKIP PGRI
Sumenep- Rabu, 20 Juni 2012.
** Penulis adalah guru biologi kelahiran desa omben-
Sampang. Saat ini menekuni dunia menulis dan tertarik menjelajahi Kamera Lubang
Jarum.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar