Translate

Senin, 13 Juni 2011

MEMBONGKAR SKANDAL DALAM TRADISI

(Pembacaan atas novel : Tarian di Ranjang Kyai)1

Oleh: HIdayat Raharja2

Selama ini Sampang dianggap kota atau daerah yang paling lamban kemajuannya dibandingkan dengan kemajuan daerah Madura lainnya. Namun, sifat keterbukaannya merupakan salah satu sifat yang menjadi karakteristik masyarakatnya. Ketika mereka tidak menyukai terhadap sesuatu, mereka mengatakannya tidak suka. Pun, sebaliknya.
Peran Kyai sebagai Pimpinan informal memiliki peran penting dan strategis. Bahkan, tidak dapat diingkari kalau setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat, kyai memiliki posisi vital dalam menyelesaikan persengketaan atau permasalahan yang muncul di dalamnya. Ketergantungan terhadap Kyai menempatkannya sebagai sosok tokoh, dan panutan yang harus dipatuhi. Bahkan dalam batas tertentu fatwa yang disampikan Kyai dianggap sebagai titah yang tak boleh dibantah. Tak adanya kontrol dan keberanian mengkritik Kyai, kerapkali prilaku-prilaku yang tidak patut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan mudah untuk dimaafkan.

Sosok lain yang tak kalah perannya dalam masyarakat adalah golongan Blater, mereka yang mampu memasuki berbagai lapisan formal dan non formal, sehingga juga memiliki peran-peran strategis dalam menyelsaikan persoalan-persoalan di tengah masyarakat. Perilaku-perilaku dalam masyarakat yang sempat ,menjadi penelitian intensif Elly Town Bousma di tahun 70-an mengenai kekarasan di Masyarakat Madura. Kemudian penelitian mengenai Pimpinan informal di masyarakat Madura oleh Zaki yang menempatkan peran Blater dan Kyai dan perebutan kekuasaan di Madura.

Disamping kekerasan yang selama ini dikenal oleh masyarakat luas, betapa banyak kearifan di masyarakat Madura yang butuh aktualisasi, maka tidak dapat diingkari peran para intelektual dan para penulis di madura amat vital dan urgen untuk kembali merevitalisasi kearifan lokal.

Tarian di Ranjang Kyai” karya Yan Zavin Aundjand merupakan sebuah karya yang sangat menarik. Semenarik dinamika peradaban masyarakat Sampang dalam kekinian. Hal yang patut diapresiasi dalam novel ini antara lain: pertama, berupaya membongkar skandal dalam tradisi masyarakat Madura (Camplong) khususnya peran Kyai yang selama ini dianggap sebagai sumber barokah, dan tak terbantahkan. Dalam novel ini secara gamblang Zavin membongkar bungkus persoalan yang sekian lama tersembunyi. Sebuah pemberontakan terhadap strata sosial yang selama ini dianggap mapan, namun ternyata di dalamnya penuh intrik dan kebobrokan

Kedua, persoalan perkawinan dini di tengah masyarakat yang disebabkan rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang membelit kehidupan mereka, sehingga menikahkan anak di usia dini akan meringankan beban orangtua, dan menjadi beban tanggungjawab suaminya. Sebuah tradisi yang menjadi sangat biasa karena pada saat anak mendaptkan menstruasi pertama, akan dipersiapakan untuk memasuki kehidupan dewasa dengan membantu dan belajar kehidupan berumah tangga. Pendidikan hanya sebatas belajar mengaji di langgar atau musholla, dan setelahnya dia mencari sendiri “guru” untuk membantu menyelesaikan persoalan rumah tangga dan kehidupannya. Di sini muncul tradisi “ Aguru” “Nyabis” sebagai bentuk jalinan hubungan antara murid dengan Kyai (guru).

Ada bentuk lain tradisi kawin di Madura yang dinamakan “Kabin Toro’” sebuah tradisi perempuan dan laki-laki mencari pasangan (jodoh) saat hari pasaran. Pada hari itu ketika menemukan wanita yang cocok, maka si laki-laki berkenalan di pasar dan kemudian mengikutinya pulang ke rumah si perempuan. Sampai di rumah si perempuan laki-laki tersebut menyatakan maksudnya kepada orangtua si perempuan. Pertemuan yang kemudian akan disusul dengan lamaran dan pernikahan.
Ketiga, persoalan kemiskinan. Tanah Madura yang tandus dan kurang subur kurang menguntungkan secara ekonomis, sehingga pada umumnya lelaki Madura adalah perantau. Mereka pada tahun lima puluhan banyak merantau ke pulau jawa dan bahkan sampai ke adaerah pulau kalimantan yang kemudian disebutnya dengan “Jhaba Dhaja” karena letrak pulaunya di sebelah utara pulau jawa. Sebentuk usaha keras untuk memperbaiki kualitas kehidupan secara ekonomis. Pergi merantau bagi masyarakat Madura menyebutnya “Onggha” dan apabila pulang ke kampung halaman mereka menyeb utnya “Toron”. Madura perantau memiliki sikap gigih, pantang menyerah dan enggan pulang sebelum mencapai sukses. Hal inilah yang dilakukan Misnadi karena di rantau tidak beruntung, maka dia menghilang dari teman sekampung di perantauan sampai kemudian dikabarkan mati. Kabar kematian yang kemduian memunculkan persoalan karena Nisa istrinya menikah lagi dengan Lora Iqbal.

Keempat, persoalan kekerasan Carok seringkali muncul berkenaan dengan permasalahan wanita, harta dan persoalan martabat dan harga diri. Juga ketika Suci anak misnadi hasil pernikahannhya dengan Nisa dinodai oleh Kyai Slamet. Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus membunuh Kyai Slamet yang telah menginjak-injak harga diri dan martabatnya.
Kelima, persoalan tradisi yang saat ini mungkin sudah banyak tak dikenal; Terrep (derreb), ngare’, ngaji, Terbhangan Mantan dan selama yang saya kenal ada dua macam; (a) terbhangan saat mengantar pengantan pria ke rumah mempelai wanita,(b) hiburan gambus pada saat resepsi mantenan,, langghar, gerinching (gerinjhing), tegghal, kotheka.
*****

Dari sinilah peroalan-persoalan berkelabat dalam Novel “Tarian di Ranjang Kyai”. Sebuah cerita yang berangkat dari kisah nyata memiliki konsekuensi yang tidak ringan untuk memasukkan fakta-fakta ke dalam cerita secara riel dan mengesankan. Saya sangat tertarik saat membaca Dwilogi “Cinta di Dalam Gelas” karya Andrea Hirata yang diawali riset selama tiga thun untuk mendalami sosok Maryamah Karpov ( Ennong) sebagai perempuan pertama penambang timah di Belitong. Hal ini lah barangkali yang tidak dilakukan Zavin dalam menggarap novel ‘Tarian di Ranjang Kyai”. Ada beberapa kejanggal;an yang memnbuat terganggu pencerita untuk emlihat hal ini sebuah fakta yang disodorkan ke dalam fiksi. Setting ceriota di antara tahun 1969 – 1975. Jarak antara Camplong ke Kalianget secara rtile sekitar 75 Km tetapi dalam teks tertulis 60 Km.

Kedua, penulisan bahasa lokal tanpa mengindahkan kaidah penulisan bahasa yang benar, pada hal secara implisit penulisan bahasa lokal yang benar dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Misalnya Embu’ (ibu), Embuk (kakak perempuan, atau panggilan terhadap perempuan yang lebih tua). Panggilan kang, tak dieknal dalam masyarakat Madura, tetapi lebih banyak memanggil kakak.

Ketiga, adegan mesum antara kyai Slamet dengan Nisa’ terasa kaku, kurang terolah secara menarik. “Kyai Slamet mengecup keningnya, lalu turun sedikit ke bibirnya.... tangannya terus berjalan di bagian belakang, di bagian-bagian dekat pantatnya. Nisa juga membiartkan tangannya memupuk bagian-bagian yang dianggap penting itu.” (Halaman 72).

sangat berbeda misalnya ketika adegan persetubuhan dituliskan oleh Djenar dan Sardono W Kusumo; Suara ting tong ting tang, mirip gamelan tiba-tiba hilang. Seiring dengan tubuhnya yang makin tinggi melayang. Tubuh yang semula diam mulai menari di udara semacam bayangan yang bergoyang. Terkadang bayangan itu melesat ke depan dan dengan seketika berpindah ke belakang. Kadang ia bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku pun berubah menjadi panggung. Panggung yang menunggu ia mengisi tiap ruang. Panggung yang bergetar tiap kali tubuhnya menciptakan gerakan (Ramaraib dalam 1 Perempuan 14 Laki-laki, hal.25)
keempat, Nisa melahirkan bayi pada saat di liang lahat. Sesuatu yang msuykil dari sisi medis. Apabila seorang wanita hamil meninggal dunia, maka otomatis janin yang ada dalam kandungannya ikut meinggal dunia.
*****

Barangkali ketekunan melakukan research amat penting untuk melakukan sebuah pengisahan yang berdasarkan kepada fakta. Sehingga ketika disusupkan ke dalam sebuah fiksi akan menjadi fakta baru yang menarik .
Meski demikian, Novel ini dapat menajdi sebuah pembuka bagi hadirnya novel pemberontakan terhadap tradisi masyarakat yang semula dianggap agung, ternyata di dalamnya mengandung banyak kelicikan bahkan kebobrokan.
Bumi Sumekar Asri, 28 Mei 2011
1. disajikan pada acara bedah novel dan pelatihan penulisan cerpen se Madura oleh UKMF Teater Suneidesis – Keluarga Mahasiswa Fakultas Ekonomi – Keluarga Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura pada tanggal 29 Mei 2011 di gedung Student Center Unoversitas Trunojoyo Madura.
2.Penulis adalah guru dan penyair kelahiran sampang dan tinggal di Sumenep

Tidak ada komentar: