Translate

Selasa, 15 Maret 2011

MEMAKNAI SAJAK PENDEK SAIFUL HAJAR DALAM KONTEKS POLITIK DAN HUMANISME [1]

Oleh: Hidayat Raharja[2]

berhenti membaca hancur/ membaca terus babak belur

di antara nada kearifan sosial/berkumandang tanpa getaran

(Lelah Membaca Indonesia)

Puisi sampai saat ini masih ditulis dan dibaca, sebagai suatu teks yang memiliki nilai-nilai yang mengkayakan kehidupan. Meski dapat dipahami bahwa puisi tidak dapat merubah kehidupan secara langsung, tetapi di dalam puisi kita dapat melihat permainan bahasa dan estetika yang menyentuh kepada harkat kemanusiaan dan kehidupan yang selalu dinamis. Dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, ruamg elspresi semakin terbuka, dan reproduksi puisi semakin berjibun. Puisi tak lagi menjadi barang mewah tetapi sebentuk produk yang bertebar di berbagai ruang terbuka. Semua dapat ambil bagian dan semakin tipis sekat di antaranya.

Ada banyak pilihan bagi pembaca untuk menikmati puisi Indonesia mutakhir, dari yang sekadar bermain dengan kata-kata, sampai pada sesakan persoalan politik, humanisme, dan ragam persoalan lainnya berhambur dalam kehidupan kita. Di sinilah sebenarnya pilihan bagi kita untuk menuai apa yang kita inginkan dan mengabaikan apa yang tak dikehendaki.

Persoalan Humanisme, adalah persoalan yang bersangkut paut dengan; 1. aliran yg bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yg lebih baik;2. paham yg menganggap manusia sbg objek studi terpenting; 3. aliran zaman Renaissance yg menjadikan sastra klasik (dl bahasa Latin dan Yunani) sbg dasar seluruh peradaban manusia;4. Kemanusiaan.

Persoalan Politik adalah persoalan mengenai ketatatanegaraan dan kenegaran menyangkut soal kebijakan , tindakan terhadap negara atau negara lain serta pada berbagai sistem dalam kehidupan

Pilihan terhadap persoalan-persoalan humanisme dan politik yang selalu menikam pikiran, menjadi salah satu bagian dalam percaturan puisi di Indonesia. Sebagaimana keterbukaan ruang puisi dan prosa yang dikaji Afrizal Malna dengan memberikan berbagai kemungkinan bagi pembaca untuk memberikan tafsir. Tak ada yang absolut dan kekal, semua terbentang dalam ruang-ruang kemungkinan yang meniscayakan.

****

Membaca sajak-sajak Saiful Hadjar dalam “Lelah Membaca Indonesia” Terbitan Kelompok Seni Rupa Bermain (KSRB) seperti membuka kitab kehidupan dalam bermasyarakat berbangsa, dan bernegara. Membuka perjalanan kehidupan yang terus bergerak dan terbentur kepada persoalan kemanusiaan yang tak pernah tuntas diperdebatkan. Pilihan Saiful atas berkesenian dengan melibatkan kepada persoalan-persoalan kemanusiaan dan kesewenangan penguasa, perlakuan diskriminatif dan manipulatif. Persoalan yang membuat kita mengernyitkan kening dan mengelus dada, karena banalnya kekekjian di tengah masyarakat yang beragama dan beradab. Situasi yang kerap membuat frustasi dan putus asa. Namun di dalam sajak-sajaknya Saiful mengolah persoalan-persoalan tersebut menjadi sketsa dengan goresan-goresan tajam, memberikan kesan yang tegas terhadap subyek persoalan tanpa harus merasa tertindas. Sebuah sketsa yang memotret persoalan humanisme dan politik menjadi sebuah sajak karikatif, naif , dan kadang menjungkirbalikkan akal sehat. Slogan yang seringkali terasa menekan secara impulsif diolah menjadi sebuah antitesa yang membuat kita tertawa, dan melepaskan tekanan-tekanan normatif yang mengepung kehidupan kita.

KB

dua istri cukup/ tua muda / sama saja (halaman 18)

Sebuah puisi yang berbau slogan dan akan mengingatkan kiat kepada iklan Keluarga berencana; dua anak cukup/ laki perempuan/ sama saja. Sajak KB milik Saiful akan mengajak kita untuk menelusuri persoalan lebih jauh dengan mebalikkan pemahaman yang telah banyak diseragamkan lewat ruang publik dan media elektronik dan internet. Sebuah antitesa terhadap peningkatan populasi wanita Indonesia melebihi jumlah laki-laki, maka plogami adalah hal yang memungkinkan dalam kalkulasi matematis. Sebentuk pengendoran persoalan-persoalan publik untuk dislesaikan secara rileks.

Logika terbalik ini juga ditemukan pada sajak “Hari Yang Tercatat”; tengah malam/ terasa hening / kusetubuhi ayam/ yang lahir musang (hari yang tercatat, 16).

Dalam rantai makanan yang tertanam di otak kita, musang sebagai predator dan ayam adalah korban. Dalam pusi ini ayam melahirkan musang adalah sebuah pembalikan fakta dengan menelusuri korban untuk mengetahui pangkal permasalahan. Bukankah selama ini dalam ekhidupan bernegara seringkali sum,ber persoalan disembunyikan tetapi dicarikan korban-korban lain yang sebenarnya hanyalah korban dari sebuah sistem yang pseudodemokratis. Penyelasiaan persoalan masih lebih menekankan kepada kepentingan politis daripada kepentingan publik yang berkeadilan.

Terhadap persoalan-persoalan yang terus menyesaki ruang publik, kita kerapkali diajak untuk melupakan peristiwa, tetapi kerapkali pula peristiwa itu diulang lagi sehingga sering berkubang pada persoalan yang sama. Terhadap persoalan –persoalan semacam itu Saiful mengabadikannya dalam larik-larik yang pendek namun menyimpan ruang komunikasi yang lapang untuk ditafsir pembaca.

duh, gusti...!!! (Sajak Anak Cucu Tapol, 22)

sebuah sajak yang mengabadikan bagaimana para anak keturunan mereka yang diogolongkan kepada para eks anggota PKI, seakan seumur hidupnya adalah cela, meski mereka sendiri tidak mengenal paham Marxisme dan Komunisme. Label yang kemudian coba dibuang di era reformasi, meski pada kenyataannya masih banyak perlakuan diskrimiantif terhadap mereka.

Perilaku Korup

Membaca Indonesia juga membaca banyaknya kasus korupsi yang terjadi di berbagai lembaga, dan belum banyak tertangani. Menariknya perlaku ini bukan dilakukan oleh mereka yang kekurangan materi, tetapi dilakukan oleh mereka yang seharusnya bisa memberikan tauladan kepada masyarakatnya. Korupsi yang terjadi di Gedung Parlement, Birokrasi, dan berbagai ruang adalah sesuatu yang tidak kan dilupakan. Seorang koruptor bisa berweekend ke pulau Bali dan Luar Negeri, adalah peristiwa yang khas di Indonesia. Tanpa rasa bersalah, dan bahkan kemudian menjadi tayangan di berbagai media elektronik layaknya artis yang baru diorbitkan.

Terhadap perilaku para pemimpin yang bejat tersebut Saiful menulisakan dalam larik: tergolong bangsa besar/ suka main pat-gulipat/semua kasus disikat/sampai di skandal penguasa/ jauh dari terungkap/ jadi akrobat/ di setiap hati rakyat// (Negeriku Menyanyi, halaman, 80)

Atau apa yang dikatakannya dalam “Ekologi Gelap” mengenai bencana alam yang tak pernah reda, sebagai bentuk imbas dan amuk alam karena telah banyak dirusak oleh manusia, manusia sudah bertindak semaunya, sehingga alam tak bisa lagi kompromi dengan kehidupan manusia.

Atau bagaimana kemudian para koruptor berperilaku santun untuk menutupi kebrutalannya menelan uang rakyat, sehingga menjadi orang yang santun, sosial, dan dermawan, sebagaimana yang teruingkap dalam sajak “Post Korupsi” berikut ini;

suka pakai bukan milik sendiri

untuk mewujudkan mimpi

tak mau peduli

siapa yang dirugikan nanti

ditebus dengan menyantuni

(halaman 37)

Pijakan pada persoalan kemanusiaan merupakan pilihan Saiful yang selalu akan hadir dalam sajak-sajaknya yang pendek namun banyak menyimpan persoalan-persoalan kritis. Karena sebagai manusia kita memiliki bahasa yang sama, bahasa manusia yang menjungjung martabat kemanusiaan dan kemerdekaannya. Sebenarnya merupakan hakikat dari kesadarannya sdebagai manusia yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, sehingga manusia lainya harus berlaku adil terhadap sesamanya.

Dalam menghadapi aneka kondisi kehidupan yang karut-marut, seringkali Tuhan dijadikan sebagai eskapies. Sebuah kesadaran yang hadir setelah berbenturan dengan pelbagai persoalan yang tak tuntas diselesaikan. Ketika persoalan-persoalan saling menerkam jungkirbalik menerkam pikiran, pada akhirnya mereka menyadari keterbatasan, ketakberdayaan dalam menghadapi buntalan persoalan tersebut, sehingga meyakinkan kalau Tuhan adalah yang Kekal.

Meski bumi mampu kau jadikan / rumah sakit jiwa / jangan mimpi mampu neniadakan Tuhan

(Post Humanity, halaman 9)

Pada titik balik kesadaran inilah Saiful menyadari pula bahwa kalau puisi takkan mampu membalikkan persoalan, selain untuk mengabadikan, mengekalkan dan menyerahkan kembali persoalan kepada kehidupan bersama, dan Tuhan sebagai penentunya. beribu-ribu kata bermuara ke puisiku/ beribu-ribu makna kutak tahu/ diam dalam mi’rafmu (puisi Keribuan, 91)

Membaca kumpulan puisi “Lelah Membaca Indonesia” seperti membuka lembaran kitab yang di dalamnya menyimpan kasus-kasus humanisme, politik, ekologis, dan Spiritual. Sebentuk perlawanan terhadap neokolonialisme dengan cara menjungkirbalikkan fakta dalam larik-larik sederhana untuk memberikan makna baru dari peristiwa yang terbaca dalam berita. Perlawanan dilakukannya tidak hanya dengan mempergunakan puisi tetapi juga persebaran teks melalui media teknologi komunikasi lewat SMS ke berbagai rekanan dan kawannya di seluruh wilayah Indonesia. Suatu perlawanan ketika kumandang kearifan sosial kehilangan getarannya di tengah hiruk-pikuk persoalan yang membuntal humanisme dan berbagai kepentingan politik yang saling bertabrakan.



[1] Disajikan pada acara bedah buku “Lelah Membaca Indonesia” –Pekan Seni Madura – UKM Sanggar Lentera – STKIP PGRI Sumenep, tanggal 20 Maret 2011 .

[2] Penulis lepas, saat ini menjadi Tenaga Pengajar di SMA Negeri 1 Sumenep.

Tidak ada komentar: