Translate

Selasa, 01 Februari 2011

PERSILANGAN KELAMIN

Resensi:
Judul : 1 Perempuan 14 Laki-laki
Jenis buku : Kumpulam cerpen
Pengarang : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, 14 Januari 2011
Jumlah Hal : xiv + 124 hal
Peresensi : Hidayat Raharja*


Persilangan Kelamin
Fiksi merupakan suatu wilayah yang sangat menarik untuk dijelajahi. Di dalamnya kita akan menemukan dunia ideal dan kadang mirip bayangan dari kenyataan. Fiksi merupakan persinggungan antara dunia nyata dengan dunia rekaan, karena dari ekduanya bisa saling melengkapi. Tentu ada hal yang berbeda dalam dunia fiksi dengan dunia nyata, karena dunia fiksi melalui sebuah rekaan yang dinamakan dengan kreativitas dalam mengolah bahan cerita sehingga menjadi menarik dan tercipta dunia atau fakta baru di dalam fiksi. Maka, kreator atau pengarang, memiliki peran penting dalam mengolah bahan cerita untuk menjadi karya yang menarik.
Salah satu karya fiksi yang cukup menarik, dihasilkan oleh Djenar Mahesa Ayu – sebuah kolaborasi dengan empat belas orang laki-laki dari berbagai profesi untuk menggarap cerpen bersama. Agus Noor mengistilahkan dua petiunju yang saling berbagi pukulan terbaiknya, sementara Djenar menyebutnya dengan istilah dua orang yang tengah kasmaran. Tidak berlebihan jika sebuah cerpen dikerjakan dengan seorang laki-laki dengan tanpa merencanakan terlebih dahulu apa yang akan diproses dalam cerpen, semuanya mengalir ketika mereka saling bertemu untuk mengerjakannya, akan menghasilkan hal-hal yang tak terduga. Persilangan yang cukup menarik, karena selama ini kerja cerpen dianggap sebagai kerja personal dan memuat gagasan pemikiran pengarangnya. Namun dalam kumpulan cerpen yang berjudul “ 1 Perempuan 14 laki-laki” ini meski ditulis Djenar bersama dengan orang lain dengan berbagai profesi, namun tidak menghilangkan ciri khas karya Djenar. Sebuah persoalan yang tak lepas dari persoalan sensitivitas tubuh dan kehidupannya. Menariknya dalam beberapa hal tubuh dengan berbagai organnya bukan sekadar obyek dalam penulisan tetapi menjadi suatu alat eksplorasi persoalan kehidupan di tengah masyarakat yang kian terbuka.
Varietas dari hasil persilangan antara Djenar Mahesa Ayu dengan berbagai profesi memberikan rasa berbeda ketika bersilang kreatif dengan Mudji Sutrisno, berbeda pula ketika menggagas cerpen bersama Sudjiwo Tedjo, atau dengan Enrico Sukarno yang pelukis.
Persilangan kreatif yang memunculkan perpaduan style antara Djenar dengan pasangannya, juga ragam tema yang dikerjakan sangat menarik untuk dibaca ulang, sehingga bisa menemukan otentisitas sebagai teks yang mengandung banyak tafsir.
Ia bersenandung sambil membuka satu persatu kancing seragam dia yang hanya memejam. Ia seperti melihat seekor kunang-kunang yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada kunang-kunang di keningnya. Di pipinya.di hidungnya. Di bibirnya. Di mana-mana. Kamar penuh kunang-kunang beterbangan. Tapi tak ada satu pun kunang-kunang yang hinggap di dadanya nan pualam. Dada itu seperti menunggu kunang-kunang jantan yang dia mau hinggap di puting susunya ( Kunang-Kunang dalam Bir, hal.4)

Persilangan antara Djenar yang terbuka dengan Agus Noor yang kadang absurd , pertemuan antara dua style yang saling memperkokoh pada struktur cerita yang dikisahkan. Persilangan-persilangan yang merepresentasikan dua orang dalam satu nafas cerita. Ada kejutan-kejutan yang menakjubkan, ketika Sardono W Kusumo – seorang koreografer yang terbiasa berkisah dengan gerak tubuh, mampu memindahkan gerak tubuh ke dalam gerak dan tarian teks yang memukau. Sardono tidak terseret kepada ungkapa-ungkapan tubuh Djenar yang terbuka. Hal yang menarik, karena tubuh dalam cengkeraman Sardono berubah menjadi sebentuk panggung yang minta diisi di setiap ruang;
Suara ting tong ting tang, mirip gamelan tiba-tiba hilang. Seiring dengan tubuhnya yang makin tinggi melayang. Tubuh yang semula diam mulai menari di udara semacam bayangan yang bergoyang. Terkadang bayangan itu melesat ke depan dan dengan seketika berpindah ke belakang. Kadang ia bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku pun berubah menjadi panggung. Panggung yang menunggu ia mengisi tiap ruang. Panggung yang bergetar tiap kali tubuhnya menciptakan gerakan (Ramaraib, hal.25)

Pertemuan-pertemuan dengan aneka profesi, merupakan persilangan kreatif yang takkan pernah tumtas untuk mengungkapkan kehidupan dengan aneka persoalannya yang kian kompleks dan terbuka.
Pantai adalah perhentian saya sebelum kilometer 666. di sana ada kebebasan yang sempurna. Kadang sunyi seperti Hari raya Nyepi. Kadang ramai seperti adegan ranjang yang melibatkan borgol, topeng kulit, dan cemeti. Penuh cakaran. Kuku-kuku. Seperti cakaran kuku laut yang beringas di pucuk kaki kami yang tengah berjalan sambil bergandengan tangan. Dan dingin yang bdiusung malam berubahmenjadi hangat yang semakin merasuk ke dalam badan (Kulkas Dari langit, hal. 44-45)

Sebuah kompleksitas persoalan yang bergejolak di atas panggung tubuh dan bergerak ke panggung kehidupan. Tubuh yang semula sebagai obyek beregerak menjadi subyek yang mengedepankan persoalan-persoalan secara terbuka. Djenar bersama JRX mampu mengolah persinggungan tubuh dengan pantai, dengan ranjang, borgol, topeng kulit, cemeti, kuku-kuku, cakaran, dan kuku laut adalah persoalan-persoalan sengkarut kehidupan yang keras, dinamik, dan kadang sunyi.

Begitulah tubuh yang kerapkali dijadikan sebagai obyek dalam kehidupan, mampu digarap Djenar dari sisi yang lain sebagai subyek yang menganduung pelbagai kemungkinan dan tafsir dalam diri pembacanya. Tubuh kembali menemukan kemungkinan-kemungkinan yang lain ketika Djenar melakukan kerja kolaboratif dengan Arya Yudistira Syuman, Butet Kertarajasa, Enrico Sukarno, Indra Herlambang, Lukman Sardi, Mudji Sutrisno, Nugroho Suksmanto, Richard Oh, Robertus Robert, Sujiwo Tejo, dan Totot Indarto.
Mermbaca empat belas cerpen dalam buku ini seperti memasuki wilayah tubuh yang mampu membawakan pelbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan cinta yang pendek dan menarik. Ada beberapa hal menarik dalam buku ini, antara lain di dalamnya bahwa kerja kreatif kepengarangan sebagai kerja personal bisa dikerjakan secara kolaboratif. Kedua, berkaitan dengan eksplorasi tubuh yang sensitif berkaitan dengan organ genital di dalam buku ini secara terbuka mengungkapkan persoalannya menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para pembaca yang kurang bisa menerima hal ini. Terutama, misalnya jika materi dalam buku ini untuk dijadikan apresiasi dalam pembelajaran sastra di sekolah.
.

Tidak ada komentar: