Translate

Minggu, 03 Mei 2009

SEKOLAH KAPER; 35 Tahun Yang Lalu

Oleh : Hidayat Raharja

: Terimakasih tak terhingga buat kedua orangtuaku – pendidik sejatiku
Mbah Fudhali, mbah Hadiyah, Nom Safi, Nom Zali (guru ngajiku)
Bapak Abdullah Fagi, Bapak Juwairi, Bapak Sudarmono, dan Bapak H. Abd. Gaffar Gatot (Almarhum).

Tak ada yang dapat aku kadokan buat guru-guruku tercinta yang telah membuatku bahagia di hari ini. Belualah yang telah memberikan bekal hidupku sehingga aku memahami peran dan tanggungjawabku sebagai manusia. Mereka para pendidik yang telah banyak berkorban untuk kemajuan belajar anak didiknya. Mereka tiada henti memberikan pencerahan bagi anak-anak desa seperti aku dan teman-teman di desa saat itu. Tak ada listrik – tak punya sepatu, buku terbatas dan masih dikucilkan oleh orang-orang karena sekolah kami bukan sekolah agama. Masih lekat dalam ingatanku sekolahku di SD negeri dicemooh sebagai Sekolah Kaper (Kafir).

Aku tak bisa melupakan jasa para guruku di SD karena mereka dengan pengabdian tulus dan ikhlas membuat kami menjadi mengerti dan memahami pendidikan. Pemahaman ini semakin dalam ketika aku sendiri menjadi guru di sebuah SMA yang berada di tengah kota dengan fasilitas belajar yang sangat lengkap dibandingkan dengan sekolah lain di kota ini.

Aku tak bisa membayangkan perjuangan para guru yang kusebut di awal tulisan dengan segala keterbatasan sarana dan fasilitas pantang menyerah untuk memberikan pendidikan yang terbaik buat anak didiknya.
Pertama; aku ingat pelajaran sejarah dan bahasa Indonesia yang diajarkan Bapak Moh. Yahya yang terkenal disiplin dalam mendidik bahkan cenderung dikatakan keras jika dibandingkan dengan kondisi kekinian. Namun aku takkan pernah lupa cara beliau menyampaikan materi dengan segala keterbatasan sekolah yang kami tempati. Beliau sangat kreatif, dengan hanya satu buku paket sejarah yang dipergunakan dalam satu kelas, beliau tidak menyuruh anak mencatat, tetapi beliau mengajatrkannya dengan mimik, ekspresi, dan suara lantang penuh tekanan tertentu serta dengan gerakan tubuh yang menguasai “panggung” kelas menjelaskan sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan di jawa Timur, Perebutan Kekuasaan, dan menjelaskan proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekjarno Hatta dengan penuh oratoris. Pengalaman yang takkan pernah aku lupakan bagaiman beliau berusaha untuk memudahkan anak didiknya mengerti apa yang diajarkannya.

Beliau begitu berapi-api ketika membacakan sajak-sajak Chairil anwar “AKU” saat mengajarkan deklamasi di depan kelas. Semangat yang bergelora, api semangat yang berapi-api di depan anak- didiknya yang tidak lebih dari tiga belas orang. Belasan orang murid yang dicarinya dengan susah payah blusukan ke pelosok-pelosok kampung supaya sekolah negeri ini ada muridnya. Perjuangan pantang menyerah yang beliau lakukan bersma0sama dengan bapak Asdullah Fagi memajukan sekolah negeri di desa ku.

Guru berhitung dan kesenian di kelas rendah, kelas 1 sampai dengan kelas 3. Oangnya sabar, murah senyum suka bergurau dan ada saja hal menarik yang dilakukannya; Bapak Abdullah Fagi. Kami dikenalkannya kepada teka – teki silang saat guru kelas kami absen karena ada sesuatu halangan. Dengan cekatan beliau menggambar ayam tanpa bulu (gundul) dengan leher pendek dan kakinya hanya sebelah, karena sebelahnya buntung. Gambar yang lucu, lalu kami diajaknya bernyanyai “ Ajam Tokkong” (Ayam Buntung) sebagai berikut:
Ajam tokkong
Le’er kene’
Sokona settong
Mon ajalan takadik co-loncoan
Tak tokkong tokkong
Tak tokkong tokkong

Terjemahan Bebasnya sebagai berikut:

(Ayam buntung
Leher pendek
Kakinya buntung
Kalau berjalan meloncat-loncat
Buntung buntung
Tak buntung buntung)

Tembang nyanyian yang akan selalu aku ingat saat kelas kosong atau ketika tengah jenuh belajar kami diajaknya bernyanyi “Ajam Tokkong”. Suatu metode yang sekarang cukup populer dengan Quantum Teaching ,35-an tahun yang lalu pak Fagi telah mengenalkannya kepaada kami.

Bapak H. Abd. Gafar Gatot (almarhum) semoga segala amal baiknya diterima di sisi Allah dan segala dosanya diampuniNya. Amin.
Guru yang sabar dan sangat demokratis, karena setiap memulai pelajaran selalu menanyakan murid-muridnya apa yang akan dipelajarinya. Setiap pilihan murid selalu dituruti dans etiap permintaan selalu dipenuhinya. Di alah yang mengenalkan kami pada Sinbad Si Pelaut. Bila tiba mata pelajaran keseniannya diajaknya siswa ke luar kelas ke bukit yang ada di sebelah selatan sekolah untuk menggambar sesuatu yang menarik untuk digambar oleh teman-temanku sekelas. Kami bebas menggambar dengan menggunakan pensil yang juga kami pergunakan untuk mencatat. Kami belum kenal pensil warna karena keterbatasan kami semua. Satu buku kadang diperguankan untuk catatan 3 mata pelajaran, minimal untuk dua mata pelajaran. Hal yang emnyenangkan ketika pelajaran menggambar tiba, sebab kami bebas ke atas bukit ke rumah penduduk sekitar yang kadang dikasih makanan atau sekedar buah-buahan. Kami sangat akrab dengan warga sekitar sekoalh di atas bukit yang ada di selatan sekolah kami.

Selesai menggambar kami diajak kembali ke dalam kelas dan disuruh utnuk menceritakan pengalaman yang ada dalam gambar yang kami buat. Semua tertawa. Semua bercerita.

Tahun 1974 ada droping guru besar-besaran ke berbagai wilayah Indoensia termasuk di dalamnya ke tanah Madura . Guru-guru yang kemudian dikenal dengan nama guru Inpres. Sekolah kami juga kebagian guru Inpres. Mereka datang dari daerah Bantul – Yogyakarta. Bapak Juwairi, Sudarmono dua orang guru yang mengajar di sekolahku. Mereka berdua banyak memberikan warna baru dalam sekolah kami. Kedatangan mereka disambut dengan terbuka oleh masyarakat desaku, mereka menjadi terkenal karena jauh-jauh dari Yogyakarta mau datang dan mengabdi desa kecil dengan gaji yang tak seberapa besar.

Pak Juwairi dengan kecakapannya mengajarkan aneka keterampilan dan seni, merubah suasana sekolahku, karena kemudian banyak produksi karya seni yang dihasilkannya bersama anak didiknya. Dari beliau kami kenal lampion kertas untuk hiasan; kami kenal gambar bergerak seperti dalam televisi dengan media kertas minyak dan lampu minyak tanah yang kemudian memutar gamar-gambar di kertas minyak karena pengaruh tekanan udara yang memuai akibat panas. Kami menyebutnya mainan “Televisi”. Diajarinya pula kami membuat patung kertas, kolase dan aneka bentuk prakarya dengan mempergunakan tanah lempung yang banyak melimpah di lingkungan sekolah.

Puncak karya beliau dengan anak-anak didiknya adalah sekolah kami memenangkan karnaval tujuh belas agustusan mengalahkankan Madrasah Ibtidaiyah di desa kami yang banyak siswanya dan memiliki pasukan musik drumband. “Perang Diponegoro” itulah tema karnaval yang beliau angkat. Tidak berlebihan kalau tema ini diangkat karena beliau berasal dari jawa tengah dan kami bisa menerimanya karena heroiknya Pangeran Diponegoro melawan kolonialisme.

Chalik yang dikenal dengan nama Cabang anak seorang kusir delman didaulat untuk menjadi Pangeran Diponegoro. Ia mengendarai kuda yang biasa dipergunakan menarik kusir ayahnya. Dengan pakaian jubah putih , keris di tangan dengan lantang diteriakkannya takbir menumbuhkan semangat perlawanan. Teriakan yang kemudian disambut oleh teman satu sekolah lainnya yang bercelana pendek bertelanjang dada dengan wajah dihiasi dengan langes – coreng-moreng. Tarian kolosal dan spektakuler memberikan sajian yang segar bagi masyarakat desa, bapak camat dan segenap muspika. Sampai sekarang tempik sorak penonton masih terekam dalam memori otakku. Bagaimana iringan drumband dari madrasah ibtidaiyah tenggelam ditelan hiruk pikuk perang diponegoro. Sehingga layaklah sekolah kami SD OMBEN dinobatkan menjadi juara I.

Bapak Sudarmono menjadi guru kami di kelas VI. Jarang tersenyum tetapi sangat rajin dan telaten membimbing kami belajar. Di waktu malam sehabis mengaji di langgar, kami diajaknya belajar bersam di rumah kontrakannya yang tak begitu besar. Tak ada listrik, sehingga ketika anak belajar bersama di rumahnya ia nyalakan lampu petromak dan dengan telaten menemani dan membimbing sampai pukul 21.00 wib. Kami tak membayar, tetapi pak darmono dan pak juwairi mengajarnya dengan rasa senang. Ketulusan dan niat ikhlas mereka selalu menggema dalam dada.

Kehadiran mereka semakin berkenan di hati masyarakat. Sebuah hubungan guru dengan masyarakatnya yang bisa sling mengisi, saling memberi dan bisa saling menerima. Masyarakat tidak mau ditinggalkan dan guru-guru itu tak mau mengabaikan. Mereka yang sampai kini tetap ada di desa kami membangun rumah, bermantukan orang desa tak kembali lagi ke tanah Yogya. Aku malu kepada mereka, karena betapa besar pengorbanan telah diberikan untuk mencerdaskan anak-anak didiknya. Aku takkan pernah mampu membalas jasanya.

35 tahun kemudian, saat ini kejadian ini sudah menjadi basi tak ditemukan lagi dalam sekolah kami.

Tidak ada komentar: