oleh: Hidayat Raharja
Ai, musim hujan mulai mengintip, tapi di halaman hanya angin
basah yang lewat dengan wajah langit yang rada redup. Matahari terik,dan udara
jadi panas. Keringat tumpah dari
pori-pori membasahi pakaian yang lekat di badan. Minggu-minggu ini banyak orang
menunggu hujan. Sebagian dari mereka mengunggah foto hujan di halaman di
dinding facebook. Sejuk terasa,mata melihatnya.
Orang bersiap-siap
menyambutnya.Mengenag kembali musim hujan di tahun lalu, dengan haraphujan
segera datang. Tapi hujan tak datang. Hanya angin yang membawa butir-butir
udaralembab yang gagal jadi hujan. Hanya di utara sana terlihat mendung hitam
dan kemudian memutih pucat dipanadangdati teras. Hujan deras nun disana.
Di tenggara Umam
bercerrita kalau hujan deras mengunjunghi halamannya.Bau tanah rekah menyhambut
berkah dan aroamakembang tanah.Aroma yang membangkitkan biji-biji bercambah.
Bunga-bunga merekah menadahi hujan pertama yang akan membuatnya bahagia. Akar-alar
di ekdalaman menggeliat seperti menyusu menghisap sari hidup yang kembali
murup. Aku bayangkan wajah tanah yang berdebu kembali segar sepertidiraupi
wudhu.Wajah yang dipenuhi syukur tak terukur.
Di punggung luasnya aneka benih kembali bertunas, menyambut
hari-hari bernas. Kuncup daun di ketiak
dahan, pucuk pete yang hijau muda di ujung batang, dan serangga kecil berseliweran
dengung berdendang. Hati-hati banyak serangga tanah dan reptil yang keluar
dari liang karena suhu pengap di dalam. Maka selalu aku tutuppintu ruang tamu
jika tak ada yang cengeramadi teras.
Untung ada pohon nagka dan mangga. Pohon nagka yang
gembur dengan cabang dan rimbun daun berjibun menggesek angin siang yang menyegarkan.
Angin yang menyeka keringat di permukaan tubuh. Buah terakhirnya telah tandas
menandai musim kemarau yang akan lewat. Sedangkan pohon
mangga yang memeluk rimbun daunnya, namun sangat jarang buahnya. Tahun lalu di bulan
seperti ini puluhan buahnya bergelantung sampai menyentuh punggung sehingga
perlu disangga dengan tiang bambu. Musim ini ia seperti enggan berbuah, namun
lebih suka menunaskan pucuk baru yang pupus hijau menyegarkan di pandangan
mata.
Musim ini di ujung batas kemarau dan hujan aku seperti
mendapatkan banyak teman. Akulihat setiap waktu dalam seminggu ini banyak bapak-bapak
dan ibu –ibu tekun membaca,tekun berdiskusi,dan tekun menyampaikan hasil
belajarnya. Mereka tengah menunaikan tugas yang dilupakannya, tugas membaca. Mereka
seperti akan membayar hutang terhadap kebiasaan membaca yang harus dirawatnya.
Diunduhnya soal-soal paedagogig dan profesional untuk melatih kemampuannya
menjawab soal. Mereka mau mengikuti ujian kompetensi guru. Mereka tengah
mengumpulkan bekal yang telah lama tidak
dipedulikan. Bekal mereka untuk mengajar. Mereka ketakutan seperti layak murid
mau menghadapi Ujian Nasional, sehinga ada pula diantaranya yang mencari joki
untuk membantu menjawab soal ujian.
Ai, musim hujan masih terus mengintai dan menampakkan
wajah langit yang kusam. Namun matahari sesekali menyeringai dengan tikaman
panas membuat keringat berlepasan. Ini kemarau telah lewat tapi hujan datangnya
terlambat. Sapu tangan sejak tadi sudah basah mengusap keringat bagai bah.
Rindu air yang akan menyejukkan udara,. Rindu air yang akan menidurkan musiam
kering. Rindu air yang akan memadamkan api pengap. Rindu air yang akan
menenangkan resah tanah dan rumah.
Jika hujan datang tangannya yang gemericik menabuh
atap-atap rumah seperti bunyai perkusi yang kian merapat dan cepat. Kecepatan
yang kadang membangunkan rasa takut. Kecepatanhya berbarengan dengan turunnya
kabut yang membuat pandangan mata jadi tersaput. Tangan hujan yang dingin lalau
saling berangkul berjatuhan dari pancuran kehalaman tubuhnya berdebam ke
permukaan tanah. Kulit tanah terkelupas.Tubuhnya mengaliri halaman menjauh ke
tempat renbdah ke ceruk sawah. Ceruk tempat katakmnerauh berudu. Katak yang menyanyikan
malam memanggil pasangan, menyanyikan bulan dan bintang.
Gang-gang malam riuh oleh nyanyian Kung, dari katak
jangkung. Memanggil purnama yang lembab di timur dan barat. Nyanyian malam yang
tak lagi dihiraukan oleh telinga kita, karena di kamar suara televisi menyala.
Suara tivi bernyanyi dan suara tivi tertawa, menertawakan hidup kita yang
terlewat.
Ai hujan belum juga datang 320C di dalam
ruangan. Keringat kembali terbit dari setiap pori membasahi dahi, membasahi punggung,membasahi
tubuh.membsahi pikirnaku yang terus tumbuh. Sumenep, 12 November 2015.