Aku tak menduga kalau tiba-tiba anakku sedemikian berubah. Perubahan
yang kau baca dari sebuah puisi yang dituliskannya. Puisi yang tak lazim dibuatnya, karena
biasanya ia menuliskannya dengan cengeng, bahasa yang mendayu-dayu, dan
selalu aku tutup tanpa pernah tuntas untuk dibaca. Jika demikian, dia akan bersungut dan
merasa tak mengerti puisi macam apa yang dimauiku.
“Bahasa puisi itu,
adalah bahasa yang sembunyi bahasa simbolis, bukan bahasa apa adanya
sebagaimana bahasa dalam sebuah berita.” Dia pergi meninggalkanku. Aku kembali
ke dalam aktivitas semula. Dan ketika aku membuka file yang ada dalam
komputerku aku bertemu dengan puisinya yang pernah disodorkannya kepadaku.
Puisi tentang “Lelaki” yang saya anggap pertama adalah pacarnya atau teman
akrabnya. Tapi, tidak pusi itu berbicara tentang lelaki dan kehidupannya. Kehidupan sosok manusia yang dipenuhi dengan
semanagat dan cita-cita, kekecewaaan, dan penerimaan atas kehidupan yang penuh
tantangan.
Sudah dibaca
puisinya?” tanyanya hari berikutnya.
“Sudah!,” jawabku
singkat.
“Bagus?!”
“Berbeda dengan
karya-karya sebelumnya. Bagus.”
“kok Bisa?”
“Ya, karena ada
sesuatu yang lain, ada sesuatu yang sembunyi yang membuatnya menajdiu indah dan
bagus. Bahasa yang terbungkus, itu membuatnya lebih bagus daripada
puisi-puisimu sebelumnya.”
“Ayah tahu, puisi
itu aku sertakan pada lomba cipta puisi antar pelajar se Jawa Timur. Aku hanya
ingin memberikan satu hadiah kemenangan sebelum aku meninggalkan sekolah ini.”
Aku hanya
tersenyum mendengar keterangannya., “Bagus!”. Kataku.
Jika kelak puisiku
menang berarti aku menyumbangkan stau tropi kemenangan untuk sekolahku. Hadiah
yang diperoleh sebagian akan aku berikan pada cucunya “mak kalianget” yang
setiap bulan datang ke rumahku.
“Bagus. Tetapi
lebih bagus lagi kalau kamu rajin kembali menulis seperti saat di Sekolah
Dasar.”
“Kalau sekarang
aku tak sanggup banyak tugas yang diberikan guru, sehingga aku tak sempat untuk
menuliskan ide-ide yang bergelayut dalam iamjinasiku.”
“Tetapi kau harus menulis,
karena kau bisa menulis. Menulis adalah ruang pelampiasan untuk menumpahkan
kesumpekan, sehingga melapangkan beban perasaan dan pikiran yang
menggelayutimu.”
Waktu pun
bergerak, aku lupa dengan apa yang pernah aku bicarakan dengan anak perempuanku.
Runtinitas kami masing-masing berjalan sebagaimana mestinya. Aku yang membaca
dan anakku belajar. Sesekali aku lihat dia memngambil beberapa buku bacaan
(bukan buku pelajaran sekolah) dari tump[ukan buku yang ada dis ebelah
komputer. Tanpa direncakan kadang kami berdiskusi dengan apa yang dibacanya di
ruang kelaurga sambil menonton acara televisi. Diskusi yang kadang mengarah
pada perdebatan sengit karena kami berbeda pendapat. JIka sudah capai bisanya
kami keluar bersama hanya untumk sekedar membeli es juice sekadara menyegarkan
kerongkongan sembari menikmati taman bunga yang ada di tengah kota.
“Bagaimana dengan
puisiku, Yah?!”
“Puisi “Lelaki Itu” yang aku sertakan untuk lomba
cipta puisi pelajar se Jawa Timur.”
“Puisi yang bagus,
dan kau bisa memenangkan lomba itu.” Jawabku sekenanya meski dalam hatiku aku
mengatakan kalau puisinya memang bagus.
“Ah, meledek?”
“Terserah, aku
berbicara jujur.” Aku lihat matanya berbinar dan pandnagannya menerawang jauh,
sambuil bergumam, aku hanya ingin
menyumbangkan sebuah kemenangan untuk s ekolahku. Bahwa aku pernah berbuat
sesuatu yang membanggaklan sekolahku.
“Darimana kau
memperoleh ide mengenai Lelaki itu?”
Ide dari sebuah
warung di pinggir jalanan surabaya, saat aku dengan tante kehujanan sepulang
dari belanja buku di Toga Mas – Jalan Diponegoro – Surabaya. Karena hujan aku
membeli semangkok bakso dan segelas teh
hangat. Saat sajian terhidang di hadapanku. Masuklah seorang laki-laki paruh
baya dengan rambaut memutih, kurus tapi kuat, dengan dagangan mainan anak dan
terompet untuk menyambut tahun baru. Dia memasuki warung dan membeli minuman di
situ. Aku melihat harapan di wajahnya. Harapan tahun yang berganti tidak hujan
sehingga teroimpetnya laku dijual. Harapan untuk merubah nasibnya sehingga
hidupnya bisa tenang. Ya, lelaki itu kemudian menjelma kehidupan dalamm
imajinasiku.
Kalu itu memang
puisimu, dan karya kau sendiri. Kau sudah jauh melangkah dari kreativitas
sebelumnya. Itulah pusi yang aku maksud.
Memanfaatkan kata-kata yang datang mengunjungi iamjinasimu untuk kamu
olah dalams ebuah bangunan sehingga menjadi sebentuk ruang yang di dalamnya
mengandung pesan bagi pembaca dan meiliki banyak tafsir ketika dinikmati.
Menulislah. Puisi itu aku baca kembali
dan aku kembali menikmatinya, karena aku tak habis memaknainya.
LELAKI ITU
Nur
Aida Maulidia
Lelaki, ketika separuh hidup ia lalui
dengan menenteng keceriaan di tangan. Pada kelabu waktu, kulihat jemarinya menggapai batangan salju yang mengepul
dalam genangan kecoklatan. Separuh bola ikal yang terus saja menggigil di
antara nafas yang tak lagi hangat. Lelaki itu masih saja menyongsong benang putih diatas
kepalanya. Tak ada duri yang runcing . hanya sebuah nasib yang bertolak
darinya. Bulan yang beku bukanlah belukar dalam gelas tatkala tubuh meronta menahan
lapar. Maka kembalilah ia dalam imajinya, dengan langkah pasti, kembali ia kejar harapan dengan sedikit kemungkinan.
Lelaki dengan tubuhnya yang kerut itu menghangatkan bulan yang tengah
menggigil. Lelaki dengan besi tua di
kepalanya membaca waktu yang terus saja berlarian. Lelaki dengan
gulungan kawat yang melingkari tubuhnya. Karat memang, tapi tidak rapuh. Berduri tapi tak akan menusuk hati. Kembali
ia lukiskan celurit dalam lingkar matahari. Matahari yang terbujur kaku. Kaku
seperti benda ikal dalam genggamnya. Ada
terompet yang bergeming meneriakkan kebebasaan. Tapi tak jua ada yang
mendengar. Lelaki itu menatap matahari. Matahari yang berputar- putar menebar janji yang tak kunjung datang.
Datang yang seolah hanya harapan, menarikan torehan yang terpatri
dalam lubuk negeri.
Sumenep, 2010/2011
Beberapa waktu berikutnya anakku mendapatkan telpon dari
panitia lomba di UNisma – bahwa karyanya menjadi nominasi pmenang, dan
pengumuman pemenang akan dilakukan pada malam peringatan Chairil Anwar. Pada waktu yang
ditentukan anakku berangkat ke kota Malang bersama dengan guru pendampingnya.
Pada malam pengumuman pemenang, sekitar pukul 21.00 anakku mengabarkan bahwa
pusinya menjadi pemenang pertama dan dia membacakan pusi di hadapan penyair D.Zawawi
Imron yang menajdi narasumber sarasehan di kampus tersebut.*****(HR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar