Translate

Kamis, 03 Mei 2012

Tentang Lelaki yang Ditulis Anakku


Aku tak menduga kalau tiba-tiba anakku sedemikian berubah. Perubahan yang kau baca dari sebuah puisi yang dituliskannya. Puisi yang tak lazim dibuatnya, karena biasanya ia menuliskannya dengan cengeng, bahasa yang mendayu-dayu, dan selalu aku tutup tanpa pernah tuntas untuk dibaca. Jika demikian, dia akan bersungut dan merasa tak mengerti puisi macam apa yang dimauiku.
“Bahasa puisi itu, adalah bahasa yang sembunyi bahasa simbolis, bukan bahasa apa adanya sebagaimana bahasa dalam sebuah berita.” Dia pergi meninggalkanku. Aku kembali ke dalam aktivitas semula. Dan ketika aku membuka file yang ada dalam komputerku aku bertemu dengan puisinya yang pernah disodorkannya kepadaku. Puisi tentang “Lelaki” yang saya anggap pertama adalah pacarnya atau teman akrabnya. Tapi, tidak pusi itu berbicara tentang lelaki dan kehidupannya.  Kehidupan sosok manusia yang dipenuhi dengan semanagat dan cita-cita, kekecewaaan, dan penerimaan atas kehidupan yang penuh tantangan.
Sudah dibaca puisinya?” tanyanya hari berikutnya.
“Sudah!,” jawabku singkat.
“Bagus?!”
“Berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Bagus.”
“kok Bisa?”
“Ya, karena ada sesuatu yang lain, ada sesuatu yang sembunyi yang membuatnya menajdiu indah dan bagus. Bahasa yang terbungkus, itu membuatnya lebih bagus daripada puisi-puisimu sebelumnya.”
“Ayah tahu, puisi itu aku sertakan pada lomba cipta puisi antar pelajar se Jawa Timur. Aku hanya ingin memberikan satu hadiah kemenangan sebelum aku meninggalkan sekolah ini.”
Aku hanya tersenyum mendengar keterangannya., “Bagus!”. Kataku.
Jika kelak puisiku menang berarti aku menyumbangkan stau tropi kemenangan untuk sekolahku. Hadiah yang diperoleh sebagian akan aku berikan pada cucunya “mak kalianget” yang setiap bulan datang ke rumahku.
“Bagus. Tetapi lebih bagus lagi kalau kamu rajin kembali menulis seperti saat di Sekolah Dasar.”
“Kalau sekarang aku tak sanggup banyak tugas yang diberikan guru, sehingga aku tak sempat untuk menuliskan ide-ide yang bergelayut dalam iamjinasiku.”
“Tetapi kau harus menulis, karena kau bisa menulis. Menulis adalah ruang pelampiasan untuk menumpahkan kesumpekan, sehingga melapangkan beban perasaan dan pikiran yang menggelayutimu.”
Waktu pun bergerak, aku lupa dengan apa yang pernah aku bicarakan dengan anak perempuanku. Runtinitas kami masing-masing berjalan sebagaimana mestinya. Aku yang membaca dan anakku belajar. Sesekali aku lihat dia memngambil beberapa buku bacaan (bukan buku pelajaran sekolah) dari tump[ukan buku yang ada dis ebelah komputer. Tanpa direncakan kadang kami berdiskusi dengan apa yang dibacanya di ruang kelaurga sambil menonton acara televisi. Diskusi yang kadang mengarah pada perdebatan sengit karena kami berbeda pendapat. JIka sudah capai bisanya kami keluar bersama hanya untumk sekedar membeli es juice sekadara menyegarkan kerongkongan sembari menikmati taman bunga yang ada di tengah kota.
“Bagaimana dengan puisiku, Yah?!”
“Puisi  “Lelaki Itu” yang aku sertakan untuk lomba cipta puisi pelajar se Jawa Timur.”
“Puisi yang bagus, dan kau bisa memenangkan lomba itu.” Jawabku sekenanya meski dalam hatiku aku mengatakan kalau puisinya memang bagus.
“Ah, meledek?”
“Terserah, aku berbicara jujur.” Aku lihat matanya berbinar dan pandnagannya menerawang jauh, sambuil  bergumam, aku hanya ingin menyumbangkan sebuah kemenangan untuk s ekolahku. Bahwa aku pernah berbuat sesuatu yang membanggaklan sekolahku.
“Darimana kau memperoleh ide mengenai Lelaki itu?”
Ide dari sebuah warung di pinggir jalanan surabaya, saat aku dengan tante kehujanan sepulang dari belanja buku di Toga Mas – Jalan Diponegoro – Surabaya. Karena hujan aku membeli semangkok bakso dan  segelas teh hangat. Saat sajian terhidang di hadapanku. Masuklah seorang laki-laki paruh baya dengan rambaut memutih, kurus tapi kuat, dengan dagangan mainan anak dan terompet untuk menyambut tahun baru. Dia memasuki warung dan membeli minuman di situ. Aku melihat harapan di wajahnya. Harapan tahun yang berganti tidak hujan sehingga teroimpetnya laku dijual. Harapan untuk merubah nasibnya sehingga hidupnya bisa tenang. Ya, lelaki itu kemudian menjelma kehidupan dalamm imajinasiku.
Kalu itu memang puisimu, dan karya kau sendiri. Kau sudah jauh melangkah dari kreativitas sebelumnya. Itulah pusi yang aku maksud.  Memanfaatkan kata-kata yang datang mengunjungi iamjinasimu untuk kamu olah dalams ebuah bangunan sehingga menjadi sebentuk ruang yang di dalamnya mengandung pesan bagi pembaca dan meiliki banyak tafsir ketika dinikmati. Menulislah.  Puisi itu aku baca kembali dan aku kembali menikmatinya, karena aku tak habis memaknainya.
LELAKI ITU
 Nur  Aida Maulidia
Lelaki, ketika separuh hidup ia lalui dengan menenteng keceriaan di tangan. Pada kelabu waktu, kulihat jemarinya menggapai batangan salju yang mengepul dalam genangan kecoklatan. Separuh bola ikal yang terus saja menggigil di antara nafas yang tak lagi hangat. Lelaki itu masih  saja menyongsong benang putih diatas kepalanya. Tak ada duri yang runcing . hanya sebuah nasib yang bertolak darinya. Bulan yang beku bukanlah belukar dalam gelas tatkala tubuh meronta menahan lapar. Maka kembalilah ia dalam imajinya, dengan langkah pasti, kembali ia kejar harapan dengan sedikit kemungkinan.
Lelaki dengan tubuhnya yang kerut itu menghangatkan bulan yang tengah menggigil. Lelaki dengan besi tua di  kepalanya membaca waktu yang terus saja berlarian. Lelaki dengan gulungan kawat yang melingkari tubuhnya. Karat memang, tapi tidak rapuh.  Berduri tapi tak akan menusuk hati. Kembali ia lukiskan celurit dalam lingkar matahari. Matahari yang terbujur kaku. Kaku seperti benda ikal dalam genggamnya.  Ada terompet yang bergeming meneriakkan kebebasaan. Tapi tak jua ada yang mendengar. Lelaki itu menatap matahari. Matahari yang berputar- putar menebar janji yang tak kunjung datang. Datang yang seolah hanya harapan,  menarikan torehan yang terpatri dalam lubuk negeri.
Sumenep, 2010/2011
Beberapa waktu berikutnya anakku mendapatkan telpon dari panitia lomba di UNisma – bahwa karyanya menjadi nominasi pmenang, dan pengumuman pemenang akan dilakukan pada malam peringatan Chairil Anwar.  Pada waktu yang ditentukan anakku berangkat ke kota Malang bersama dengan guru pendampingnya. Pada malam pengumuman pemenang, sekitar pukul 21.00 anakku mengabarkan bahwa pusinya menjadi pemenang pertama dan dia membacakan pusi di hadapan penyair D.Zawawi Imron yang menajdi narasumber sarasehan di kampus tersebut.*****(HR)

Tidak ada komentar: