Translate

Rabu, 02 Mei 2012

Siswa Berprestasi Sebuah Ironi?


Menjadi berprestasi adalah impian setiap peserta didik dalam menempuh pendidikan. Melalui prestasi bisa mendapatkan aktualisasi diri,  mengharumkan nama sekolah dan daerah  bahkan nama bangsa serta kedua orangtua. Maka, tidak berlebihan jika kemudian diadakan kompetsi antar pelajar untuk  membrikan ruang bagi para peserta didik menjajaki kemampuan yang dimiliki, syukur-syukur bisa memenangkan kompetisi.
setiap sekolah merencanakan dan melaksanakan program untuk menampung minat dan bakat siswa, baik di bidang akademik mau pun non akademik  dipersiapkan untuk mengikuti kompetisi baik di tingkat lokal, regional, nasional bahkan di tingkat internasional. Program yang menyita waktu, tenaga, dan biaya sebab, prestasi semacam ini akan berpengaruh kepada prestise sekolah. Bahkan beberapa sekolah bekerjasama dengan lembaga profesional di luar sekolah untuk bisa mendapatkan hasil prestasi yang bagus.
Pembinaan ini umumnya dilakukan untuk beberapa mata pelajaran yang diolimpadekan semenjak  tingkat kabupaten sampai ke tingkat internasional. Di Pamekasan terbukti dengan pembinaan tersebut mampu mengantarkan peserta didiknya memenangkan olimpiade fisika, dan matematika  di tingkat internasional. Kemenangan yang mengharumkan bukan hanya nama sekolah dan daerah tetapi juga mengharumkan nama bangsa Indonesai di forum internasional. Prestasi yang patut diapresiasi bersama.
Belakangan dari wilayah Madura ini prestasi di tingkat ionternasional bukan hanya di bnidang fisika lembaga Generasi Cerdas Nusantara yang dimotori oleh  Ahmad Faisal, mampu mengantarkan peserta didik yang dimbimbingnya memenangkan kompetisi matematika di tingkat Internasional. Bahkan seorang siswa madrasah Tsanawiyah  di Sumenep yang dibinanya bisa memenangkan medali perunggu pada lomba matematika tingkat internasional di India. Serta dua orang siswa SMA Negeri 1 Sumenep Rafika Nurmasari dan Taufik Hakiki  memenangkan medali perunggu World Mathematics Team Championship (WMTC) 2011 di Beijing. sangat menarik di antara siswa yang memenangkan medali di tingkat internasional tersebut di antaranya berasal dari Tsanawiyah dan madrasah Aliyah swasta yang ada di kabupaten Pamekasan.  Suatu fakta yang menunjukkan bahwa Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang doidominasi oleh ilmu agama juga bisa berprestasi di bidang matematika.
Apa yang diperoleh mereka setelah mendapatkan medali di tingkat internasional? Tepuk tangan, kebanggan dan nama harum sudah pasti. Setelah itu? Inilah peersoalan yang sesungguhnya, bahwa peserta didik yang telah berprestasi di tingkat internasional tersebut harus berkompetisi lagi memperebutkan kursi Perguruan Tinggi yang diinginkan. Perjuangan berat yang tak pernah usai meski mereka telah memberikan nama harum untuk bangsa. Bahkan beberapa di antara mereka setelah memenangkan medali di tingkat internasionbal harus melunasi tunggakan ulangan yang mereka tinggal saat mengikuti  pembinaan intensif selama beberapa bulan dan meninggalkan pelajaran di sekolah.
Seorang Rafika Nurmasari siswi SMA Negeri 1 Sumenep yang memenangkan medali perunggu WMTC 2011 di Beijing, pernah mengeluh dan menangis karena sudah tiga bulan dia memasuki karantina persiapan untuk mengiukti kompetisi dan meninggalkan  pelajaran di sekolah. Sepulangnya dari Beijing dengan membawa medali perunggu dia harus menangis (bukan bahagia) karena dikejar-kejar oleh gurunya untuk segera mengikuti ulangan susulan.
Seorang Hamzah Kuddah (Hamas), wakil Jatim dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) bidang fisika,Tahun 2010 kemudian di tingkat nasional terpilih untuk mengikuti pembianan dan seleksi ketingkat Asia Pasifik. Namun menurut pembimbingnya di SMA 3 Pamekasan Hamas harus merelakan diri mundur dari kompetisi olimpiade matematik di tingkat internasional, karena menurutnya jika memenangkan olimpiade di tingkat internasional tidak ada jaminan dari Kemendikbud untuk bisa diterima di Perguruan Tinggi yang diinginkannya.  Sehingga Hamas lebih memilih untuk mundur dan mempersiapakan diri untukmengikuti SNMPTN supaya diterima di Perguruan Tinggi yang diidamkannya.Tapi konon, bukan alasan itu dari sumber yang lain menyebutkan bahwa hamas mengundurkan diri dari keikutsertaan di olimpiade di tingkat internasional karena tidak kuat dengan tekanan beberapa orang guru yang ada di sekolahnya yang tidak mengijinkan meninggalkan pelajarannya.
Jika alasan yang kedua ini benar, karena tekanan guru di sekolahnya tak mengijinkan meninggalkan pelajaran (tidak memberikan dispensasi),ah keterlaluan. Realitas yang sering terjadi karena adanya egosime guru yang menganggap mata pelajarannya paling penting tanpa mau mengapresiasi prestasi peserta didik di bidang lain. Pada hal,tidak semuamataa pelajaran yang diberikan di sekolah benar-benar mampu memberikan makna dan manfaat dalamkehidupan peserta didik.
Sebuah ironi dalam dunia pendidikan bahwa eksploitasi terhadap peserta didik terus berlangsung pada setiap jenjang pendidikan. Eksploitasi yang dimaksud jika siswa berprestasi menjadikan prestise sekolahnya meningkat. Memberikan imej bagi masyarakat mengenai keberhasilan yang dicapai disekolah. Pada hal, seringkali ketika siswa mengikuti suatu kompetisi biaya ditanggung oleh wali murid.B ahkan Bapak Purwedi Bambang Rusdiyanto pembimbing Andy Oktavian Latief pemenang medali emas fisika Internasional (2005) mengeluarkan dana pribadi untuk mengikuti Andi berkompetisi di luar negeri.Penghargaan dari Pemerintah Kabupaten baru datang sepulang dari olimpade dan memenangkan medali emas.
Masih mending ssiwa yang berpretasi siswaberprestasi di bawah naungan Kemnetrian Agama(MTs dan MA) siswadari pamekasan yang memenangkan medali perunggu pada World Mathematics Team Championship di Beijing mendapatkan beasiswa sampai selesai  Strata 1 (Sarjana). Sementara dari di bawah naungan Kemendikbud, tak ada! Sebuah ironi  duniapendidikan yang mengajak siswa untuk berprestasi tetapis etelah berprestasi tak ada jaminan bagi kelanjutan studi mereka. Untuk menyikapiko ndisi ini ada baiknya: pertama, barangkali di Hari Pendidikan Nasional ini tidakberlbihan jika Kemendikbud (Pemerintah Pusat) dan Pemerintahan Daerah memikirkan apresiasi bagi mereka, bukan hanay diarakkeliling kota, diberi amplop,dan semacamnya. Namun yang lebih pentingh adalah dipikirkan kelanjutan studi mereka. Membiayai studi 2-3orang siswa berprestasi di tingkat internasional bukan hal yang sulit dibandingkan pengjmaburan dana studi banding ke berbagai negara yang kadang hanya berplesiran dna kurang jelas kebermanfaatannya.
Kedua, penyelenggaraan Olimpade sains yang selamaini diselenggarakan Kemendikbud sebaiknya bekerjasama dan melibatkan Perguruan Tinggi yang kualifaid, sehingga merkajuga ikut bertanggungjawab terhadap kelanjutan studi para pemenangnya, untuk diundang masuk Perguran Tinggi yang terlibat dalam penyelenggaraan Olimpiade Sains. Belum terlambat,karena sebnetar lagi dihbulan juni  akan diselenggarakan OSP (Olimpade sains Tingkat Provinsi).
Ketiga,sudah seharusnya jika salah seorang peserta didik memasuki karantina untukpersiapan olimpade dan semacamnya, siswa tersebut diberikan dispensasi penuh,tak lagi dibebani dengan ulangan susulan dan tugas-tugas berat yang harus ditanggung setelah usai olimpade atau kompetisi. Tindakan semacam ini akan menjadi tekanan baru yang membuat peserta didik mengalami stress dan merasa apa yang telah dikorbankan waktu dan tenaga untuk mempersiapkan serta biaya tak ada artinya, kalau harus diteror dengan tugas-tugas harian yang telah  ditinggalkannya. Kelegaan hati guru pengajar yang lain, adalah support yang sangat berarti untuk meringankan beban peserta didik ketika berkompetisi.
Semoga peserta didik yang berprestasi ini bisa mendapatkan apresiasi dengan diterima di Perguruan Tinggi yang diinginkannya.*****(HR)


Tidak ada komentar: