Translate

Jumat, 29 Maret 2013

Pinhole Camera: Otak, Mata dan Hati

Teras Rumah - Karya Hidayat Raharja
Pinhole Camera adalah kamera lubang jarum yang cara kerjanya sangat sederhana. Kamera yang bisa dibuat dari kaleng bekas, tanpa lensa tetapi dapat menghasilkan gambar “luar biasa”. Kesederhanaan yang sangat bergantung kepada intensitas cahaya atau lama pencahayaan sesusai dengan besar kecilnya lubang kamera yang telah dibuat.  Berkenaan dengan kesederhanaan alat atau kamera yang dipergunakan, maka proses bekerja dalam pengambilan gambar akan sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh.
Menghasilkan sebuah foto bagus bukan karena menggunakan kamera yang canggih dengan berbagai fasilitas yang ada di dalamnya. Bisa jadi kemudahan-kemudahan dengan berbagai fasilitas yang ada pada kamera digital justru membuat kreativitas menjadi mandul. Namun sebaliknya dengan cara dan peralatan sederhana jika kita bisa mengoptimalkan fungsi kamera, maka akan diperoleh hasil gambar yang menarik dan indah untuk dinikmati.  
Bekerja dengan kamera adalah pekerjaan yang membutuhkan ketekunan sehingga bisa mengenal keunikan sebuah kamera, kelebihan dan kekurangan bisa memanfaatkan secara maksimal. Setiap obyek yang dijadikan sasaran adalah spesifik. Artinya ada obyek yang menarik ketikadiambil posisinya dari arah samping misalnya pada beberapa hewan, namun ada pula yang menarikjika posisi gambar di ambil dari arah atas. Akan tetapi untuk kamera lubang jarum (pinhole camera) umumnya obyek yang ditangkap dengan baik adalah obyek yang berupa benda yang tidak bergerak.
Dari uraian di atas ada tiga hal yang berperan untuk menghasilkan gambar yang indah dengan mempergunakan pihole camera, yaitu otak, mata dan hati. Tentu ada pertimbangan matang dari obyek yang kita lihat dan akan diambil gambarnya. Dari mana posisi benda atau obyek akan diambil, apa pesan yang akan ditonjolkan pada obyek gambar. Pesan ini  amat penting sebab disitu sebenarnya komunikasi yang disampaikan oleh sebuah gambar. Pertarungan pemikiran semacam ini membutuhkan waktu sebelum obyek diambil dan pengambilan gambar perlu disesuaikan dengan suasana hati. Kondisi perasaan, kenyamanan saat bekerja memiliki andil besar untuk menghasilkan gambar yang bagus.
Ada suatu pengalaman yang didapat penulis pada saat diajak oleh Edy Setiawan seorang fotografer yang beberapa kali  mendapatkan penghargaan baik di tingkat nasional mau pun di tingkat internasional. Saat itu saya diajak untuk memburu obyek di lereng gunung lawu. Obyek yang disasar ladang sayur dan perkebunan teh. Siang sampai sore saya diajak berburu obyek yang menarik untuk diambil gambarnya.  Setelah menemukan beberapa lokasi kami kembali ke tempat penginapan. Pagi, sebelum matahari terbit kami kembali ke lokasi yang teah ditentukan menunggu datangnya sinar matahari.Saya perhatikan sembari menunggu sinar matahari,dia sibuk mencoba mengambil obyek dari berbagai posisi. Perhitungan cahaya amat diperhatikannya untuk bisa menghasilkan foto yang bagus. 
Mempergunakan pinhole camera lebih menarik, karena tantangannya lebih besar. Menentukan pesan apa yang akan disampaikan dari obyek yang diambil. Tentu obyeknya adalah obyek diam karena tidak ada pengatur kecepatan pada pinhole camera. Lebih menarik lagi jika kamera yang dipergunakan adalah kaleng bekas,sebab akan menghasilkan gambar yang cembung dan dengan warna hitm putih akan menimbulkan kesan klasik. Ini sangat menarik untuk obyek bangunan pemukiman, pertokoan atau perkantoran.
Maka kejelian mata untuk memilih posisi obyek, merupakan salah satu hal yang amat menentukan serta hati yang tenang, damai akan berpengaruh terhadap hasil obyek yang akan diambil. Suara suling yang bagus bukan karena suling (alat) tetapi ditentukan oleh suara hati peniupnya.(Hidayat Raharja).

Jumat, 22 Maret 2013

Membaca,Menulis, dan Warna Guru Kita


Kumpulan Tulisan ' Ibu,I,m Online" Karya Siswa SMA Negeri 1 Sumenep
 oleh: Hidayat Raharja
Membaca dan menulis adalah kebutuhan pokok bagi seorang guru.Mustahil seorang guru bisa mengembangkan wawasan keilmuannya tanpa membaca.Mustahil seorang guru bisa mengembangkan kecakapan muridnya tanpa mengikuti perkembangan keilmuan dan ilmu pendukung yang tumbuh dan berkembang secara dinamis. Dua kebutuhan yang menjadi tolak ukur kemampuan guru dalam mengembangkan diri secara profesional.
Kegiatan membaca bagi seorang guru merupakan kegiatan wajib untuk mengetahui perkembangan keilmuan yang diampukannya di dalam kelas, sekaligus untuk bisa memberikan sesuatu yang memudahkan peserta didikuntuk bisa memahami mata pelajaran yang diampunya. Seberapa banyak buku sumber yang dijadikan guru sebagai pijakan dalam pembelajaran di dalam kelas atau hanya menggantungkan buku cetakan yang dijual penerbit terhadap peserta didik di sekolah.
Ah jangan-jangan guru kita sudah tak mengikuti perkembangan kelimuan mata pelajaran yang diampunya. Mengapa demikian? Kita bisa berefleksi berapa banyak guru di setiap sekolah yang membicarakan buku terbaru yang bisa dijadikan rujukan dalam pembelajaran? Atau berapa banyak pula di antara mereka yang merekomendasikan website yang bisa dijadikan sumber belajar bagi peserta didiknya?
Adakalanya perlu dilakukan untuk merevitalisasi kemampuan membaca bagi seorang guru. Sebab, kebiasaan membaca tersebut akan menjadi suatu stimulan baginya ketika mengajak atau meminta murid-muridnya untuk membaca. Ajakan seseorang akan memiliki efek yang berpengaruh jika si pengajak telah melakukan dan merasakan apa yang dianjurkannya. Ini amat penting, kegagalan seorang murid dalam belajar seringkali ditumpukan kepada ketidakmampuan peserta didik bukan ketidakmampuan guru dalam proses pembelajaran. Pola pikir senantiasa menempatkan murid sebagai obyek yang menerima kesalahan.
Membaca sebagai salah satu jalan untuk menambah informasi memerlukan pembiasaan dan pemodelan.Artinya kegiatan membaca tersebut dapat menular dari guru kepada murid apabila diawali dari kebiasaan guru membaca. Dari buku-buku yang telah dibacanya guru bisa memberikan motivasi kepada siswa mengenai apa yang diperoleh dari buku yang dibacanya.Juga bisa mengajak siswa untuk melaporkan atau menceritakan buku apa yang telah dibacanya.Apalagi guru memberikan rekomendasi kepada siswa mengenai buku tertentu yang berhubungan dengan mata pelajaran yang diampunya,misalnya.
Sayang, gerakan semacam ini sepertinya sulit dilakukan. Berbagai ancaman hadir di hadapan guru dan siswa, televisi yang bertamu selama dua puluh empat jam nonstop. Alat telekomunikasi mengajak kita menghamburkan waktu pada hal-hal yang tak penting. Juga budaya dan pembiasaan memanfaatkan ruang perpustakaan di sekolah masih belum maksimal. Perlu ada gerakan yang mengajak guru untuk membaca buku sebagai sumber pengatahuan. Sebab,buku bagi guru dan juga murid ibarat makanan yang akan menambah energi pengetahuan mereka. Buku kebutuhan sandang mereka.bagaimana merekamenjadi buku sebagai sebuah gaya hidupyang akan membiasakan mereka belanja buku – bukan hanya belanja pakaian dan kendaraan yang selamaini dipandang sebagai status sosial dan keberhasilan mereka. Sementara dalam hal pembelajaran masih seperti lagu lama “kau masih seperti yang dulu”. Apa yang diharapkan dari guru yang tidak membaca buku?Jangan-jangan murid bisa berkembang pengetahuannya bukan karena dimotivasi oleh guru, tetapi karena kekecewaannya terhadap pengetahuan guru sehingga ia berselancar sendiri di dunia pengetahuan yang melaut. Saya tetap yakin kalau guru memilikipengaruh besar terhadap perubahan belajar siswa.
Maka adanya gerakan Literasi Untuk Guru yang dilakukan oleh dua orang guru pesantren A. Dardiri Zubairi dan M. Musthafa  adalah gerakan yang perlu didukung oleh semua pihak sebab gerakan ini adalah sebuah penyadaran akan pentingnya membaca dan menulis bagi seorang guru dengan membaca maka guru akan menyelami dunia pengetahuan dan dengan menulis guru bisa mengungkapkan gagasan, pengalaman, dan dunia keilmuan yang diselaminya. Sebuah proyek mercusuar yang akan banyak memberikan warna dan perubahan bagi guru yang berarti akan mewarnai dunia pendidikan. Sayang ide-ide semacam tidak muncul dari para penentu kebijakan pendidikan yang ada di dalam birokrasi pemerintahan.(Sumenep, 22 Maret 2013)

Rabu, 20 Maret 2013

Sastra,Sains, dan Imajinasi

Bencana 1 - Karya Hidayat Raharja
Oleh: Hidayat Raharja | Pendidik dan Pelaku Kebudayaan
Seorang guru biologi tertarik terhadap dunia (karya) sastra kerap kali dianggap sebagai guru tersesat, tersebab mereka tergila-gila terhadap karya sastra. Sebuah anggapan yang membatasi seseorang untuk menggali informasi. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa tidak ada hubungan antara biologi dengan sastra. Penyekatan antar ruang pengetahuan, seringkali menjadikan sebuah ilmu bersifat kaku, teralineasi dari ilmu lainnya sehingga menimbulkan kebenaran-kebenaran egoistik bukan universal. Seringkali pembatasan-pembatasan dalam minat belajar menjadi kebiri bagi perkembangan potensi seorang anak manusia. Pembatasan itu telah mengalineasi kecerdasan manusia yang multiple menjadi lebih sederhana dan menjadi tidak berkembang. Batasan-batasan yang kemudian menjadi sinyal-sinyal larangan untukditembus atau dihubungbalikkan. Jika demikian maka dunia pengetahuan hanya akan menciptakan dunia ego yang lebih mementingkan kepada diri dan kelompoknya.Merasa diri dan kelompoknya yang penting dan mengabaikan keberadaan orang lain.
Dalam kaitan sastra dan sains adalah adalah dua sisi mata uang yang seringkali dipandang jomplang. Tidak sedikit dari tenaga pendidik yang mengalineasikan sastra dengan sains. Sastra sebagai dunia imajinasi adalah sosok penting yang akan banyak memberikan pengaruh bagi perkembangan sains,dan sebaliknya. Pada hakikatnya karya sastra memiliki hubungan universal dengan kaidah-kaidah keilmuan lainnya. Ia bisa bersingungan dengan ilmu geografi, bisa bertemu dengan ilmu sejarah, atau berpijak kepada ilmu astrologi , dan yang lainnya.
Dunia sastra adalah dunia rekaan yang berangkat dari sebuah dunia nyata dan diolah ke dalam dunia teks sehingga menjadi dunia baru (yang lain). Di dalamnya terbangun idealisme yang dikonstruksi oleh pengarang. Di dalam karya sastra ada dunia atau kehidupan baru yang saling berinteraksi saling menjaga keseimbangan dan jika salah satu komponennya terganggu maka ekosistem dalam cerita akan terganggu pula. Maka sesungguhnya memahami sastra juga di dalamnya memahami persoalan sosioekologi dan kultural yang bertaut dengan hidup dan kehidupan yang kompleks. Pun sebaliknya dunia sastra adalah sebuah dunia yang saling terkait dengan biologi, fisika, kimia, antropologi, sosiologi dan semacamnya. Sebuah sirkulasi keilmuan yang saling melengkapi.
Dunia sastra adalah dunia yang saling bertelusur dengan ilmu-ilmu di luar sastra, sehingga pada sebuah teks karya sastra di dalamnya akan banyak ditemukan bidang-bidang ilmulain yang menyusun kehidupan di dalamnya, sehingga dunia dalam teks menjadi real. Bagaimana seorang Pramoedya Menuliskan “Bumi Manusia” adalah sebuah hasil pergulatan dengan teks-teks sejarah untuk membangun settting kolonialismedi daerah Surabaya seabagai daerah perdagangan pada saat itu. Betapa tekun Pram menggali teks-teks mengenai kondisi sosial dan pelacuran yang ada di wilayah surabaya saat itu. Perkawinan antara pribumi dengan warga asing yang selalu menimbulkan persoalan-persoalan dilematis di belakang hari adalah hal-hal yang menguatkan dunia sastra dengan dunia luar sastra.
Sastrawan Wildan Yatim adalah salah seorang cerpenis yang berlatar belakang pengetahuan Biologi. Dosen Biologi di Universitas Padjadjaran – Bandung. Sebagai dosen biologi beliau juga menghasilkan buku biologi di antaranya, Biologi (1974), Embryologi (1978),dan Genetika (1980). Sementara karya fiksinya berupa cerpen dan novel, di antaranya cerpen “Surau Baru”mendapatkan penghargaan dari majalah sastra Horison (1969). Novelnya berjudul “Pergolakan” pernah memenangkan penulisan roman sebagai pemenang ketiga  yang diselenggarakan Panitia Tahun Buku Internasional DKI Jakarta,1972. Pada tahun 1975 novel ini meraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud. Analisis  beberapakritikus MeskiWildan ahli dalam bidang biologi, namun ada deskripsi biologis hasil penelitiannya yang ditayangkan ke dalam sebuah novel. Wildan sebagai seorang biolog selain menghasilkan buku biologi juga menghasilkan karya sastra bermutu yang menempatkannya sebagai sastrawan angkatan tahun 1966.
Tidak ada larangan untuk membaca karya sastra sebab bacaan ini menjadi penting ketika otak kita hanya dijejali dengan persoalan-persoalan logis yang mengasah otak kiri. Sebagai penyeimbang, bacaan sastra sebagai teks akan membangun imajinasi dalam diri pembaca sehingga bisa mengembangkan kemampuan otak kanan. Kemampuan memainkan imajinasi adalah hal penting dalam dunia pengetahuan. Bila seorang anak mampu mengembangkan imajinasinya maka ketika menyerap sebuah konsep, anak itu tidak akan mendiamkannya, melainkan akan mengolahnya dalam pusat informasi di otak mengembangkannya dalam imajinasi sehingga menimbulkan persoalan-persoalan baru yang menarik bahkan inovatif.
Berkembangnya imajinasi akan sangat menguntungkan bagi peserta didik karena akan mampu meralisasikan yang abstrak serta mempu megembangkan konsep melintasi batas-batas keatif kepada hal-hal inovatif. Ia akan menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi sebuah keniscayaan. Ia akan berani mencoba hal-hal yang menurutnya mungkin dan menurut orang lain tidak mungkin. Artinya berkembangnya imajinasi tersebut akan menunjang pribadi anak dalam menentukan dan bersikap. Amat disanyangkan, ketika guru-guru matapelajaran di sekolah tak pernah bersinggungan dengan karya sastra. Bahkan persintuhan dengan matapelajaran yang diampunya. Kondisi yang kemudian membangun ego, diri dan mata pelajarannya yang penting sedangkan yang lain tidak penting. Pengembangan imajinasi dianggap sebagai khayalan yang keluar dari akal sehat padahal sebenarnya terbangunnya imajinasi pada diri peserta didik akan memudahkan untuk merealisasikan hal-hal yang abstrak serta kemampuanya untuk mencari hubungan keterkaitan antara yang satu dengan yang lain.
Sumenep, 20 Maret 2013

Selasa, 19 Maret 2013

Sastra Pop?

Oleh : Hidayat Raharja | Pendidik dan Pelaku Kebudayaan

Apa sebenarnya yang menarik dari sebuah karya sastra? Apa manfaat yang diperoleh dari sebuah karya sastra? Pertanyaan yang selalu berkecamuk ketika karya sastra  diperjuangkan mati-matian bahkan sampai menimbulkan perselisihan hanya karena tidak disebut sebagai karya sastra. Perdebatan yang berpusar kepada dikotomi karya sastra dan populer.  Ada sementara yang menganggap karya populer lebih rendah dari pada karya sastra. Perdebatan semacam ini takkan pernah usai sebab kedua berangkat dari ranah yang berbeda.
Karya-karya Habiburrahman ElZirazy (kang Abik) yang fenomenal dengan novelnya “Ayat-Ayat Cinta” dan Andrea Hirata dengan tetralogi Laskar Pelangi dalam berbagai diskusi didedahkan sebagai karya populer dan kering nilai sastra.  Keduanya hanyalah karya yang diketegoriakn sebagai novelmotivasi yang mampu memberikan spirit dalammencapai kesuksesan di antara  keterbatasan yang ada.
Munculnya perdebatan tersebut sebenarnya telah menggerakkan dinamika pemikiran dunia sastra dan penulisan kreatiuf di Indonesia. Kenapa? Saya sangat terkesan ketika pada suatu waktu bertemu dengan Kang Abik (Habiburrahman) saat melakukan launching Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Pamekasan. Saat itu saya tanya apamotivasi kang Abik menuliskan novel Ayat-Ayat Cinta – dengan gamblang dia menjelaskan bahwa sebenarnya diawali dari sebuah kegelisahan banyaknya novel-novel remaja (teenLit) yang menyerbu bacaan dunia remaja. Dia khwatir dengan hadirnya bacaan novel asing terejamahan mempengaruhi pada perilaku remaja. Secara kebetulan hadirnya Ayat-ayat Cinta dapat mengisi kejenuhan bacaan di dunia remaja dan menjadi booming dan digemari.Novel tersebut telah menjadi bahan kajian ilmiah dalam tuigas akhis skripsi yang dikerjakan oleh mahasiswa sastra Indonesia.
Popularitas novel Ayat-ayat Cinta diterjemahkan ke berbagai bahasa dan bahkan dibuat  film layar lebar serta secara berseri ditayangkan dilayar televisi. Popularitas yang kemudian memberikan banyak keuntungan bagi penerbit dan produser tak terkecuali juga keuntungan finansial bagi pengarangnya Habiburrahman El-Zirazy. Namun keuntungan yang diperoleh bukan dipergunakan untu kesenangan pribadi tetapi digunakan untuk membangun asrama pesantren. Keuntungan yang kemudian diperguankan untuk memberdayakan masyarakatnya.
Tidak jauh berbeda dengan Laskar Pelangi – karya Andrea Hirata. Karya tersebut semula dedikasikan untuk Bu Muslimah guru di SD Muhammadiyah Belitong. Namun manuskrip naskah itu kemudian dikirimkan ke penerbit dan ternyata tertarik untuk menerbitkannya. Novel ini menarik perhatian pembaca, karena mengangkat kearifan lokal. Larisnya novel Laskar Pelangi juga mengagetkan Andrea, sebab dia tak menyangka akan menjadi novel best seller. Bahkan secara jujur dia mengatakan saat itu bahwa dia tidak banyak mengenal karya sastra.Dia seorang ekonom yang mencoba menuliskan pengalaman dan impiannya, tulisan yang kemduian banyakmemberikan motivasi dan inspirasi bagi pembacanya. Dia kemudian masuk ke dalam sebuah industri perbukuan sampai memutuskan keluar dari pekerjaannya.
Sebuah pilihan yang kemudian menyibukkan dirinya bukan hanya sebagai pengarang tetapi juga menjadi musisi dengan menciptakan lagu “Cinta Gila” yang dinnyanyikan oleh kelompok band  “Ungu” melengkapi kehadiran Andrea dalam dunia industri. Bahkan juga buku Laskar Pelangi  diterjemahkan ke panggung musik dalam sebuah opera musikal “Laskar Pelangi” begitu populernya Laskar Pelangi. Disadari atau tidak Andrea Hirata telah masuk ke mesin Industri perbukuan di Indonesia,juga industrimusik yang telah memberinya banyak keuntungan secara finansial. Sebagian royalti buku dan film Laskar Pelangi digunakan untuk membuka bimbingan belajar gratis bagi anak-anak SMA di Belitong yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi,sebagian lagidipergunakan untuk membangun perpustakaan, serta menggerakkan budaya masyarakat sehingga bisa beralih dari masyarakat buruh menjadi masyarakat pariwisata. Sebuah penyadaran ketika tambang timah tinggal lubang galian dia berupaya untuk mengalihkan masyarakat ke industri pariwisata. Film laskar pelangi yang diangkat dari novel dengan judul yang sama mampu menarik para wisatawan untuk menikmati eksotisme pulau Belitong.
Novel Laskar Pelangi sebagai novel populer amat menarik untuk ditelaah dan ditelusuri.Bila sebagian orang mencermati dari khazanah kesastraan dan dinilai sebagai karya yang kering nilai sastranya. Di sisi lain novel “Laskar Pelangi” memiliki makna penting sebagai karya sastra yang memberikan kontribusi budaya bagi masyarakatnya. Dengan dikenalnya pulau Belitong sebagai daerah yang “eksotik” banyak wisatawan yang datang dan bebrapa tradisi budaya lokalkembali dihidupkan di antaranya adalah bahasa Belitong.
Namun juga karya yang tergoloang ke da;am kanon sastra juga banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat luas.Novel “Korupsi” karya Pramoedya  Ananta Toer (1953) yang menceritakan balada koruptor. Enam puluh tahun lalu kasus korupsi telah menggelisahkan sastrawan karena dirasakan sangat merugikan bagi negara dan rakyat. Cerita yang megisahkan seseorang yang semula jujur, tergiur oleh beberapa rekan yang melakukan tindak korupsi.Coba-coba korupsi dan kemjudian mencari pemebenaran-pembenaran untuk terus melakukannya.
Maka ketika novel dipertentangkan sebagai yang populer atau sebagai kanon sastra adalah sesuatu yang lumrah sebab pada keduanya tedapat tempat dan masyarakat penikmatnya. Sastra populer tidak sellau jelek sebab didalamnya dapat terbenam nilai-nilai inspiratif sehingga bisa memberikan inspirasi bagipembacanya. Diibaratkan sebagai makanan ada makanan populis yang bisa dinikmatioleh semua lapisan masyarakat, namun juga ada makan khas yang disukai oleh kelompok tertentu. Keduanya sama-sama bisa menikmati apa yang disantapnya. Persoalan nikmat adalah persoalan selera, sehingga lebih bersifat subyektif. Maka,sebenarnya pertentangan akan menjadi sesuatu yang bermakna ketika ditempatkan sebagai dinamika pemikiran yang saling melengkapi. Sastra atau kah karya populer yang penting adalah bagaimana karya itu diniatkan dan seberapa besar kontribusinya bagi perubahan. Bahwa di dalam sebuah karya sastra baik cerpen, novel atau pun puisi sebenarnya adalah sebuah upaya untuk mengalihkan dunia realitas ke dalam dunia rekaan, dunia ideal  yang diimpikan semua.
Sumenep, 19 Maret 2013