Translate

Kamis, 29 Desember 2011

KEKERASAN

Oleh: Hidayat Raharja
Menjelang tutup tahun 2011 ada beberapa kasus kekerasan yang mengusik pikiran kita. Pertama,kasus kekerasan di Mesuji- Lampung, Kekerasan di Bima keduanya menyangkut persoalan tanah dan meminta korban jiwa. Peristiwakekerasan yang ketiga adalah pemabakaran sebuah pesantren di desa Karanggayam – Omben – Sampang. Kasus yang ketiga disebabkan karena mengajarkan aliran agama ,dan itu terjadi antara sesaudara; kakak beradik. Berita aneka tindak kekerasan berlngsung secara bersambung dilayar televisi,di antara hirukpikuk kasus korupsi yang membelit pengusaha dan pejabat di negeri ini.
Kekerasan sepertinya menjadi jalan keluar di antara kebuntuan persoalan yang selalu mengorbankan rakyat kecil,dan keberpihakan penguasa pada pemilik modal. Jika demikian habis sudah rasa percaya diri orang kecil kepada para pemimpin negeri ini, karena harga diri telah dipertukarkan dengan modal atau uang. Para penguasa menurut salah seorang pengamat sosial politik di televisi telah berpihak pada kekuatan kapital; “Maju tak gentar membela yang bayar.” Sungguh ironis para pemimpin yang dipilih rakyat menindas rakyat. Orang kecil hanya diperlukan saat menjelang pileg, pilkada,dan pilpres.
Benarkah karena sudah tidak ada jalan keluar? Ada banyak hal yang dapat kita uraikan, dari berbagai sudut pandang. Sujiwo Tedjo dalam sebuah diskusi bersama Radhar Panca Dahana, dan Moh. Sobari mengurai mengenai kekerasan dari sisi budaya. Menurut Sujiwo Tedjo, kekerasan itu merupakan salah satu budaya dalam masyarakat kita. Orang Jawa yang lemah lembut di belakangnya menyungging Keris. Orang Madura menggenggam clulit. Orang Aceh memegang Rencong, dan hampir di setiap daerah memiliki senjata yang khas yang dipergunakan sebagai senjata. Berlatar pada budaya kekerasan tersebut,maka hendaknya setiap pemimpin berlaku adil dalam memimpin dan mengayomi rakyatnya.Sebab, jika para pemimpin tidak bijaksana maka rakyat akan memberontak, mereka akan melakukan kekerasan untuk melawannya.
Rakyat malakukan kekerasan karena mereka diperlakukan tidak adil, penguasa seringkali berpihak kepada pemilik modal. Kekerasan bukan merupakan sebuah budaya masyarakat Indonesia, melainkan sebuah bias karena pemimpin yang tidak adil.Menurut Sobari dan Radhar pemerintah tidak mampu melakukan diplomasi sebagai mana dilakukan oleh para pemimpin terdahulu. Perlu diingat bahwa Indonesia merdeka,bukan hanya karena senjata bambu runcing, tetapi karena hasil diplomasi para pemimpin sehingga banyak mendapat dukungan dan pengakuan dari berbagai negara di dunia.
Sangat disayangkan memang ketika tanpa disadari kita telah menanamkan “kekerasan”dalam berbagai sisi kehidupan kita. Kererasan psikhis dalam berbagai ancaman dalamkehiduan yang membuat tidak nyaman. Kekerasan ekonomi, yang memaksa kita untuk membayar lebih dari ketentuan yang ditetapkan dalam layanan, karena jika tidakmemberikan “tips”maka layanan kita akan tertunda. Kekerasan “politik” yang berbagaikekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan meski rakyat kelimpungan mempertahankan hidupnya seharihari. Kekerasan dalam bidang pendidikan yang tak mampu memberikan honor yang layak bagi Guru Tidak Tetap (GTT) yang dibayar dibawah UMR daerah setempat. Di beberapa tempat sukarelawan guru Sekolah Dasar ada yang dibayar Rp.50.000 (limapuluh ribu rupiah) setiap bulan. Mungkin inipemecah rekor MURI seorang sarjana dengan honor limapuluh ribu rupiah. Ah, betapa banyakkekerasan berlangsung di sekitar kita, tetapi hanya kesabaran dan ketabahanlah yang membuat mereka bertahan, dan bersyukur dengan apa yang dihadapi hari ini.Namun kesabaran orang kecil perlu diimbangi dengan kesungguhan para pemimpin untuk memulaikan dan mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Jika tidak?! selamat tahun baru 2012.

Rabu, 21 Desember 2011

PENGABDIAN PARA GURU MUDA

Oleh: Hidayat Raharja*
Sore beranjak malam. Sebuah stasiun televise menayangkan acara “Pengabdian” .Pada malam itu kebetulan ditayangkan seorang perempuan muda yang terpilih dalam Program Indonesia Mengajar dan ditempatkan di suatu daerah di luar Pulau Jawa. Perempuan cantik, enerjik, dan begitu bersemangat menjalankan tugas pengandiannya di sebuah sekolah dasar yang ada di tengah hutan.

Aku tak ingat namanya, tetapi aku ingat perempuan itu penuh gairah, kreatif, dan interaktif dengan anak-anak yang diajarinya. Interaksi dengan anak-anak yang bermukim di daerah yang terpencil nun jauh di sana. Sungguh menaskjubkan, anak-anak itu begitu ceria mereka mudah menerima dan berinteraksi dengan Bu guru yang baru. Anak-anak yang tidak jauh bebrbeda dengan anak-anak seusianya.

Anak-anak berseragam putih merah itu bagai menemukan oase. Mereka menemukan sesuatu yang dirindukannya. Mereka selalu merindukan kehadiran Bu guru muda yang sebenarnya bukan seorang guru. Ya, dia bukan seorang guru, ttepai mempunyai semangat yang tuluis dan ikhlkas untuk menularkan ilmu yang dimilikinya dalam sebuah pengabdians ebagai guru di program “Indoensia Mengajar”. Penganbdian yang tulus, karena mereka berani meninggalkan poekerjaanya dengan gaji mapan, hanya untuk menjadi guru di pelosok desa selama satu tahun. Sebuah [pengabdian untuk memberikan bekal pengetahuan. Membangun mimpi-mimpi anak-anak di pelosok itu untuk meraih masa depan.

Dia seorang sarjana berprestasi yang mencoba untuk mengabdikan diri, membangun sejarah hidup untuk dikenang anak cucunya kelak di kemudian hari. Guru muda yang kreatif dengan segala keterbatasan fasilitas yang ada, di manfaatkannya keterbatasan untuk menanamkan pemahaman, dan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan anak-anak desa itu. Saat mengajarkan peta Indoenesia Bu guru tidak cukup memberikan teori, tetapi diajaknya anak-anak ke tepian laut yang tak jauh dari sekolah. Lalu, digambarnya peta buta Indonesia, dengan cakap anak-anak itu menyebutkan nama pulau di peta yang di bua. Di tatapnya lautan luas, memandang luas kepulauan wilayah Indonesia.

Alam (pantai) menjadi sumber belajar mereka. Di tepian laut. Di atas hamp[aran pasir digambarnya peta, dipahaminya skala peta dengan ukuran nyata, angin darat, angin laut an kegunaanya bagi kehidupan nelayan dan kehidupan mereka. Sebuah pembelajaran holistik, pem,belajaran yang mengakokmodir aneka kecerdasan mereka.

Ternyata anak-anak yang ada di pelosok ituadalah anak-anak yang cerdas. Anak-anak yang memiliki cita-cita setinggi langit dan seluas laut terbentang di hadapannya. Bu guru muda yang tengah mengabdi telah memantik dan memercikkan bintan-bintang dari anak-anak di daerah terpencil. Selama setahun mereka mengabdi, setahun pula mereka menanam, dan harapan itu mulai tumbuh dan terus tumbuh.

Datangnya pengajar-pengajar muda, adalah inspirasi baru dalam dunia pendidikan kita. Bahwa; pertama, betapa selama ini anak-anak itu begitu rindu pembelajaran yang menggairahkan. Mereka rindu untuk mengenal lingkungan alamnya, masyarakat dan bangsanya. Kedua, dunia pendidikan kita harus berubah, karena anak-anak itu tidak lagi lahir jaman penjajahan. Anak-anak itu tidak lahir di jaman otoriter, tetapi anak-anak itu hadir dalam sebuah jaman yang bebas di tengah serimpungan arus informasi dan teknologi. Anak-anak yang tengah diintai cengkeraman kapitalisme dalam kehidupan masa depan mereka.
SUMENEP, awal Desember 2011

IBU MENJADI HUTAN BAGI TEDUHANKU

Oleh: Hidayat Raharja

Sebilan belas tahun sudah ibu meningalkan aku untuk selamanya. Banyak hal yang dia tinggalkan dan takkan pernah aku lupakan sepanjang hayatku. Ibu yang menjadi hutan bagi teduhanku, melindungi segala ketakutan dan memenuhi segala yang aku buuthkan; cinta. Semoga Ibu mendapatkan tempat yang mulia di sisi Nya. Amin.

Apa yang harus aku ungkap mengenai Ibu? Takkan ada kata –kata yang mmapu menumpahkan segala kebajikan yang telah diberikannya kepadaku. “belajarlah yang rajin, biar nanti kau jadi orang suskes, orang uang berguina bagi sesama, agama dan bangsanya!” suatu ketika ibu berpesan kepadaku. Ibu memang tidak berpendidikan tinggi, tetapi cita-cita Ibu untuk anak-anaknya amatlah mulia. Ibu memang bukan lulusan pendidikan tinggi, tetapi apa yang Ibu didikkan kepada kami anak-anaknya adalah pejaran hidup yang amat berharga. Jika aku berhasil, adalah karena kasih sayang ibu dalam mendiidkan kami, dalam doa-doanya di maam-malam yang sepi sehingga hanya dia dan Tuhan saling bercengkerama dan berbagi.

Tak ada yang bisa aku kadokan buat ibu. Kesederhanaan yang pernah ibu tanamkan adalah satu-satunya kebahagiaan yang aku nikmati. Hanya doa buat kemurahan Nya menempatkan Ibu di tempat yang nyaman dan berbahagia di sisiNya. Tak ada kue ulang tahun yangh pernah kami buat untuk merayakan ulang tahunku. Namun, Ibu selalu menahan lapar , dahaga, dan memanjatkan doa untuk kemuliaaan anak-anaknya.

Kini aku sudah menjadi orangtua, dengan dua anak remaja yang tengah tumbuh meraih masa depannya. Seorang anak perempuan yang bercita-cita menjadi orang sukses yang berguna bagi orang lain, dan seorang anak laki-laki yang akan menyelesaikan pendidikan dasar. Seorang anak yang penuh misteri dan selalu suka berbagi dengan orang lain. Penyuka olah raga dan kurang suka membaca. Tetapi aku yakin dia punya jalan yang tempuh yang berbeda tetapi tetap dalam lintasan pengabdian kepada sesama, agama dan bangsanya.

Ibu, aku tak akan mengeluh, sebagaimana Ibu pernah tempuh hidup yang kadang tak teduh. Penderitaaan mematangkan Ibu dalam menjalani kehidupan yang keras dan penuh tantangan, namun Ibu senatiasa mernguatkan diri dengan doa. “Jangan mengeluh pada manusia, karena Tuhan yang punya segala,” begitu ibu sampaikan pada anak-anaknya yang sring dilanda kecewa dan putus asa. Penderitaaan yang diajalani dengan tabah, sebuah pelajaran hidup yang membuat ibu semakin matang dalam membesarkand an mengantarkan anak-anaknya ke gerabang hidup yang kian buas.

Umur Ibu memang tidak panjang, dipanggil Tuhan pada usia empat puluh dua (42) tahun. Tetapi kasih sayang, pengorbanan ibu, dan nasehat-nasehatnya teruys menyala dalam hati anak-anaknya. Lentera penerang yang selalu menjadi pengantar doa seusai sholat lima waktu. Waktu sebentar, namun bayak hal yang ibu tanamkan.
“Sholatmu, kamu jaga, tepat waktu dan jangan sampai lalu!” pesanmu pada anak tertuamu.
“Lindungi adik-adik perempuanmu. Akurlah sesama saudaramu. Bantulah saudaramu yang kurang beruntung, biar hidupmu berguna. Jangan berseleisih harta dengan saudara. Mengalahlah, karena Tuhasn Maha Kaya, mintalah kepada Nya!”

Kata orang aku separuh mirip ibu dan separuh mirip Bapak. Tentu, karena aku anak mereka. Anak yang mereka cintai dan harapkan jadi penerus generasi keluarga. Namun apa yang aku kerjakan belum sebesar pengorbanan yang ibu berikan. Maaf Ibu. Maafkanlah segala khilaf dan salah, dan tingkah polah yang pernah menyakitkanm hati ibu. Aku yakin Ibu tak akan mengutuk aku jadi batu. Hati ibu yang mulia, aku nyalakan sepanjang lorong tempuahnaku. Lorong yang menunjukkanku ke sumber mata air tempat anakanaknya membersihkan diri. Lorong menuju rumah mungil tempat anak-anaknya berdua dengan kekasihnya berhadapo-hadapan setiap waktu. Lorong menuju hutan raya, tempat segala hidup ceria. Sebelum semua fana.

Ibu, lorong kecil tempat akau mengintip dunia dan tempat aanak-anaknya meminta kunci tulus yang membukakan gerbang surga yang nyata.

Sumenep, 22 Desember 2011

Senin, 31 Oktober 2011

Praktikum: Bermain-main dengan Persoalan Biologi

oleh: Hidayat Raharja
Kegiatan praktikum adalah sebuah pengalaman konkret untuk menguatkan konsep sehingga bersifat menetap dalam diri siswa. Melalui praktikum siswa merencanakan, melakukan atau mempraktikkan konsep sebagai pengalaman empiris yang akan melekat dalam ingatannya sepanjang hayat. Dr. Avernon Amagnensen (De Porter, 2000) menjelaskan bahwa kita belajar; 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar, 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Kegiatan praktikum menurut Amagnensen merupakan penguatan dalam belajar yang persentasenya 90 %. Suatu temuan yang menekankan betapa pentingnya kegiatan praktikum untuk meberikan pengalaman bagi anak. Penguatan konsep yang akan mengurangi verbalitas dalam pelajaran biologi.
Praktikum biologi merupakan suatu hal yang menarik, karena biologi senantiasa berhubungan dengan makhluk hidup dan kehidupannya. Praktik yang akan memberikan berbagai kemungkinan bagi siswa untuk melakukan eksplorasi, sebagaimana dinamika yang dialami makhluk hidup yang dijadikan sebagai sumber dan pengalaman belajar.
Kegiatan membuat rancangan praktikum adalah sebuah upaya yang mengesplorasi berbagai kemampuan siswa, kognitif dan psikomotorik, serta kreativitas. Siswa diminta untuk memanfaatkan ketersediaan yang ada dalam lingkungan sekitar sebagai potensi yang dapat menguatkan pengalaman belajar mereka. Aktivitas yang akan memancing seluruh aspek kecerdasan siswa dalam merancang, memilih alat dan bahan sesuai dengan ketersediaan yang ada serta bekerjasama dalam kelompok untuk mengembang tanggungjawab yang diberikan.
Perkembangan industri dan teknologi informasi telah meberikan produk dan poengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan. Sumber persoalan-persoalan baru yang menarik dan menjadi sumber eksplorasi dalam arti “Permainan / main-main” untuk mengungkap keingintahuan siswa terhadap produk baru (instant) terhadap makhluk hidup. Aneka jenis minuman kemasan dan minuman energi yang ditawarkan oleh berbagai produsen atau industri menjadi sumber persoalan dalam praktikum pengaruh faktor luar terhadap pertumbuhan tanaman. Persoalan yang dikaitkan dengan kandungan bahan yang tertera dalam kemasan, di antaranya kandungan ion yang dapat menggantikan ion tubuh. Dapatkah menggantikan kebutuhan mineral tumbuhan selama masa pertumbuhannya. Ide persoalan yang muncul dari pengalaman siswa di lingkungannya yang dikaitkan dengan pengalaman belajar (biologi) yang ditempuhnya.
Aneka jenis cairan yang ada dalam kehidupan kita; air zamzam, air sumur, air garam, air laut, air kapur, cuka, bahan larutan yang dijadikan alat uji pengaruh terhadap pertumbuhan biji kacang hijau. Sebuah keberanian yang untk mengembangkan lebih luas pengaruh air terhadap pertumbuhan. Pemanfaatan kandungan asam-basa dan garam bagi pertumbuhan tumbuhan.
Juga ketika air yang dianggap sebagai media pengantar informasi dan telah dibuktikan oleh Masaru Emoto, ternyata juga dapat menyampaikan pesan “baik” terhadap petumbuhan. Bacaan doa yang disampaikan dalam tetesan air, berpengaruh terhadap pertumbuhan biji kacang hijau.
Ada kemungkinan - kemungkinan yang meniscaya, ketika kebebasan berpikir kreatif diterapkan dalam kegiatan praktikum ini. Sebuah temuan-temuan yang menguatkan pada pengalaman belajar sebelumnya. Ketika kertas, sterofom, kain, pasir, tanah, lempung, kerikil, kompos, dan serabut dijadikan sebagai media tanam, mereka menemukan pertumbuhan akar menembus sterofom dan selalu bergerak menuju ke sumber air.
Sebuah pengalaman berharga bagi pengampu mata pelajaran biologi untuk memberikan kesempatan bagi siswa melakukan eksplorasi terhadap pengetahuannya untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru secara konseptual dan secara empiris. Siswa bisa belajar dari kesalahan-kesalahannya untuk emenemukan kebenaran baru, dan menguatkan rasa keingintahuannya dengan pengalaman atau temuan baru yang didapatkannya. Penugasan semacam ini dilandasi oleh pemikiran bahwa ada potensi kreatif dari siswa yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu, mencoba tantangan baru, dan mencoba sesuatu yang kadang dianggap sebagai tabu.

Maka, tidak berlebihan jika kumpulan rancangan dan laporan parktikum biologi mengenai :
“ Pengaruh Faktor Luar Terhadap Pertumbuhan” yang dilakukan siswa kelas XII IIA 1 sampai dengan IIA 4 RSMA BI Negeri 1 Sumenep sebagai bentuk apresiasi terhadap pengalaman dan kreativitas iswa yang kadang tak terduga. Pengalaman yang kadang terasa melompat dan menjadikan guru sebagai pembimbing dan siswa sebagai pembelajar sebagai sosok manusia yang unik, berbeda, dan bisa saling melengkapi.
Sumenep, Agustus 2011

Kamis, 13 Oktober 2011

Riwayat Tuan Hai

oleh:Hidayat Raharja


Seorang guru,
adalah pembuka pintu bagi anak-anaknya
yang banyak mencari tahu


Tuan Hai bekerja sebagai seorang guru. Guru di sekolah menengah di kota kecil. Pekerjaan guru yang dilakukannya semenjak dua puluh tahun yang lalu. Guru yang mengandung banyak cita-cita dan harapan. Cita –cita untuk menjadikan murid-muridnya berprestasi. Tak ada pikiran lain dari Tuan Hai saat berdiri di depan kelas atau berhadapan dengan murid-muridnya, kecuali memberikan kemudahan supaya murid-muridnya mudah menerima materi pelajaran yang disampaikan. Setiap kali menganalisis hasil ulangan murid-muridnya untuk pelajaran yang dampukannya, dia tidak selalu memvonis muridnya tidak bisa. Bodoh. Malas, dan semacamnya. Tetapi yang dilakukan Tuan Hai adalah mencari tahu sebab, muridnya tidak mencapai ketuntasan belajar.
“Anak-anakku belajar Biologi itu jangan dihafal, tetapi dipahami. Kalau kau menghafal takkan pernah mampu menghafal. Betapa luas kehidupan ini. Kehidupan yang luas takkan mampu kau hafalkan,” terang Tuan Hai di depan kelas di suatu waktu.
“Biologi itu banyak bahasa latinnya, Pak?!”
“Ya, tetapi tidak untuk dihafal. Tetapi dipahami. kalau kehidupan kita di bumi terdapat hamparan bumi yang luas, bukit-bukit, dan ngarai, sungai dan lautan. Demikian juga tubuh kita. Sebuah jazirah yang merangkum jagad raya. “
“Pak Guru, aku tidak suka pelajaran biologi. Kalau diistilahkan salah makan, aku telah slah makan sejak awal. Guru biologiku waktu itu mengharuskan aku menghafal aneka konsep dan bahasa latin. Aku jenuh dan tidak melihat biologi ada manfaatnya bagi kehidupan!” potong Sarwa sengit saat Tuan Hai memberikan motivasi di depan kelas.
“Sarwa, manfaat itu akan kita peroleh jika kita memanfaatkannya. Jika kau mempelajarinya dengan rasa dongkol. Kau hanya akan memperoleh kecapaian. Takkan ada yang bisa kau sesap dalam dirimu. Ilmu bisa diperoleh jika dipelajari dengan perasaan cinta dan tulus. Seperti kau mencintai kekasihmu, dan seperti kau mencintai diri kamu sendiri.”
“Dari mana aku harus mulai mencintai, sementara dalam sisi hati kami, yang sering aku rekam adalah ganjaran hukuman berdiri di depan kelas, karena aku tak mengerjakan tugas. Telingaku dijewer karena aku salah menjawab pertanyaan.”
“Kalau aku, dulu waktu di SMP, nilaiku akan bagus jika aku mengikuti les / pelajaran tambahan pada ibu guru. Tentu dengan iuran sejumlah tertentu, haahaa...!!!” celoteh Mardan di sudut selatan ruangan kelas.
Tuan Hai hanya tersenyum. Dia belajar memahami apa yang dialami dan dirasakan anak-anaknya. Sebuah dunia baru yang harus dia masuki, dengan persoalan yang bervariasi. Setiap anak dengan keunikannya sendiri. Latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda. Namun, di sinilah sebenarnya Tuan Hai merasakan nikmatnya mengajar dan menekuni dunia pendidikan. Sebuah pekerjaan yang membutuhkan kelapangan dada, keterbukaan hati, untuk menenun kembali pengalaman kusut yang ada dalam bentangan pikiran murid-muridnya.
“Apakah bapak mencintai Biologi?! Celetuk Habsiyah yang duduk di depan meja guru.
Tuan Hai tersenyum. Dipandanginya seluruh ruangan kelas. Wajah-wajah yang menanti jawaban jujur dari Bapak Guru. “Semula aku tak mencintainya. Karena aku mendapatkan pengalaman yang kurang bahagia. Aku mendapatkan pengalaman belajar yang lebih buruk dari kau di sekolah sebelumnya. Aku mnendapatkan pengalaman tidak seperti yang aku inginkan. Saat pelajaran Biologi, ketika aku masih seusia kau dan ada di bangku SMA. Guruku sibuk ngajar di beberapa sekolah, karena dia sebagai guru honorer di sekolahku. Saat pelajaran biologi aku disuruh mecatat selama dua jam pelajaran dengan metode CBSA (C atat Buku Sampai Abis)...” belum tuntas penjelasan Tuan Hai tawa murid-murid dalam ruangan jadi meledak.
“Sama pak dengan guru saya di SMP”
“Aku juga...!! Aku Juga...!!! Aku juga” mereka bersahutan bersetuju dengan pengalaman buruk Tuan Hai.
“Maka, ketika aku menjadi guru biologi, aku takkan mengulangi kesalahan yang sama. Kalau aku mengajar sama dengan guruku berarti aku tak menemukan kebaruan. Berarti aku dalam kerugian. Aku ingin menjadi Tuan Hai yang berbeda dengan gruu-gurunya di masa silam.”
Ada harapan yang menggembirakan dari pancaran muka seluruh penghuni kelas. Mereka menunggu apa yang dikatakan Tuan Hai berbeda dengan guru-gurunya di masa lampau. Hari ini tak ada pelajaran biologi. Dua jam tatap muka digunakan Tuan Hai untuk mengenali anak-anaknya dan memberikan motivasi belajar.
Sesampai di rumah perasaan Tuan Hai kian galau. Betapa menyesal Dia menjadi guru di saat sekarang. Di saat yang menurut dirinya tidak tepat. Saat guru dijadikan sebuah profesi hanya sebagai transfer pengetahuan dan jual beli pengetahuan. Untuk menambah pengetahuannya pada guru yang dianggapnya sebagai pengganti orangtua di rumah, siswa harus memabayar uang tambahan pelajaran. Apa yang salah dalam dirinya, ketika dianggap asing karena tidak memungut tambahan biaya untuk tambahan jam pelajaran. Aku hanya mencintai anak-nakku. Anak yang kelak akan meneruskan peradaban bangsa ini. Kelak, yang akan meneruskan perkembangan pengetahuan. Kadang dirinya merasa risih saat berada dalam ruang guru. Risih, karena pembicaraan di ruang itu lebih banyak mengarah pada pembicaraan materi. Beli motor baru. Ganti beli mobil, rehap rumah, dan menawarkan aneka model pakaian wanita. Sungguh menyesal perasaan Tuan Hai, kenapa tidak ditakdirkan menjadi guru yang kaya. Saat galau sepagi itu, dia kan terulang kembali pada pesan ayahnya. Pesan yang mengingatkannya untuk senantiasa menjadi guru. Guru yang baik. Guru yang mengusai keilmuannya. Guru yang mengerti perasaan anak-didiknya. Guru yang mampu membangkitkan semangat anak didiknya. Guru yang mampu membuat anak didiknya berprestasi, menemukan dirinya dan bangga dengan negeri dan bangsanya.
Ataukah ayahku yang tidak waras. Tetapi galauan itu justru tergiring ke masa lampau. Masa, di saat dirinya menjadi murid Sekolah Dasar. Sekolah yang kepala sekolahnya adalah ayahnya sendiri. Sekolah yang ada di bawah bukit. Terbayang dalam batok kepala Tuan Hai ayahnya seorang guru sekolah dasar, bersusah payah membangun kepercayaan masyarakat utnuk menyekolahkan anak-anaknya. Perjuangan untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan. Supaya anak-anak di susun itu mengenyam pendidikan, sehingga hidupnya lebih maju. Hanya dengan pendidikan seorang bisa lebih mulia. Tuan Hai ingat betul, bagaimana ayahnya bersusah payah bersama-dengan guru-guru inpres untuk membina anak-anak berbakat supaya potensinya menjadi prestasi. Tidak dipungkiri kalau kemudian siswa-siswa di sekolah itu berprestasi mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai tingkat propinsi. Sekolah yang ada di bawah bukit itu, akhirnya disegani sekolah-sekolah di kota. Setiap lulkusan Sekolah Dasar itu, selalu dianggap anak pintar.
“ Situasi dan kondisinya, berbeda!” batin Tuan Hai sambil memeriksa kiriman tugas dari siswa siswinya yang dikirim lewat email.
“Meski berbeda, semangat dan niatnya tidak boleh berkurang’ bisik hati kanannya yang berdetakan tak menentu. Sambil membaca tugas yang dikirimkan murid-muridnya. Tiba-tiba matanya tertikam oleh sebuah tulisan pembuka dari salah seorang muridnya. Kalimat yang pendek, namun merupakan suara hatinya yang galau. Dia tidak akan melupakan sikap kritis yang telah disampaikan anak-anaknya. Keinginan murid-muridnya untuk belajar biologi yang menyenangkan, yang meudah utnuk diterima dan disimpan, pembelajaran yang berdasar kepada pengalaman. Ya, permintaan yang dituliskan anak-anaknya, ketika ditawarkan pelajaran biologi macam apa yang diinginkan.
***
“Kalau tubuh kita umpama negara, maka seldarah putih kita laksana tentara!” pagi itu Tuan hai membuka pelajaran di kelas XI IPA,” tak jauh bedan antara tubuh kita dengan negara. Maka setiap penyusun tubuh tak ubahnya adalah bagian-bagian yang menyusun negara.” Kelas pun gaduh, karena anak-anak di kelas itu baru mengenal perumpamaan-perumpamaan biologi yang dikaitkan dengan tubuh manusia. Tubuh yang diusung oleh anak-anak dalam ruangan itu.
“Nah, pagi ini kita akan mempelajari mengenai sel penyusun tubuh makhluk hidup, termasuk tubuh manusia. Hal yang sangat menarik, karena sel tubuh ini tak ubahnya adalah bagian yang menyusun dalam negara kita. Kalau dalam negeri kita ada sebuah kota, maka sel sangat tepat untuk diumpamakan sebagai kota kecil yang kesibukannya bersalngsung selama dua puluh empat jam. Di dalam sel itu ada lalulintas transportasi yang mengangkut bahan makanan ke baaain-bagian sel laksana transportasi kota yang sibuk mengantarkan berbagai kebutuhan ke berbagai tempat.” Anak-anak kembali gaduh mereka mulai mengungkit kembali pengalaman-pengalamannya untuk dihubungkan dengan sel.
“Anakku, kalian bisa membayangkan apa saja berdasarkan pengalaman kamu yang mirip dengan struktur dan fungsi sebuah sel.”
“Lidia, apa bayangan yang muncul dalam benakmu?” tanya Tuan Hai pada Lidia yang duduk di deret tiga paling depan.
“Pak, aku membayangkan selapuy sel seperti lumpia.”
“Lumpia?!” Tuan Hai kaget memicingkan matanya,”Oke, jelaskan anakku.”
“Lumpia kalau digigit secara melintang akan tampak bagian kulitnya yang kecoklatan, sebagai lapisan protein pada sebuah sel dan bagian tengahnya yang berisi mihun adalah lapisan lemak.”
“Bagus, kenanglah selalu Lumpia sebagai struktur membran sel dalam ingatanmu. Sepanjang kamu masih ingat kenikmatan mengkonsumsi Lumpia, sepanjang itu pula kau akan memahami struktur sel.”sela Tuan Hai sambil mengangkat dua jempolnya, memuji perumpamaan yang disampaikan Lidia.
‘Iphe!”
“Aku bayangkan sel itu seumpama Mie Kuah Spesial.”
Suara kelas gaduh, karena semua tahu Iphe adalah penggemar Mie Kuah Spesial, semangkuk mie kuah dengan pentolan bakso besar mengeram di tengahnya. Mie spesial yang biasa dijual di kantin sekolah dengan kocokan saus tomat yang merah dan seperti genangan darah.
“Coba uraikan anakku,” pinta Tuan Hai
“Kuah yang kemerahan aku umpamakan cairan sel, cairan sitoplasma yang didalamnya banyak organel-organel sel yang membangun kehidupan. Pentol bakso yang besar ada dalam mangkuk, adalah inti sel. Bibir mangkuk adalah membran sel yang menjadi wadah atau batas sel. Aku bayangkan pentol kecil yang bertabur adalah organel-organel sel yang menyusun kehidupan.”
Tepuk tangan gaduh memenuhi ruangan. Tanpa diminata beberapa anak mengacungkan jari telunjuk minta diberi waktu untuk menjelaskan perumpamaan sel yang telah dibangunnya. Kelas menjadi hidup dan riuh. Tuan Hai tersenyum menemani anak-anaknya bercerita mengenai sel. Satu persatu mereka memngungkapkan pengalamannya. Tak ada rasa takut dan rasa salah dari mereka, karena mereka mengungkapkan pengalamannya sendiri. Betapa banyak pengalaman yang terungkap. Jupi mengungkapkan sebuah perumpamaan sel seperti sekolah Harry Potter, karena kebetulan dia keranjingan cerita Harry Potter. Samson mengumpamakan sel seperti gedung pernikahan karena dia menjadi anggota juru saji pada saat ada resepsi. Haris, mengutarakan sel seperti lapangan bola, dengan panjang lebar dijelaskannya, garis lingkaran di tengah –tengah lapangan merupakan inti selnya, pemain yang bertebar di tengah lapangan sebagai organel yang membangun sel.
Senyum mengembang di wajah Tuan Hai. Suara tepuk tangan riuh memenuhi ruangan kelas. Dia puas dengan pertemuannya pagi itu. Anak-anaknya puas usai mengemukakan pemahamannya. Sebelum menutup pelajaran, seorang anak mengacungkan tangan, “Terimakasih, anakku. Pertemuan berikutnya kita ketemu di ruang laboratorium. Bawalah epidermis bawang merah dan gabus.” Tuan Hai menutup pelajaran dan meninggalkan ruangan.

Sumenep, April 2011

Selasa, 14 Juni 2011

TRADISI PERTANIAN DI TENGAH KEPUNGAN BUDAYA INDUSTRI

TRADISI PERTANIAN DI TENGAH KEPUNGAN INDUSTRI

Oleh: Hidayat Raharja*

Di saat musim padi berkembang persawahan yang hijau di pucuk rumpun padi malai bebijian bergelatungan diterak angin. Suara gemnerisik yang merespon hembusan angin kencang sepanjang musim yang ekstrim. Dari arah langit segerombolan burung emprit menyerbu lahan persawahan, bergelatungan di batang rumpun padi mematuk biji-biji yang tengah terbit dari pucuk. Keiruhan burung tersebut disambut dengan teriakan pak tanai, dan tangannya menggerakkan tali dan orang-orangan di beberapa sudut persawahan seperti menari, beregrak hebat laksana mengusir kerumunan burung ayng tengah berpesta di lahan persawahan.

Sebuah pertunjukan dari lahan pertanian, dan sampai kini masih terus bertahan dengan berbagai variannya, menunjukkan dinamika pertunjukan dari lahan pertanian yang dikepung keberingasan industrialisasi. Masih lekat dalam memori kita, beberapa orang-orangan di sawah yang dibuat pak tani, berbahan kayu, jerami, pakaian bekar dan topi yang digelantungkan pada ebatang kayu kemudian diikat menggunakan tali dijadikan satu ikatan dan dikendalikan pak tani dari dangau. Selain orang-orangan pak Tani juga membuat bebunyian (musik) dari bilahan potongan bambu, semacam kentongan kecil dan ada juga dari bilahan bambu yang diikat dan salah satu bilahannya ditarik-ulur dengan tali, sehingga menimbulkan bunyi yang ritmik.

Tradisi ini amat menarik untuk ditelaah, karena ternyata mengalami dinamika seiring d engan perkembanagn peradaban yang mengepungnya. Suatu kreativitas murni, karena pembuatan “karya” memiliki makna sederhana sebagai pengusir burung di saat rerumpun padu tengah berkembang dan menguning. Pak tani melakukan penciptaan lebih menekankan kepada kegunaan = Kagunan. Petani sebagai tangan pertama (kreator) belum terkontaminasi kepentingan di luar kepentingan dirinya sendiri sebagai petani yang tengah menghadapi serbuan burung yang menyerang lahan persawahan. Karena tidak dibekali aneka teori mengenai anatomi dan pencptaan, maka karya yang dihasilkan lebih menekankan pada fungsi bukan kepada bentuk.

Dalam 10 tahun terakhir ada perubahan atau dinamika penciptaan yang bertumbuh terutama berkaitan dengan penggunaan bahan untuk membuat bahan pertunjukan di lahan persawahan. Pada awalnya bahan yang dipergunakan untuk membuat orang-orangan mempergunakan bahan jerami dan daun kelapa kering serta, daun dan pelepah pisang. Kondisi ini memiliki relevansi dengan sistem pertanian yang masih mempergunakan bahan-bahan organik dalam pengelolaan pertanian. Suatu keadaan yang menunjukkan keserasian dengan alam, sehingga menunjukkan hubungannya secara sirkuler. Saat ini bahan tersebut lebih banyak memperguankan bahan plastik dan bentuk atau modelnya lebih variatif.

Pertama, untuk membuat orang-orangan mereka memadukan dengan bahan untaian plastik panjang yang dibuat bergelantungan di atas lahan persawahan sehingga ketika diterpa angin akan menimbulkan suara kemeresak. Gerakan ritmis untaian plastik tersebut seperti gerakan tangan yang mengusir gerombolan burung yang menyerbu persawahan. Pemandangan semacam ini sangat kentara ketika jelang panen padi tiba. Kedua, Suara musikal menjadi menarik ketika petani melakukan eksplorasi dengan memanfaatkan kaleng bekas biskuit yang diisi dengan kerikil dan digelantungakn di sebatang kayu, dan dikendalikan dari dangau. Apabila tali ditarik maka, terlihatlah aksi orang-orangan yang bergoyang-goyang berpadu dengan suara plastik ditiup angin, dan kemerongsang kerikil yang terguncang dalam kaleng.

Sebuah pertunjukan masyarakat petani yang alami, dan sebagai keseharian mereka tanpa dibebani tendensi poliitis. Mereka membuatnya sebagai kebutuhan untuk mengusir burung, dan tanpa disadarinya telah membentuk tradisi rupa dan musikal yang akan terus rumbuh seiring dengan peradaban manusia dan teknologinya. Sebuah kontras ketika banyak produk atau karya seni yang menghabiskan dana puluhan juta namun secara praksis, belum ada efek langsung yang dirasakan oleh lingkungan.

Pertunjukan dari dunia agraris yang pernah mengilhami Moelyono dalam “Seni Rupa Kagunan” bersama komunitas masyarakat desa Brumbun Tulungagung. Dalam pertunjukan tersebut media agraris dijadikan sebagai media ungkap untuk mengangkat persoalan petani. Pertunjukan yang kemudian mendapat respon positif dari penguasa setempat untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani. Suatu aktivitas rural yang kemudian diusung ke dalam ruang pamer. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Sanggar Anak Bangsa – di Bojonegoro untuk mengangkat realitas persoalan mereka dengan memakai media bermain yang biasa mereka lakukan di sekitar hutan.

Dinamika tersebut semakin menguatkan bahwa, di lingkungan sekitar banyak terdapat bahan mentah budaya tradisi yang bias kita aktualisasikan kembali di era globalisasi. Aktualisasi untuk mengedepankan seni pertunjukan masyarakat petani di lahan perswahan sebagai bagian dari kehidupan mereka. Atau untuk merevitalisasi kembali produk-produk seni pertanian bergadapan dan berdampingan dengan arus globalisasi, karena senyatanya globalisasi adalah juga peluang untuk mengedepankan lokalitas sebagai identitas, personal maun komunal.

*penulis adalah guru SMA Negeri 1 Sumenep, dan pengelola Rumah Tulis dan Baca “Na’ Bangsa”

Senin, 13 Juni 2011

MEMBONGKAR SKANDAL DALAM TRADISI

(Pembacaan atas novel : Tarian di Ranjang Kyai)1

Oleh: HIdayat Raharja2

Selama ini Sampang dianggap kota atau daerah yang paling lamban kemajuannya dibandingkan dengan kemajuan daerah Madura lainnya. Namun, sifat keterbukaannya merupakan salah satu sifat yang menjadi karakteristik masyarakatnya. Ketika mereka tidak menyukai terhadap sesuatu, mereka mengatakannya tidak suka. Pun, sebaliknya.
Peran Kyai sebagai Pimpinan informal memiliki peran penting dan strategis. Bahkan, tidak dapat diingkari kalau setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat, kyai memiliki posisi vital dalam menyelesaikan persengketaan atau permasalahan yang muncul di dalamnya. Ketergantungan terhadap Kyai menempatkannya sebagai sosok tokoh, dan panutan yang harus dipatuhi. Bahkan dalam batas tertentu fatwa yang disampikan Kyai dianggap sebagai titah yang tak boleh dibantah. Tak adanya kontrol dan keberanian mengkritik Kyai, kerapkali prilaku-prilaku yang tidak patut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan mudah untuk dimaafkan.

Sosok lain yang tak kalah perannya dalam masyarakat adalah golongan Blater, mereka yang mampu memasuki berbagai lapisan formal dan non formal, sehingga juga memiliki peran-peran strategis dalam menyelsaikan persoalan-persoalan di tengah masyarakat. Perilaku-perilaku dalam masyarakat yang sempat ,menjadi penelitian intensif Elly Town Bousma di tahun 70-an mengenai kekarasan di Masyarakat Madura. Kemudian penelitian mengenai Pimpinan informal di masyarakat Madura oleh Zaki yang menempatkan peran Blater dan Kyai dan perebutan kekuasaan di Madura.

Disamping kekerasan yang selama ini dikenal oleh masyarakat luas, betapa banyak kearifan di masyarakat Madura yang butuh aktualisasi, maka tidak dapat diingkari peran para intelektual dan para penulis di madura amat vital dan urgen untuk kembali merevitalisasi kearifan lokal.

Tarian di Ranjang Kyai” karya Yan Zavin Aundjand merupakan sebuah karya yang sangat menarik. Semenarik dinamika peradaban masyarakat Sampang dalam kekinian. Hal yang patut diapresiasi dalam novel ini antara lain: pertama, berupaya membongkar skandal dalam tradisi masyarakat Madura (Camplong) khususnya peran Kyai yang selama ini dianggap sebagai sumber barokah, dan tak terbantahkan. Dalam novel ini secara gamblang Zavin membongkar bungkus persoalan yang sekian lama tersembunyi. Sebuah pemberontakan terhadap strata sosial yang selama ini dianggap mapan, namun ternyata di dalamnya penuh intrik dan kebobrokan

Kedua, persoalan perkawinan dini di tengah masyarakat yang disebabkan rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang membelit kehidupan mereka, sehingga menikahkan anak di usia dini akan meringankan beban orangtua, dan menjadi beban tanggungjawab suaminya. Sebuah tradisi yang menjadi sangat biasa karena pada saat anak mendaptkan menstruasi pertama, akan dipersiapakan untuk memasuki kehidupan dewasa dengan membantu dan belajar kehidupan berumah tangga. Pendidikan hanya sebatas belajar mengaji di langgar atau musholla, dan setelahnya dia mencari sendiri “guru” untuk membantu menyelesaikan persoalan rumah tangga dan kehidupannya. Di sini muncul tradisi “ Aguru” “Nyabis” sebagai bentuk jalinan hubungan antara murid dengan Kyai (guru).

Ada bentuk lain tradisi kawin di Madura yang dinamakan “Kabin Toro’” sebuah tradisi perempuan dan laki-laki mencari pasangan (jodoh) saat hari pasaran. Pada hari itu ketika menemukan wanita yang cocok, maka si laki-laki berkenalan di pasar dan kemudian mengikutinya pulang ke rumah si perempuan. Sampai di rumah si perempuan laki-laki tersebut menyatakan maksudnya kepada orangtua si perempuan. Pertemuan yang kemudian akan disusul dengan lamaran dan pernikahan.
Ketiga, persoalan kemiskinan. Tanah Madura yang tandus dan kurang subur kurang menguntungkan secara ekonomis, sehingga pada umumnya lelaki Madura adalah perantau. Mereka pada tahun lima puluhan banyak merantau ke pulau jawa dan bahkan sampai ke adaerah pulau kalimantan yang kemudian disebutnya dengan “Jhaba Dhaja” karena letrak pulaunya di sebelah utara pulau jawa. Sebentuk usaha keras untuk memperbaiki kualitas kehidupan secara ekonomis. Pergi merantau bagi masyarakat Madura menyebutnya “Onggha” dan apabila pulang ke kampung halaman mereka menyeb utnya “Toron”. Madura perantau memiliki sikap gigih, pantang menyerah dan enggan pulang sebelum mencapai sukses. Hal inilah yang dilakukan Misnadi karena di rantau tidak beruntung, maka dia menghilang dari teman sekampung di perantauan sampai kemudian dikabarkan mati. Kabar kematian yang kemduian memunculkan persoalan karena Nisa istrinya menikah lagi dengan Lora Iqbal.

Keempat, persoalan kekerasan Carok seringkali muncul berkenaan dengan permasalahan wanita, harta dan persoalan martabat dan harga diri. Juga ketika Suci anak misnadi hasil pernikahannhya dengan Nisa dinodai oleh Kyai Slamet. Maka tak ada pilihan lain, kecuali harus membunuh Kyai Slamet yang telah menginjak-injak harga diri dan martabatnya.
Kelima, persoalan tradisi yang saat ini mungkin sudah banyak tak dikenal; Terrep (derreb), ngare’, ngaji, Terbhangan Mantan dan selama yang saya kenal ada dua macam; (a) terbhangan saat mengantar pengantan pria ke rumah mempelai wanita,(b) hiburan gambus pada saat resepsi mantenan,, langghar, gerinching (gerinjhing), tegghal, kotheka.
*****

Dari sinilah peroalan-persoalan berkelabat dalam Novel “Tarian di Ranjang Kyai”. Sebuah cerita yang berangkat dari kisah nyata memiliki konsekuensi yang tidak ringan untuk memasukkan fakta-fakta ke dalam cerita secara riel dan mengesankan. Saya sangat tertarik saat membaca Dwilogi “Cinta di Dalam Gelas” karya Andrea Hirata yang diawali riset selama tiga thun untuk mendalami sosok Maryamah Karpov ( Ennong) sebagai perempuan pertama penambang timah di Belitong. Hal ini lah barangkali yang tidak dilakukan Zavin dalam menggarap novel ‘Tarian di Ranjang Kyai”. Ada beberapa kejanggal;an yang memnbuat terganggu pencerita untuk emlihat hal ini sebuah fakta yang disodorkan ke dalam fiksi. Setting ceriota di antara tahun 1969 – 1975. Jarak antara Camplong ke Kalianget secara rtile sekitar 75 Km tetapi dalam teks tertulis 60 Km.

Kedua, penulisan bahasa lokal tanpa mengindahkan kaidah penulisan bahasa yang benar, pada hal secara implisit penulisan bahasa lokal yang benar dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Misalnya Embu’ (ibu), Embuk (kakak perempuan, atau panggilan terhadap perempuan yang lebih tua). Panggilan kang, tak dieknal dalam masyarakat Madura, tetapi lebih banyak memanggil kakak.

Ketiga, adegan mesum antara kyai Slamet dengan Nisa’ terasa kaku, kurang terolah secara menarik. “Kyai Slamet mengecup keningnya, lalu turun sedikit ke bibirnya.... tangannya terus berjalan di bagian belakang, di bagian-bagian dekat pantatnya. Nisa juga membiartkan tangannya memupuk bagian-bagian yang dianggap penting itu.” (Halaman 72).

sangat berbeda misalnya ketika adegan persetubuhan dituliskan oleh Djenar dan Sardono W Kusumo; Suara ting tong ting tang, mirip gamelan tiba-tiba hilang. Seiring dengan tubuhnya yang makin tinggi melayang. Tubuh yang semula diam mulai menari di udara semacam bayangan yang bergoyang. Terkadang bayangan itu melesat ke depan dan dengan seketika berpindah ke belakang. Kadang ia bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku pun berubah menjadi panggung. Panggung yang menunggu ia mengisi tiap ruang. Panggung yang bergetar tiap kali tubuhnya menciptakan gerakan (Ramaraib dalam 1 Perempuan 14 Laki-laki, hal.25)
keempat, Nisa melahirkan bayi pada saat di liang lahat. Sesuatu yang msuykil dari sisi medis. Apabila seorang wanita hamil meninggal dunia, maka otomatis janin yang ada dalam kandungannya ikut meinggal dunia.
*****

Barangkali ketekunan melakukan research amat penting untuk melakukan sebuah pengisahan yang berdasarkan kepada fakta. Sehingga ketika disusupkan ke dalam sebuah fiksi akan menjadi fakta baru yang menarik .
Meski demikian, Novel ini dapat menajdi sebuah pembuka bagi hadirnya novel pemberontakan terhadap tradisi masyarakat yang semula dianggap agung, ternyata di dalamnya mengandung banyak kelicikan bahkan kebobrokan.
Bumi Sumekar Asri, 28 Mei 2011
1. disajikan pada acara bedah novel dan pelatihan penulisan cerpen se Madura oleh UKMF Teater Suneidesis – Keluarga Mahasiswa Fakultas Ekonomi – Keluarga Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura pada tanggal 29 Mei 2011 di gedung Student Center Unoversitas Trunojoyo Madura.
2.Penulis adalah guru dan penyair kelahiran sampang dan tinggal di Sumenep

Selasa, 07 Juni 2011

BUWUN; Pulau Risau dalam Puisi Mardi Luhung

Oleh: Hidayat Raharja*
Buwun, konon adalah sebuah nama untuk pulau Bawean. Pulau yang ada di dekat Gresik. Banyak yang menyebut sebagai pulau perempuan, karena banyak para suamai merantau ke negeri seberang sebagai TKI di Malysia dan Singapura. Pulau yang unik, seperti pulau-pulau lainnya banyak ditinggal kaum lelaki, namun di dalamnya memendam keindahan dan kekayaan yang kerap luput dari perhatian Pemerintah setempat. Di tengah keluputan perhatiannya dalam mengangkat dan memberdayakan Bawean, justru penyair Mardi Luhung dipikatnya, sehingga melahirkan puisi yang terkumpul dalam buku puisi “Buwun”.

Bawean pulau yang ada dan dekat dengan kota Gresik, dan ditempuih dengan perjalanan laut sekitar 1-2 jam. Pulau yang banyak ditinggalkan lelakinya untuk bekerja ke tanah rantau. Oprang Bawean merantau ke Singapura dan Malysia dan di sana orang Bawean menyebut dirinya sebagai orang Boyan dengan Bahasa Boyan.

Buku puisi setebal 67 halaman ini yang edisi keduanya diterbitkan “Buku Bianglala” menuai Khatulistiwa Literary Award 2010 yang lalu, sangat unik dan menarik. Unik karena pengucapan Mardi Luhung yang sangat berbeda bahkan tak perduli sehingga dia bisa memasukkan apa saja ke dalamnya, setiap yang datang kepadanya. Keunikan karena begitu personal pengucapannya dengan idiom-idiom keseharian. Idiom cakapan yang kemudian masuk ke dalam tulisan. Puisi yang berdatangan ke hadapan Mardi Luhung setelah beberapa waktu mengunjungi Bawean selama dua hari.

Maka tak ayal jika dalam pusi-puisi yang terkumpul dalam buku ini akan banyak ditemukan pernak-pernik yang ada di pulau ini: Jhukung, Kuburan Panjang, Kelotok, Rusa, Pulau Menangis, Nasi Pandan, Kastoba, Komalsa, Gili, durung, Moko, dan sebagainya. Cerita dan legenda yang hidup di tengah masyarakjat dan hadir dalam puisi Mardi Luhung. Namun ketika hadir dalam puisi-puisinya Cerita dan Mitos serta bagian-bagian pulau itu tidak diam ,tetapi bergerak blingsatan dan menjadi gumpalan-gumpalan pecahan pulau-pulau lainnya yang ada di Indonesia. Pulau yang gelisah. Pulau yang resah. Kewgelisahan yang membuat penghuninya merasa memiliki tapi tak kuasa untuk menikmatinya.

.../memang pulau/ kita tak keliru. Tapi, karena terlalu cantik, maka/ banyak yang menyuntingnya. Dan banyak pula yang/ akan menukarnya dengan puisi atau kembang/ (Pulau, halaman 17). Pulau-pulau kita nan cantik adalah kekayaan yang tak pernah kita sadari. Bukan hanya bawean, tapi pulau-pulau yang kita miliki. Tidak sedikit pulau kita yang dikuasai atau diincar orang asing. Dari pemberitaan yang tersebar, dikabarkan sedikitnya 12 pulau terluar (terdepan) Indonesia di perbatasan sangat rentan dikusai atau diambil alih pihak asing. Jika tidak dilakukan antisipasi, maka tak tertutup kemungkinan 12 pulau tersebut akan lepas kepemilikannya dari tangan Pemerintah Indonesia. Kerentanan karena kurang diperhatikan pemerintah daerah setempat atau pun pemerintah pusat. Keindahan dan sumber kekayaannya adalah faktor pemikat untuk memilki dan menguasainya. Pada larik lainnya diutarakan:

Memang pulau kita tak keliru. Dan kita, kadang/ ada baiknya membuka seluruh daya peluklekuk. Dan/ memahami, jika esok ketengelaman itu tiba sudah,/ tak ada yang menyebut pulau itu sembarangan/(halaman 17). Suatu ajakan untuk membuka daya peluklekuk. Sutau pemberdayaan yang selama ini pulau dan orang-orangnya hanya sebagai obyek, sehingga mereka aseringkali memposisikan diri sebagai korban bukan subyek. Meski, katakan saja banyak dari poenduduknya yang bekerja sebagai tenaga kerja di berbagai negara. Tenaga kerja yang banyak emnyumbangkan devisa. Kondisi yang memicu pulau-pulau dalam kesatuan wilayah Indonesia untuk melpaskan diri dari NKRI. Kekhawaitran akan tenggelamnya nasib pulau dan orang-orangnya sehinga ia memiliki tetpai tak mampu menikmatinya.
Pulau yang telah menberinya tempat singgah, dan terbuka bagi setiap yang datang, yang Jawa, Madura, Melayu, China, dan aneka lainnya. Sebagaimana dalam kisah-kisah dan legenda dalam pulau Ini, akulturasi sebagai warisan dari masa silam yang terus berinteraksi menjadi sesuatu yang baru dalam keragaman negeri ini. Kisah yang mebangun dan mebentuk sejarah pelayaran, perniagaan, dan trasportasi di tanah air.

...Katanya:”dulu si naga sipit telah. Menitipkan jalur kapalnyadi situ.Tapi, sayang, malah tersesat./Menabrak karang.Menangis, jadi pulau! Ya,ya, Pulau Menangis/ dengan mata semakin sipit (Pecinan , 24)
Kampung China, ada hampir di setiap kota di negeri ini, sama halnya dengan keberadaan kampung Arab. Bahkan di pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Sumenep pun ada keturunan China yang telah berakulturasi dengan masyarakat setempat. Sama halnya dengan keberadaan orang-orang keturunan China di Bawean, China yang berassimilasi dengan berbagai pendatang yang Melayu, yang Bugis, yang Jawa, Yang Arab, denga kehadirtan beberapa tokoh agama yang menyebarluaskan ajaran islam di pulau tersebut. Termasuk akulturasi bahasa. Yang kedengarannya seperti Madura bisa dimengertoi dan emngerti bahasa madura tetapi telah menjadi bahasa Boyan, bahas pembauran dengan berbagai masyarkat yang telkah menjadi masyarakat Bawean. Assimilasi yang ekmudian melahirkan kesetiaan, kesetiaan terhedap “pulau” yang mereka miliki, meski sering ditinggal lelakinya, namun atetap punya rindu untuk kembali. Untuk hilirmudik dan bersetia. Sebagaimana kesetian si suami kepada perempuannya atau sebaliknya. Maka:
Bapakmu berujar:”Ternyata, semalaman bundamu/ begitu luar biasa. Begitu telah membawa semaket/ kapal yang punya pintu tak terhitung. Yang/kamar-kamarnya begitu benderang. (Ketam, halaman 22)

Kesetioaan yang tetap membawa kegundahan, bisik-busuk, dan kecemasan, .. dan memang pantai masih tak bergeming. Tetapi rapat pada/keklabuan/ (Kuduk-Kuduk, halaman 20) Kekelabuan yang meresahkan, akan tersianya pulau –pulau ini yang terlupakan untuk diberdayakan. Datangnya kecemburuan atau keinginan untuk mekmisahkan diri , sesuatu ancaman yang sangat mensicaya, apabila d\tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Maka dengan tegas si aku lirik melihat jauh ke depan beratus tahun ke depan dlam “Buwun”:
Dan sekian ratus tahun ke depan. Lewat sebuah piknik yang/ sederhana. Ada si remaja menemukan telinga si tukang jukung itu di/ sebuah hutan. Dan ketika telinga itu dipasangkan ke telinganya, si remaja pun mendengar jeritan yang begitu lirih..../ dana da sebuah perkelahian yang tak pernah dimenangkan.(halaman 24)
Bukan sekarang tapi beratus tahun ke depan, di waktu yang akan datang. Kegelisahan yang memunculkan kelebatan-kelebatan pertarungan, perebutan yang tak pernah dimenangkan. Kegelisah atas keberadaan pulau-pulau kecil. Kegelisahan “Buwun” atau Bawean yang mewujudkan kegelisahjan pulau-pulau lain yang smaapi sekarang dibiarkan. Sebuah cerita baru yang akan melenyapkan kisah dan legenda masa lalu. Benarkah?!

Senin, 11 April 2011

Puisi di Tengah Keramaian Pesta Pernikahan

Oleh: Hidayat Raharja *
Siapa pembaca puisi Indonesia? Tidak lain adalah para penyair dan para remaja yang berminat ingin menulis puisi. Temnan-teman penyair dan sedikit lagi kalangan akademisi yang tengah mengerjakan tugas akhir dengan tema yang berhubungan dengan puisi dan sastra Indonesia. Kondisi yang juga tidak jauh berbeda ketika dilangsungkan bedah huku sastra (termasuk puisi), maka pada umumnya yang datang adalah karib dan kerabat si penyair atau para siswa dan mahasiswa yang menjadi binaan si penyair atau sastrawan. Kondisi yang menyatakan bahwa puisi Indoensia sehat-sehat saja, meski kerap kali diwarnaio dengan polemik dan kadang saling hujat untuk menunjukkan siapa yang paling hebat. 

Begitu istimewanya puisi dalam kancah sastra Indonesia. Sebab, puisi masih banyak ditulis dan dibacakan entah dalam acara seremonial mau pun dalam acara resmi kenegaraan sebagai pelengkap bahwa kita mampu mengapresiasi karya sastra dan membuktikan bahwa kita berbudaya. Sehingga setiap hari pusi masih ditulis. Entah sebagai ucapan sayang pada klekasihnya yang tengah ulang tahun, atau menyimpan patahan hati karena cintanya tak bersambut tangan. Cinta, putus asa, mabuk cinta, dan ditimpa marabahaya bermetamorfos menjadi hamparan puisi yang terus berlahiran dan menyodok mata kita yang takl mau tahu atau pun yang sudah pingsan dengan kilang-kilang puisi yang kian bertumpahan.
Aku disentakkan dengan kehadiran puisi yang bermetamorfosa dalam sebuah pesta pernikahan. Suatu pusaran kecil di tengah kota kecil yang di dalamnya banyak gumpalan-gumpalan puisi berpecahan.
Malam masih belum beranjak pukul 20.00 ketika para undangan mulai bersesakan dalam ruang gedung Korpri – Sumenep. Saat sambutan dari rumah bergema di atas panggung, beberapa teman dari komunitas Lentera membagi-bagikan dua buku puisi dalam satu paket : “Tak ada luka yang Sederhana” karya M. Fauzi dan “Benazir Nafilah, Memberi dan Hutan” karya Benazir Nafilah. Dan sekelompok undangan dari berbagai komunitas sastra dan teater dari ujung barat sampai timur Madura hadir di situ; Timur Budi Raja (Bangkalan), Umar Fauzi, Aslek Subairi (Sampang), M. Faizi, Mahendra, Syah A. Latief, Arya Mustafa Sappan Mukri, Iwan Youngkinata, En Hidayat, Humaidi gaduh mengomentari buku puisi yang diluncurkan di tengah pesat pernikahan. Karena kebetulan mereka bernaung dalam satu tenda di sisi kiri gedung resepsi pernikahan . Karuan saja, keriuhan itu mengundang tanya undangan lainnya. Baru mereka menyadari kalau yang tengah riuh adalah teman si mempelai yang juga aktivis di Sanggar Lentera –Sumenep.
Ada yang aneh? Sebuah metamorfosa dalam kehidupan masyarakat di kota kecil yang mampu menyerap dan menyesap dinamika peradaban perkotaan. Di saat panggung pesta diramaikan dengan dentuman musik gambus atau pop sebagai penghibur penonton, suatu tawaran ganjil dengan meluncurkan buku di tengah keramaian pesta pernikahan. Tawaran baru M.Fauzi dan Benazir Nafilah, menjadikan momen bahagia tersebut untuk meluncurkan anak-anak puisi yang mereka lahirkan. Buku-buku sebagai penanda.
Buku dan Pernikahan
Barangkali disengaja atau tidak, ketika membuka lembar-lembar buku tersebut sepertinya dipersiapkan untuk menandai pernikahan mereka. Meski bukan sebagai “mahar” namun muatan yang ada di dalamnya adalah merajut perjalanan dalam percintaan mereka. Persembahan Fauzi kepada Benazir, atau sebaliknya. Dalam “Benazir Nafilah, Memberi dan Hutan”, Pernikahan yang menjadi tujuan dalam awal perjalanan yang lain bagi mereka. Pernikahan yang diumpamakan hutan belukar yang akan mereka buka:
Zi, ini Fila/ ceritakan bagaimana dalam hutanku ada nelayan/ ada jaring-jaring dan sebuah perahu/ dan kita berkendara hujan ke hutanku... Zi ini aku/ ajari aku merawat hutanku// (Ceritakan Bagaimana Hutanku, halaman 47) Sebuah titik ungkap yang membangun hasrat Benazir untuk memberikan sesutu kepada kekasihnya, tau dlam lanskap yang lebih luas dia sebagai wanita yang sering disurbordinasi di dalam perkawiann sebagai yang menerima. Tidak bagi Benazir, dia adalah wanita yang juga memberi kepada suaminya. Sebagai perempuan Dia tidak meneyrahkan diri sebagai ladang yang akan digarap pemilik (penguasa) ladang, tetapi dia mengajaknya “Berkebun Bersama”: ...aku beri hujan/ kau rapatkan badan/ hingga kebanjiran//aku beri kehangatan/ kau buka baju/ dan kita mulai berkebun/ (halaman 56). Hasrat berkebun, dan dia selau memberi bukan meminta. Barangkali di sinilah letak metamorfosis itu.
Tak jauh berbeda apa yang termaktub dalam buku “Tak Ada Luka yang Sangat Sederhana” karya M. Fauzi. Sebagai lelaki Dia mampu menerima dan mengiumbangi besaran cinta yang dilontarkan Benazir. ...(zIr)peta itu(zIr)hijir ismail yang dijerang kemarau(zIr)sampai/ siti hajardan Ibrahim(zIr)batuubatu tumbuh didadaku(zIr)/ (halaman64). Cinta sebesar Ismail kepada siti hajar yang kekal dilampaui musim dan usia.Seperti batu-batu itu yang membuatnya abadi. Batu yang menjadi jejak bagio mereka yang meiliki akal. Perjanan cinta yang tak mulus, penuh coba dan duga, namun kesetian dan ketulusan cinta mengabadiukan cinta ismail dan siti Hajar.
Meski ladang-ladang itu berbatu, tetapi dengan gerusan cinta akan melapukkan batu-batu. Hamparan batu yang menjadi ladang-ladang terbuka dalams ebuah suksesi kehidupan yang berjalan seiring dengan musim dan pancaroba. Harapn yang juga dikukuhkan oleh Fauzi dalam larik.. di ladangmu/ aku tanam kupukupu/ tumbuh anak bebatu..../kau – aku dan reritus rindu/ adalah gegar waktu di bawah kaki ibu// (Aku Tanam KupuKupu, halaman 39). Betapa indahnya harapan cita mereka. Awal yang hangat memasuki musim kawin akan menetaskan impian-impian mereka menjadi sungai yang akan mengairi ladang yang mereka kerjakan. Akan mengairi hutan yang mereka masuki. Hutan belukar yang penuh aneka kelimpahan dan juga ancaman. Namun, si pemburu tak takut akan rupa-rupa dan hantu, karena sudah kadung berangkat dan bersetuju, tinggal mengatur desing peluru.
Seperti juga keberanian mereka, meluncurkan dua bukunya dalam pesta pernikahan yang mereka rayakan. Menandai akan kelahiran anak-anak puisi mereka di waktu yang akan datang. Aku hanya bisa menyampaikan selamat datang, di rimbunrimba dan batu karang. Selamat menyebrang!

Selasa, 29 Maret 2011

CINTA DI PADANG BULAN



Judul : Padang Bulan (Novel pertama dari  
Dwilogi Padang Bulan)
Pengarang : Andrea Hirata
Jenis : Novel
Cetakan I : Juni -2010
Penerbit : Penerbit Bentang – Yogyakarta
Hal : xii + 254
ISBN : 978-602-8811-09-5
Judul : Cinta di Dalam Gelas (Novel kedua 
dari Dwilogi Padang Bulan)
Pengarang : Andrea Hirata
Jenis : Novel
Cetakan I : Juni -2010
Penerbit : Penerbit Bentang – Yogyakarta
Hal : vi + 270
ISBN : 978-602-8811-09-5
Persensi : Hidayat Raharja*

Padang bulan sepertinya sebuah padang terbuka yang mebentang kiasah-kasih anak manusia tanpa emmandang status sosial dan kepangkatannya. Di saat bulkan terang-benderang, saat itulah mikrokosmos jagad raya – tubuh manusia – berkelimpahan hormon yang meninghkatkan hasrat untuk bercinta dan romantisme. Sebuah cinta pertama yang akan teruys dikenang sepanjang hayat, sebagai pengalaman pertamna dalam sejarah cinta dan kemanusiaan.
Padang BHulan kitab pertama novel Andrea Hirata. Dibuka dsengan kisah percintaan Syalimah dengan Zamzami dalamm keluarganya yang sewderhana dengan empat anak hasil perkawinan mereka. Hidup keluaraga yang sederhana, bahkan sangat sederhana sebagai kuli tambang timah. Namun kesederhanaan tak memudarkan cinta kasih mereka cinta Zamzami kepada Syalimah dan keempat anaknya. Pun juga sebaliknya, rasa sayang dan cinta Syalimah kepada Zamzami. Cinta dan kasih sayang yang tulus di natara mereka. Namun cinta kasih mereka tak bertahan lama, kecelakaan di tambang timah membuat Zamzami meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Zamzami meninggal karena tertmbunh pasir galian yang longsor.
Kematian menamatkan cinta zamzami kepada Syalimah. Namun, tidak bagi Syalimah, cinta Zam,zami etrus hidup di dalam dirinya tak ada yang mampu mengenyahkan dari perasaanya. Kejutan-kejutan yang selalu diberikan kepada Zamzami kepadanya telah mengekalkan cinta pertama dan terakhirnya. Kematian Zamzami, memulai kehidupan barui bagi keluarga Syalimah, keluarga miskin dengan empat anak yang masih kecil-kecil, membuatnya rapuh dan tak berdaya. Di tengah kerapuhan ini, maka Enong (Maryamah Zamzami) anak pertama mereka menahan cita-citanya untuk menjadi guru Bahasa Inggris, mengambil alih tanggungjawab keluarga, dan dalam suia 14 tahun menjadi perempuan pertama penambang timah di Sungai Linggang – Belitong. Seorang anak perempuan pertama di Belitong melakukan pekerjaan kasar laki-laki- penambang timah – mengayunkan cangkul dan mengayak timah yang berbaur gumpalan pasir.
Malangnya, juru taksir yang culas, dengan berbagai alasan tak menghargai timahnya.
“kadar timahmu rendah sekali, Nong, tak lebih dari pasir!” (halaman 62)
Ucapan yang sellau diterimanya ketika menimbangkan hasil timahnya. Recehan yang dipwerolehnya dipergunakan untuk membneli beras dan lauk untuk makan ibu dan adik-adiknya. Sebuah potret kehidupan yang bisa ditemukan di berbagai tempat. Akal bulus para juragan untuk mengelabui penjual
Yang datang kepadanya, untuk mendapatkan keuntungan yang banyak dengan memeras keringat orang lain.
Keadaan yang menderita, miskin tak mebuat cinta Syalimah pudar kepada Zamzami. Dia masih muda, sehingga pantas untuk menikah dengan lelaki lain untuk meringankan beban hidup keluarganya, dan mencarikan sosok ayah bagi anak-anaknya. Namun Syalimah bergeming beberapa tawaran darei anggota keluarganya utnuk menikah lagi tak pernah digubrisnya. Dia masih setia dengan cinta Zamzami yang penuh kejutan-kejutan, sampai ajal menjemputnya. Sapmai pada suatu hari Sirun – sepupunya juga manganjurkannya utnuk menikah lagi, tetapi ditolaknya olrh Syalimah.
“Pak Cik, aku hanya pernah kenal cinta sekali. Sekali saja. Hanya pada Zamzami. Itulah cinta pertamaku, yang akan kubawa sampai mati.” (halaman 85)
Cinta sekali, seumur hidupnya sebuah kebetahan untuk bertahan dan membesarkan anak-anaknya dengan penuh penderitaan, ketabahan, namun tetap diselimuti oleh cinta yang takj pernah pudar.
Perempuan- perempuan yang selalalu dikalahkan oleh keadaan, namun Enong adalah perempuan yang tak pernah menyerah. Tak pernah takluk terhadap nasib yang memerangkapnya. Dalam hatinya tak pernah pudar untuk belajar Bahasa Inggris meski hanya lulusan sekolah dasar. Sehingga Ia masih rajin berhubungan dengan tuan Pos untuk mendapatkana neka brosur entah itu penawaran kursus atau aneka penawaran produk furniture yang ditaruh di depan loket kantor pos.
Kecintaan Enong terhadap Bahasa Inggris, ditandai dengan masih tersimpannya dengan baik Kamus Bahasa Inggris Satu MIlyar Kata pemebrian terakhir ayahnya, sebelkum meninggal dunia. Serta upaya untuk mencari kursus Bahasa Inggris, di kota Tajong pandan. Keinginan ini kemudian tersampaikan ketika salah satu lembaga kursus Trendy English Course membuka cabang di Tanjong Pandan. Cinta yang selalu membara untuk melunasi cita-citanya yang tak terpenuhi menjadi guru Bahasa Inggris, tak memudarkan niat utnuk belajar Bahasa Inggris.
Juga kecintaan Ikal terhadap A Ling tak pudar-pudar. Meski A Ling terkabar dekat dengan Zinar, lelaki tampan dengan multitalenta, tak memudarkan Ikal untuk mendapatkan cinta A Ling. Berbagai usaha dilakukan Ikal menyaingi Zinar untuk mengalihkan A Ling kembali kepadanya. Namun, semua usaha sia-sia dan Zinar adalah yang terbaik dibandingkan dirinya, sehinggta ia harus emngakui keunggulan Zinar pada saat mnengalhkannya dalamn pertandingan catur di pertandingan catur agustusan di kampungnya.Hanya delapan langkah Rajanya dibuat bertekuk lutut oleh Zinar.
Sekonyong-konyong, dengan suaranya yang berat dan penuh wibawa lelaki ganteng itu bersabda: Sekak. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi. Yang kutahu, nun di kotak putih di pojok situ, rajaku megap-megap seperti ikan patin kekeringan danau, menggelepar sebentar, lalu terkapar, mati. Iya, mati. (halaman 166)
Persahabatan Ikal dengan Enong, sepertinya sebuah kelindan yang saling melengkapi untuk melawan ketak berdayaan, perih, dan pedih. Namun, kepedihan yang mendera mereka tak membuatnya terpuruk. Enoing sebagai pengambil alih tulang punggung keluarga semenjak kematian ayahnya, Zamzami tak pernah takluk dengan keadaan, dengan penuh ketulusan dan tegar dilakoni hidupnya dengan penuh kepastian.
Maka dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan mereka yang terkadang terasa getir, namun lucu, riang tetapi naif, Enong, Ikal dan Detektif M. Nur membangun sinergi untuk menaklukkan tantangan yang menghadang di hadapannya. Dengan bantuan Jose Rizal si merpati Pos yang menghubungkan komunikasi antara Ikal dengan Detektif Kontet M. Nur. Detektif kontet yang banyak akal, sehingga strategi-strategi dan tindakannya kadang terasa konyol dan menggelikan. ketika gigi palsu Lim Phok hilang secara misterius dari mulutnya saat tidur. Lim Phok menuduh istrinya sendiri, Moi Kiun telah mencuri gigi palsu dari mulutnya. Namun dengan cerdik Detektif M Nur mencari gigi palsu tersebut di selokan dengan menggunakan anjing pemburu pelanduk. Ternyata gigi palsu itu ada di selokan depan warung tempat Lim Phok terakhir minum kopi. Menurut analisis M. Nur gigi palsu itu lepas ke dalam gelas saat Lom PHok minum kopi , lantas sisa kopi dalam gelas yang ada gigi palsunya dibuang ke selokan pada saat mencuci gelas.
*****
Cinta Tak Tergantikan
Jalinan percintaan Ikal yang sebelah tanagn dengan A Ling sempat tersela oleh perhatian Bu Indri guru kurus Bahasa Inggris si Enong. Tetapi cinta Ikal kepada A Ling adalah cinta pertama dan tak tergantikan, seperti cinta Syalimah kepada Zamzami yang ditinggal mati. Api asmara Bu Indri kepada Ikal yang tak surut, dan kian menjadi semakin hari. Beberapa puisi sempat hadir di hadapan Ikal. Puisi cinta Bu idnri kepadanya. Namun, dengan halus ditolaknya bahwa cintanya hanya milik A Ling.
Namun, sekali lagi, A Ling, bersamaku atau tidak, tak mampu membuatku bverpaling kepada siapa pun. Sebaliknya Bu Indri memperlihatkan wanita cantik umumnya, yaitu jika kita mendekati mereka, mereka selalu telah menjadi milik orang lain, dan jika mmereak mendekati kita, situasinya pasti selalu tidak mungkin.sedangkan perempuan yang tidak kita inginkan, selalu berada di sana, bak aptungs elamat datang, tak seorang pun mau mengambilnya(halaman 225)
Begitu kukuh cinta yang dimiliki IKal untuk A Ling. Betapa menarik cinta bagi anak Manusia, kjarena meski pun yang datrang wanita cantik untuk emncintainya, namun karena dirinya tak emncintaui maka punah pula harapan cinta yang diinginkan. Kadang yang tak diinginkan datang menemui kita, namun yang diinginkan sudah dimiliki orang lain. Cinta yang selalu menjadi rahasia, dan selalu hadir pada setiap keebradaan manusia.
*****
Pada kitab kedua dari Dwilogi Padang Bulan “Cinta di Dalam Gelas” sebuah perjuangan seorang wanita untuk menegakkan martabatnya, mengalahkan dendam, dan menunjukkan ketegaran dan kegigihannya sebagai seorang wanita yang sering kali dianggap rapuh. Lewat Sosok Enong perempuan pertama penambang timah di sungai Linggang, Andrea membeberkan bagaimana maka sebuah mimpi dan cita-cita serta cinta sejati tertanam dalam diri anak manusia.
Di dalam kitab ini dikisahkan keberhasilan Enong sebagai lulusan terbaik kelima di anatar murid peserta kursus di lembaga Trendy English Course. Sebuah prestasi yang ditunjukkan Enong meski telah putus sekolah, namun ia bisa meraih prestasi di antara peserta laiannya yang tengah duudk di bangku SMA. Sehingga pada saat itu Dia diberi kesempatan untuk menyampiakan pidato di hadapan para wali murid yang menghadiri wisuda putra-putirnya yang lulus menemupuh ujian di lembaga Trendy English Course.
Perjuangan Enong terus berlanjut untuk emnahan kepedihan dan memperkuat ketabahan dalam menjalani kehidupan yang drenda kemiskinan. Enong sebagai perempuan pertama penambang timah di sungai Linggang. Sebuah rajutan cinta, martabat dan harga diri yang saling berkelindan di antara gelas kopi di warung-warung kopi, permainan catur yang bukan hanya sekjesar bidak-bidak kayu yang dipindahkan tetapi di dalamnya kaya filosofi dan strategi dalam menakulukkan dan mempertahankan kekuasaaan. Sebuah refleksi kehidupan untuk mempertahankan martabat dan harga diri. Bagaimana kopi dan warung kjopi telkah menjadi twmpat bagi masyarakat belitung untuk menikmati kehidupan mereka, juga untuk bversosialisasi dengan orang lain. Bahkan dari cara menyeduh dan memegang gelas kopi secara jenaka Andrea mampu mengiudentifikasi status sosial dan pekerjaannya. Lewat minum di wartung kopi berbagai persoalan hidup baik, soal remeh – temeh keluarga sampaiu persoalan negara menemukan solusinya.
Lewat warung kopi seorang warga negara leluasa untuk mmengkritik kepala pemerintahan sampai presiden. Sebab, dalam segelas kopipula mereka yang tengah merencanakan strategi dna melakukan persekongkolan mematangkan rencananya. Serta bagaimana pula segelas kopi menyatakan rasa cinta dan terimakasih suami kepada istri atau sebaliknya.
“Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu etrsenytum padaku.”
Sepotong kenangan yang diutarakan Syalimah di hadapan anak-anaknya. Meski tak terkatakan, anak-anaknya paham kalau senyuman itu merupakan rasa berterimakasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang balas-memnbalas, dan kopi itu adalah cinta di dalam gelas. (halaman 11)
. Bagaimana segelas kopi yang diseduh pelan-pelan sambil tersenyum di hadapan istrinya dimaknai sebagai rasa cinta kasih yang tak terkatakan. Cinta manis dalams ebuah keluarga yang teraduk dalam segelas kopi. Cinta di dalam Gelas. Lebih jauh kopi bukan hanya perekat keluarga, tetapi dapat menjadi pencair kebekuand an persoalan yang merenda sispa saja. Bahkan dari cara memegang gelas, terungkap pula filosofi peminum kopi yang tak pernah diungkap dalam kehidupan, didedahkan Andrea secara jernaka
Bahwa mereka yang memesan kopi sekaligus memesan the – adalah mereka yang baru gajian. Mereka yang memesan kopi tapi takut menyentuhnya - uang di sakunya tinggal seribui lima ratsu perak. Mereka yang tak menyentuh gelas kopi, tapi menyentuh tangan gadis pelayan warung – pemain organ tunggal. (halaman 111)
Seraya meminum kopi mereka memainkan buah catur di bidak-bidak yang disediakan di warung-warung kopi yang berdert di sekitar pasar. Mereka memainkan buah catur seperti menggerakanan para tentara yang akan melumpuihkan benteng pertahanan musuh. Bagaimana mereka menggerakkan kuda seperti menggerakkan para tentara yang kan menerjang pertahanan musuh yang kukuh. Dengan catur pula mereka menjajaki kewibawaan lawan dan mempertahanakan martabat dan harga diri. Permainan yang kemudian menggugah Enong untuk mengakkan martabatnya yang telkah dilecehkan Matarom dalam lembaga perkawianan yang dibangunnya. Namun keinginan Enong untuk bermain catur bukan merupakan hal mudah karena di Belitong tidak perempuan yangb bermain catur. Serta tidak pernah ada pemain catur perempuan melawean pecatur laki-laki dalam lomba catur agustusan yang diselenggarakansetiap tahunnya.
Keinginan Enong (Maryamah) untuk bisa bermain catur kian merekatkan persahabatan antara IKal, Detektif M. Nur dan Enong. Mereka kemudian bersekongkol, dan Ikal mau membantu mencarikan pelatih bagi Enong, karena ada tujuan mulai yang diemban Enong dengan bermain catur. Dia ingin menegakkan martabatnya sebagai wanita yang telahj direndahkan. Hanya dengan bermain catur dia mampu menegakkan kembali martabat dan harga dirinya yang luluh lantak. Keinginan Enong sangat kuat untuk belajar bermain catur dengan meminta Ikal utnuk menmcari pelatih. Maka,pilihannya jatuh kepada Ninochka Stronovsky seorang grand master. Maryamah tidak sia-sia belajar kepada Ninochka, karena semkain lama dia semkain menguasai teknik pertahanan benteng bersusun ala Anatoly Karpov. Sebuah usaha untuk menguasai teknik bermain catur semata untuk mengalahkan Matarom, lelaki yang telah merewndahkannya dan meluruhkan harkat kewaniatannya.
Tugasd berat dilakukan Ikal dan Detektif M.Nur untuk menyertakan Maryamah dalam pertandingan catur. Kesulitan untuk menyertakan Maryamah, karena di kampung ini lebih terkenal patriarkart. Hanya dikenal dunia lelaki. Namun dengan perjuangan yang pantang menyerah, akhirnya Maryamah diijinkan untuk mengikuti kompetisi dengan catatan di di anatar mereka dipasang tabir supaya ada hijab di antara mereka, dan Maryamah memakai burka. Pertandingan yang seru antara Maryamah dengan Matarom, karena di anatara mereka ada pertarungan untuk menegakkan martabat dan harga diri. Saat itulah Maryamah berinisiatif untuk meluanskan harga diri yang telah tergadai. Matarom dengan papan catur peraknya yang mistis membuat guguip lawan mainnya. Tetapi, tidak bagi Maryamah. Pertarungan itu menjadi sangat berarti bagi dri dan masyarakat. Bagi diri untuk menegakkan martabat dan bagi masyarakat adalah untuk menghilangkan patriaki, bahwa wanita juga bisa berbuat.
Di sini Andrea Hirata sangat memanrik dengan bahasa penuh metafiora menajdikan pertrarungan natara Maryamah dengan Matarom laksana pertarungan di Laut Chi na Selatan.
….Papan catur perak pun menjelma menjadi Laut China Selatan yang bergelora. Bahtera perompoak menyeruak di antara gempuran ombak. Rajka berekor yang haus darah berdiri dengan garang di haluan. Pedang panglima Kwan Peng menebas leher prajuriut-prajurit Maryamah. Darah menggenang di geladak tempat delapan butir pion hitam berubah menjadi bajak-baja laut yang brutal.(halaman 264)
Sebuah perumpamaan yang membangun bayangan di benak pembaca pada perang kekuatan di tengah lautan utnuk emnegakkan kekuasaan dan harga diri. Sangat lihai Andrea mengelucak perasaan pembaca, karena terhadap bidak-bidak kayu tersebtu dia memberikan perumpamaann yang menarik.
..perwira Maryamah berlompatan ke bahtera perampok. Kudanya menjadi mualim yang menmghunus pedang, lalu membabat Panglima Kwan Peng. Menterinya menjadi Admiralmyang menusuk pinggang kiri raja berekor, persis seperti saran Nochka.(hlaman 265)
Sungguh mengesankab membaaca dua buku novel ini, karena dio dalamnya kuita akan banyak menemukan nilai-nilai kehidupan, percintaan, harga diri, dan kesetiaan. Di bagian akhir buku kedua diberi catatan para tokoh yang terlibat dalam novel. Keterangan yang semakin menguatkan p[erguklatan novel ini yang berkelindan antara realitas dan fiksi. Selamat membaca!