Translate

Kamis, 17 Mei 2012

“Talken Koneng”; Simbiosis dan Persilangan Mantra [1]

Oleh: Hidayat Raharja[2]
Buku sehimpunan puisi seorang kawan penyair  Alfaizin Sanasren dengan judul “Talken Koneng”. Buku dengan tebal 50+xiv halaman ini dipenuhi dengan puisi-puisi mantra yang diangkat dan berangkat dari perjumpaanya dengan naskah-naskah mantra (Madura) pemberian leluhurnya.
Mantra adalah bahasa pertama yang muncul dalam tradisi masyarakat sebagai bahasa komunikasi paling sublim untuk berbagai kebutuhan komunikasi. Dalam masyarakat Madura masa silam, Mantra banyak diperguakan untuk berbagai keperluan; penyembuhan, kekebalan, sihir,kejantanan, perdagangan, pekasihan atau percintaan dan juga dalam hubungan kelamin.  Suatu fungsi praktis dalam kehidupan sesuai dengan kebutuhannya.
Bagi masyarakat Riau mantra di antaranya diyakini sebagai penakluk buaya. Sebuah tradisi yang menjadi muasal tradisi yang kemudian diangkat kembali oleh Sutardji Calzoum Bachri  ke dalam puisi mantra. Bahasa mantra yang kemudian melompat ke dalam bahasa puisi. Bahasa yang kemudian menjadi bangunan kata-kata yang mebawa dirinya, sehingga menjadi sebuah tafsir yang lain. Tafsir yang berada diluar makna kata-kata asal. Sebuah lompatan dalam puisi-puisi Sutardji CB, dan tiba-tiba menjadi musikal, menggeram, syahdu, sakit,atau berontak keluar dari makna yang disandangnya. Kekuatan mantra yang kemudian bergerak dan mengeram dalam puisi-puisi sutardji.
Kata pertama adalah mantra, demikian ujar Sutardji Calzoum Bachri.  Sebuah ungkapan yang mencoba melapaskan kata-kata dari beban makna. Kata-kata yang dibiarkan bebas menari jumpalitan dalam teks puisi yang dibangunnya untuk kembali sebagai kata dan membiarkan pembaca untuk membacakan tafsirnya. Sebuah pembebasan yang memerdekakan pembaca untuk memaknai, atau membuangnya karena tidak membutuhkannya.
Dalam hidup kekinian mantra terus menyihir ruang publik dalam berbagai bentuk aktualisasinya. Mantra iklan telah menjejali pikiran para konsumen untuk membeli barang yang tak dibutuhkannya. Iklan makanan menipu rasa kerumunan massa untuk memilih makanan bukan pengisi lapar tetapi sebagai bagian dari gaya hidup urban yang mesti makan di Kentucky Fried Chicken (KFC) atau di Mc.Donald (Mc.D).
Sehimpun puisi yang berjudul “Talken Koneng” adalah sebentuk reaktualisasi mantra Madura yang bermetamorfosis dan memberikan bentuk dan pengaruh lain dari muasalnya. Perkembangan makna dan fungsi yang luput dari perhatian kita ditengah serbuan mekanisasi industri yang melupakan kita pada esensi. Kata-kata adalah kekuatan dalam sebuah mantra seperti halnya beberapa kata yang menjadi penguat dalam puisi-puisi Alfaizin,antara lain: Huuummma, hum, hu’, siur, buh, sir, asapdupa, jerengkong, dhammong gurjem, kaf ha ya ain shot, lam, duh reduh, sah sih sah sih, kullu nafs, manhar,injangganjing, leng  alengleng, kun, bis, sin jin, semar pulang, ling keiling, lam alif.
Di dalam pemanfataannya kata-kata mantra bisa sampai pada tujuan dengan mempergunakan beberapa media sesuai dengan maksud mantra ditujukan; Kafan, paku, boneka, asapdupa, rerempahan pekuburan, sirih, kembang tujuh rupa, janur kuning, gambir, sirihkuning, air mawar, daun dadap, Media yang menjadi penyampai sekaligus maksud. Untuk pengasihan, pelarisan, balas dendam atau menyakiti orang lain, atau mendamaikan orang berselisih adalah mantra-mantra dalam masyarakat Madura yang mungkin sudah tak dikenal lagi ketika teknologi dan alat komunikasi menjadi media penyampai yang cepat dan akurat, sebab bisa sampai ada tujuan. Bahkan dengan aneka bentuk produk layanan yang diberikan oleh jasa telekomunikasi kita bisa berhubungan dengan orang yang tak dikenal yang kemudian menjadi teman dan bahkan kekasih.
Sekumpulan puisi dalam “Talken Koneng” adalah puisi-puisi Alfaizin yang semula dipublikasikan dalam catatan facebook dan direkomendasikan untuk beberapa temannya. Sebenarnya merupakan sebuah bentuk aktualisasi mantra yang semula merupakan komunikasi batin jarak jauh menjadi komunikasi terbuka yang tak lagi dibatasi atau disekati oleh jarak dan waktu. Inilah yang saya katakan sebagai reaktualisasi bahasa ‘mantra” dalam perkembangan teknologi komunikasi. Suatu idiom mantra yang kemudian beralih ke dalam bentuk puisi sebagai komunikasi dengan orang diluar dirinya. Komunikasi yang kemudian direspon dengan komentar, mengulang kembali kata atau bahasa yang menarik, dan atau menambahkan dengan kalimat  baru.
Dalam kumpulan puisi  Talken Koneng” beberapa mantra telah diprotoli dan dipelintir menjadi sesuatu dengan makna yang lain. “Unik”nya pada beberapa puisi, kata-kata mantra tersebut tetap dalam bentuknya yang kemudian bersimbiosis dan bersilangan dengan kata-kata baru yang datang dalam diri penyair. Bersimbiosis, karena kata mantra tersebut mampu membangun komunikasi yang baru, sehingga keluar dari makna dan tujuan awal. Namun kadang gagal dalampersilangan karena tak mampu menghasilkan hibrida yang fertil selain sebuah keturunan yang bernasib mandul dan tak berdaya. Simbiosis dan persilangan yang kadang membayangkan  pada keberhasilan Darmanto Jatman dalam menyilangkan bahasa Jawa, Indonesia dan Inggris dalam bangunan rumah puisinya yang terasa lapang dan terbuka untuk menerima segala.
Talken berkenaan dengan kematian manusia awalnya adalah sebentuk sihir untuk memanggil kematian seseorang dengan aneka laku dan ritual yang dilakukan oleh penujum dengan puasa dan membuat boneka kain yang diikat dengan kain kafan dan ditusuk dengan paku, jarum,  pada bagian tubuh tertentu yang diinginkan. Paku-paku yang dihujamkan ke organ-organ vital dalam tubuh yang dipetakan pada sebuah boneka kain. Si penyihir akan memanggil-mangil nama korban sembari menghunjamkan paku membacakan mantra kematian. Sesuatu  yang kadang membangkitkan wingit, cemas, takut, menjadi sesuatu “wirid” yang menenangkan. Dari kematian jazad berubah menjadi kematian nafsu.
Kengerian mantra kematian berbalik arah di tangan Alfaizin menjadi sebuah ritual musikal yang ritmik dan mengubah panggilan kematian jiwa pada kematian nafsu: hum, hum, huuuuumma,/datang, datang, datanglah kepadaku/ asap purba kubakar di atas kekuningkangn tembaga/ tiga puluh tiga rerempahan pekuburan/ meradang-radang/legamsaga barabara/berkelokan/ memungut letup garammulutku berkutub/ huuummma,/ datanglah kepadaku/ aku tuntaskan wujudmu/ maut tubuhmu/maut nafsumu// (Talken Koneng, halaman 1)
Mengapa membunuh nafsu? Ya manusia lahan subur nafsu, birahi, serakah, ambisi jabatan, kekuasaan, dengan berbagai jalan dan cara dikerjakan. Nafsu serakah dengan berbagai siasat yang terus berkelit sebagaimana para pemimpin rakus yang penuh nafsu dan ambisi mempergunakan kesempatan yang ada. Video porno para anggota dewan adalah nafsu birahi khewani yang memang pantas untuk dimatikan. Nafsu kelelakian dan kehilangan harga diri kaum perempuan yang tak mampu menjaga harkat dan martabatnya.
Nafsu lelaki adalah kitab kelelakian yang selalu terbaca dan selalu terulang dalam kehidupan. Dalam sejarah tardisi hadrilah mantra pekasihan untuk  menaklukkan  cinta perempuan. Pekasihan yang memunculkan memoripanjang sehingga menangis bagai “semar tangis” atau meronta bagai “jaran Goyang”. Tuah mantra yang mendebarkan dan menakutkan karena siapa pun akan bertekuk lutut dan menyerahkan seluruh kepasrahan. Namun dalam “Kitab Kelelakian” ada ingatan baru yang ditumbuhkan tidak hendak meletakkan kebirahian itu dalam sebuah dialog baru;/  telah aku kunci sembilan lubang di tubuhmu/ lubang dzubur/lubang kelamin/lubang pusar/lubang hidung/ lubang mulut/ libang telinga/ juga matamu//lubanglubang tanpa rasa/tanpa detak/ tanpa sukma/ (halaman 3)
Kaum perempuan sebagai kaum pemuja tubuh. Sebuah mantra semacam ”letrek”, “Susuk” yang menyungsang pandang para lelaki. JIka susuk itu ditaruh di pelupuk mata, maka siapa yang dipandang atau menatapnya akan jatuh cinta. Pun juga ketika kartu letrek itu dimainkan tak  ada lelaki yang bisa kembali pulang ke rumah atau keluarga. Dia akan tersesat dalam rumah tubuh perempuan yang menaklukkannya./ gurjem,pandang tubuhku/matamu silau kemilau/mengigau bila tak berucap/ diam kalangkabutan/ (ayat-ayat pemuja tubuh, halaman 15)
Dari bebrapa puisi daamkumpulan ini dapat ditarik dalam dua ranah, pertama mantra yang mampu bersimbiosis dengan kata-kata baru dan bisa keluar dari makna awal,makna yang memberikan aneka tafsir bagi para pembaca dari berbagai sudut dan pengalaman ritual.
Kedua, mantra hanya merupakan persilangan dengan kata-kata dan tak bisa melepaskan diri dari beban yang disandang sebelumnya. Persilangan kata yang tidak bisa menghasilkan hibrid yang fertil (kaya makna), tetapi hibrid yang mandultakberdaya menyandnag beban maknamanteran yang takmampu dilepaskannya. Dalam kasus ini kata-kata mantra berndingan dengan kata-kata yang lain tanpa bisa bersimbiosis dan melebur untuk menemu makna baru. Ini terlihat pada puisi “Sihir”(halaman 24) narasi yang menegaskan tentang waktu dan bagaimana sihir dijalankan.Ini yang saya katakan takbisakeluar ke makna yang baru.
Hal ini memang amat berbeda dengan Pola yang dibangun Sutardji CB yang juga berangkat dari sebuah mantra. Keberbedaan yang sebenarnya dapat menjadimodal Alfaizin untuk berjelajah lebih jauh dalam pengembaraan kreativitas.
Bila Alfaizin masih terishir dengan kata mantra, sementara Sutradji CB lebih menukik kepada ruh mantra yang kemudian dijadikan nyawa untuk menggerakkan kata menemukan dirinya sendiri, untuk melepaskan beban makna yang disandangnya, sehingga memberikan ruang yang lebih luas bagi para pembaca untuk memberikan tafsir. Mantra yang liar, brutal, sadis,dan kadang menggiris menjadi ruh dalam menggerakkan pola dan bentuk puisi-puisi Sutardji seperti dalam “O Amuk Kapak” yang kadang asimetris,berhamburan,atau sesekali seperti barisan yang rapi menuju suatu tujuan.
Sesungguhnya diantara sekian banyak mantra yang hidup dalam kumpulan “Talken Koneng” adalah keberanian bermain-main dengan percintaan secara meluas. Kadang terasa komikal dan musikal dengan adanya repetisi mau pun dengan permainan bunyi yang mirip kadang terasa liris dan menghentak.
Percintaan dan kematian dua sisi mata uang yang saling melapisi. Jika percintaan itu dilakukan dengan dilandasi nafsu dalam sebuah perselingkuhan maka lambat dan pasti akan membawanya pada “kematian”. JIka politisi akan mematikan karier politiknya.Jika pejabat akan jatuh dari singasana,mati jabatan yang diagungkannya. Jika tokoh masyarakat akan diasingkan dari tengah khalayaknya, “mati” wibawanya.
Apabila cinta itu dilakukan dengan tulus dalam sebuah pernikahan, akan mematikan nafsu badani dan syahwat ke dalam sebuah cinta yang tentram. “Talken Koneng” tidak lagi untuk takluk-menaklukan, melainkan berselagu dalam sebuah  nyanyian mantra kehidupan; cinta, lelaki, perempuan, pernikahan, nafsu, kematian dan keabadian.  Membaca buku ini seperti membaca kelebatan masa silam yang menakutkan dan mendebarkan dalam sebuah lompatan ke masa kini yang penuh tegangan, canda, dan kenakalan-kenakalan dalam bahasa yang kadang sulit dimengerti atau tak ditemukan dalam kamus. Tersebab, karena bahasa puisi lebih dekat ke dalam hati.*****(HR)


[1] Disajikan pada acara bedah buku “Talken Koneng” di kampus STKIP PGRI Sumenep pada hari Kamis,17 Mei 2012
[2] Penulis adalah guru, esais,dan penikmat puisi beralamat di hidayatraharja.blogspot.com dan http://kompasiana.com/hidayatraharja.

Tidak ada komentar: