Translate

Selasa, 23 Desember 2008

MENYELAMATKAN BAHASA MADURA YANG KIAN TERPURUK

Oleh : Hidayat Raharja*
Bahasa Madura adalah salah satu bahasa lokal yang meiliki jumlah penutur cukup banyak, setelah bahasa Indonesia, Jawa, dan Sunda. Bahasa lokal yang banyak dipergunakan sebagai bahasa komunikasi daerah tapal kuda di Jawa Timur, seperti Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Situboondo, Jember Malang bagian selatan, dan Banyuwangi, selain dipergunakan di daerah Madura.

Namun dalam perkembangannya seperti juga bahasa etnis atau bahasa daerah lainnya di Indonesia, bahasa Madura semakin teralineasi dari tengah masyarakat penggunanya. Kerasehan ini dapat diindikasi makin sedikitnya keluarga muda yang mengajarkan berbahasa Madura bagi anak yang dilahirkannya sebagai bahasa komunikasi dalam rumah tangga. Menyitir pendapat M. Musthafa (Kompas Juni 2008), bahwa keberadaan bahasa Madura semakin mendekati kepunahan, karena pesantren sebagai pertahanan terakhir penggunaan bahasa Madura dalam lembaga pendidikan, kini juga semkain terncam dengan masukknya kurikulum sekolah umum ke dalam pesantren. Kurikulum yang kemudian mewajibkan untuk mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasinya.

Keresahan akan semakin hilangnya bahasa Madura dalam komunikasi, bukan tanpa sebab. Hadrinya televisi yang menayangkan pelbagai jenis hiburan telah mengubah gaya hidup kaum remaja, termasuk perubahan dalam berkomunikasi. Mereka dan umumnya keluarga muda di masyarakat Madura, lebih banyak mempergunakan bahahasa Indoensia dalam keluarga mereka. Kondisi ini kian diperparah dengan pola pengajaran bahasa Madura yang tidak lagi diajarkan oleh guru bahasa Madura. Saat ini tidak ada lagi guru Bahasa Madura yang diluluskan lembaga pendidikan semacam FKIP atau pun STKIP.

Meski di dalam kurikulum SD dan SMP terdapat muatan lokal yang berupa pengajaran Bahasa Madura, pelaksanaan pelajaran tersebut tak lagi diampu oleh guru yang berkompeten mengajarkan bahasa Madura. Persoalan lainnya adalah bahwa pengajaran atau mempelajari Bahasa Madura tak ubahnya mempelajari bahasa asing, karena banyak kosa kata yang tak akrab dan tak dikenal lagi oleh peserta didik. Bahkan media pembelajaran untuk Bahasa Madura semakin tertinggal bila dibandingkan dengan media pembelajarn bahasa asing. Sebagai contoh betapa sulitnya untuk mendapatkan kamus berbahasa Madura baiik itu kamus bahasa Madura – Indonesia, maupun kamus Indonesia – Madura. Kesulitan ini semakin diperparah dengan tidak adanya ejaan bahasa Madura yang baku. Betapa bingung anak-anak kami yang ada di SMP di daerah Sumenep memakai buku bahasa Madura terbitan Pakem Maddu– Pamekasan. Kebingungan ini muncul karena ejaan yang dipakai oleh yayasan Pakem Maddu adalah ejaan bahasa Madura berdasarkan hasil lokakarya di Sidoarjo – yang diselenggarakan Balai Bahasa Surabaya pada tanggal 31 Desember 2002. Sementara anak-anak sekolah di Sumenep telah terbiasa dengan ejaan yang disempurnakan berdasarkan hasil sarasehan di Pamekasan 28-29 Mei 1973.

Perbedaan ejaan yang dipergunakan daerah Sumenep dan Pamekasan, sampai saat ini menjadi pertentangan antara yayasan Pakem Maddu – Pamekasan dengan Tim Pembina dan Pengembang Bahasa Madura (Nabara) di Sumenep. Perseteruan ini sempat mencuat ke permukaan dalam komisi bahasa Madura pada saat berlangsung Kongres Kebudayaan Madura (KKM) pada tanggal 9-11 Maret 2007. Penulis sebagai anggota komisi Bahasa Madura dalam KKM yang lalu melihat bahwa utusan dari Pamekasan yang di antaranya para pengurus yayasan Pakem Maddu ngotot untuk mempertahankan kebenaran akan pilihan ejaan yang dipergunakan berdasarkan hasil lokakarya bahasa Madura tanggal 31 desember 2002. Sementara dari tim Nabara menolak untuk memperguanakan hasil lokakarya di Sidoarjo, karena tidak dilibatkan dalam loka karya tersebut, serta ada bberapa prinsip dalam pakem bahasa Madura yang diabaikan dalam keputusn tersebut. Sehingga kalau boleh disampaikan bahwa pada saat kongres tidak ada kata sepakat dari utusan Sumenep untuk mencari titik temu perbedaan. Pada saat itu hanya dicapai keepakatan-kesepakatan untuk mengembangkan Bahasa Madura.dalam pembelajaran di sekolah.

Pertentangan ini cukup menguat ketika pada 20 Januari 2008 Tim Nabara Sumenep mengadakan seminar pelestarian dan pengembangan Bahasa Madura dengan mengundang beberapa guru Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Serta pemerhati bahasa dan sastra Madura. Sebuah upaya untuk mengakomodir beberapa keluhan dan hambatan pelestarian bahasa dan sastra Madura yang nantinya akan diusung ke dalam Kongres Bahasa Madura yang akan diselenggarakan di Pamekasan pada tanggal 15 – 18 desember 2008. Salah satu topik yang mengemuka pada seminar tersebut adalah penolakan terhadap ejaan bahasa Madura yang disempurnakan hasil lokakarya di Sidoarjo tahun 2002.

Persoalannya yang perlu diselesaikan dalam Kongres Bahasa Madura I, adalah bukan persoalan menang atau kalah, pendapatnya diterima atau ditolak, tetapi bagaimana kita duduk bersama untuk membicarakan masa depan bahasa Madura. Bagaimana upaya pengembangan dan pelestariannya bisa diaplikasikan dalam kehidupan, khsususnya dalam dunia pendidikan. Pertama, memikirkan bagaimana menjadikan pembeljaran bahasa Madura menjadi lebih efektif, kreatif dan menyenangkan. Hal ini sangat urgen, karena minimnya bacaan berbahasa Madura untuk dijadikan refrensi pembelajaran. Sangat jarang buku terbitan berbhasa Madura. Bahkan buku berbahasa Madura yang sempat booming pada tahun kejayaan Balai Pustaka, saat ini sudah jadi buku antik, tak ditemukan lagi keberadaannya. Cerita atau kisah yang diajarkan dalam buku pelajaran SD dan SMP telah kehilangan aktualitasnya, sehingga perlu direvitalisasi sehingga relevan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada.

Kedua, sudah saatnya lembaga perguruan Tinggi yang ada di Madura didalam FKIP didirikan program S-1 jurusan khusus Bahasa Madura, untuk memenuhi kebutuhan guru bahasa Madura yang memiliki kompetensi untuk mengajarkan bahasa Madura. Usulan ini tidak mudah membutuhkan kepedulian dari pemerintah daerah setempat untuk nantinya memikirkan lulusan sehingga bisa disalurkanke berbagai sekolah yang membutuhkannya. Menghargai lulusan program khusus Bahasa Madura untuk diangkat sebagai tenaga profesional dalam dunia pendidikan. Langkah konkret yang nantinya disertai dengan pembenahan silabus pembelajaran bahasa dan sastra Madura secara komprehensif, sehingga benar-benar bisa memebrikan kompetensi bagi peserta didik mampu mengapliaksikan berbahasa dalam lingkungan sosiokulturalnya.

Ketiga, penerbitan kamus bahasa Madura perlu disebarluaskan ke berbagai sekolah. Sangat aneh rasanya ketika para sepuh dan pemerhati berteriak untuk melestarikan bahasa Madura, sementara kamus yang merupakan salah satu media untuk bisa memahami makna kata sulit ditemukan. Ironisnya untuk mencari makna bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya bertebaran berbagai kamus dengan berbagai kualitasnya. Dapat dipastikan di setiap peprustakaan sekolah pasti memiliki kamus Inggris - Indonesia atau sebaliknya. Tetapi jangan tanya keberadaan kamus Madura – Indonesia, takkan pernah ditemukan di dalamnya. Kalau pun ada karagan Bapak Oemar Sastrodiwirjo yang diterbitkan di Pamekasan, jumlah terbatas dan hanya dimiliki kalangan terbatas. Bagaimana bahasa Madura bisa berkembang.

Keempat, tidak kalah pentingnya setiap pemerintah daerah di Madura untuk memprogram mengaggarkan pendokumentasian cerita rakyat setempat untuk dibukukan dalam bahasa Madura. Serta perlu digalakkan kembali terjemahan buku-buku bermutu baik buku cerita atau penunjang pembelajaran ke dalam bahasa Madura. Hal sederhana namun amat berat untuk dilakukan, dan ini seklaigus akan bermakna akan mengkayakan bahasa dan sastra Madura.
Semoga dengan Kongres Bahasa Madura I ini dapat dicarikan solusi-solusi untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa Madura. Bukan sekedar klangenan untuk mengembalikan kejayaan bahasa Madura seperti di masa silam, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menjadikan bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi pemiliknya sekaligus bisa berkembang sebagai bahasa teknologi pemakainya