Translate

Senin, 04 Mei 2015

Ayah Guruku


"Dengarlah" - Lukisan Hidayat Raharja

Memperingati hari pendidikan bagi saya sangat sederhana. Bukan dengan upacara yang penuh formalitas atau dengan menyanyikan Hymne Guru. Saya hanya merenungi kembali apa yang telah diperoleh dari dunia pendidikan dan apa yang telah saya berikan kepada dunia pendidikan. Pertanyaan sederhana, hanya untuk diri saya. Saya merasakan bahwa banyak hal yang belum saya perbuat. Banyak hal belum saya lakukan untuk memajukan pendidikan.
Terimakasih saya buat ayah dan ibu. Ayah yang menuntun saya belajar dan diajaknya saya ke tempatnya mengajar, sehingga saya jadi peserta didik yang paling muda di kelasnya. Usia 4 tahun dikelas 1 Sekolah Dasar. Saya hanya dilatih untuk membuat garis lurus, garis lengkung, sehingga tanganku lemas memegang pensil. Lalu diajarinya menulis huruf kapital dan huruf kecil. Saya ikut-ikutan belajar di kelas 1 yang jumlah muridnya sekitar 50 orang. Ya, jumlah yang banyak, karena saat itu belum dikenal keluarga berencana. Dalam satu keluarga memiliki setidaknya 5 anak sehingga benar-benar merupakan sebuah kelauarga besar. Maka dikelas 1 jumlah siswa setiap tahun banyak, namun tak bertahan lama karena beberapa bulan kemudian mereka berhenti.
Ayah yang mengajari saya menulis dan membaca. Di rumah ayah menuliskan huruf kapital dan huruf kecil di atas kertas tebal dengan menggunakan spidol. Ayah mengambil abjad secara acak dan saya menyebutkannya. Demikian selalu sehingga saya benar-benar mengenal huruf dan bisa membaca. Di kelas satu saya sudah bisa membaca dengan baik. Ayah selalu memotivasi agar saya giat belajar. Sampai saya menyelesaikan pendididkan dasar di usia 10 tahun.
Waktu di Sekolah  Dasar kelas V ayah mengajari saya membaca puisi dan membacakannya di panggung Agustusan di halaman kantor kecamatan. Puisi berjudul “Pahlawan”, puisi pertama kali yang saya bacakan di atas panggung. Ini barangkali awal saya mencintai dunia puisi. Meski kemudian dilarang oleh ayah untuk membaca buku-buku fiksi, diam-diam saya membacanya sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan ayah.
Untuk memasuki SMP saya harus mengikuti tes tulis di SMP Negeri 1 Sampang. Ayah menyuruh saya mencobanya,jika tidaklulus saya diminta untukmengikutikembali pelajaran kelas VI dan mengikuti ujian masuk SMPdi tahun berikutnya. Tak dinyana, hasil tes yang saya diikuti dinyatakan lulus dan diterima di SMP 1 Sampang. Betapa girang hati saya. Sepulang melihat pengumuman saya memberikan kabar gembira kepada ayah dan ebuk bahwa saya diterima di SMP 1 Sampang. Ayah sempat ragu-ragu apakah saya harus melanjutkan ke SMP atau mengulang lagi di kelas VI. Saya menangis memohon kepada ayah untuk mencoba sekolah di SMP 1 Sampang. Hari berikutnya baru ayah memutuskan saya boleh melanjutkan ke SMP dan membayar uang seranag lengkap saat itu Rp. 15.000 (lima belas ribu rupiah). Aku paham kekhawatiran ayah, karena jarak dari rumah ke SMP sampang 14 Km. setiap hari saya harus naik angkutan umum bersama dengan bakul sayur ke kota, tentu dengan uang transpor yang harus disediakan setiap hari. Barangkali ini salah satu keberatan ayah.
Memasuki SMP di kota Sampang, ada perubahan jadwal kegiatan harian baru. Saya harus bangun pagi jam 04.00 wib, sholat subuh dan menyiapkan berangkat sekolah, sarapan pagi. Pukul 05.00 saya harus sudah keluar rumah untuk menunggu angkutan umum yang mengangkut bakul sayur ke kota Sampang. Pukul 05.30 mobil angkutan sudah berangkat. Saya siswa dari kampung yang paling pagi berangkat ke sekolah. Sampai di Sampang sekitar pukul 06.00 dan dari tempat pemberhentian mobil angkutan ke sekolahku berjarak 2 km, saya tempuh dengan berjalan kaki. Pukul 06.15 saya sudah sampai di sekolah yang datang baru tukang kebun yang tengah membersihkan ruang kelas dan halaman sekolah.
Saya sering diolok-olok tukang kebun oleh teman sekampung yang sekolah di SMP 1 Sampang. Tapi saya tak perduli. Ayah dan ibu selalu menyemangati supaya saya bersungguh-sungguh. Lebih baik datang lebih pagi daripada datang terlambat, begitu selalu yang dituturkannya ketika saya mengeluh karena terlalu pagi sampai di sekolah. Pulang sekolah pukul 12.30 saya berjalan kaki ke tempat angkutan jurusan Omben. Siang yang terik. Bila ada teman yang bersepeda kadang aku diboncengnya. Karena sudah terbiasa berjalan kaki, siang terik tak masalah, sebab saya ingin segera sampai rumah.
Pukul 13.00 atau 13.30 saya sudah sampai di rumah, dan ibu sudah menyiapkan makan siang. Ibu yang selalu sabar dan penuh kasih melayani anak-anaknya. Jika ingat ibu, tak terbalaskan jasa yang pernah diberikan kepada anak-anaknya. Hanya doa yang selalu tercurah supaya ibu mendapatkan ampunn-Nya dan berbahagia di alam sana. Amin. Ia hanya menginginkan saya menjadi orang yang berilmu dan  berguna bagi orang lain. Keinginan yang sederhana, sebab bagi ibu tak ada gunanya orang pintar tapi tidak memberikan manfaat bagi orang lain.
Di SMP 1 Sampang, saya pernah hendak mengikuti lomba mengarang yang diadakan oleh Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lomba itu saya ketahui dari bapak Derajat guru bahasa Indonesia dan juga wali kelas saya dikelas I-A. Naskah karangan sudah saya buat, empat halaman kertas buku. Karangan mengenai lingkungan. Sambil membuat karangan saya membayangkan  sebagai pemenangnya, dan mendapatkan hadiah. Namun sayang, ketika naskah akan saya serahkan kepada pak Derajat, naskahnya hilang. Saya kecewa, hanya kecewa.  Entah, ini barangkali  yang menjadikan menulis sebagai salah satu aktivitas saya hingga saat ini.
Bila sore tiba ibu memanggil saya dan adik untuk mandi dan bersiap-siap belajar mengaji di langgar. Sebuah langgar kecil dan embah Fudholi dan Mbah Hadiyah yang mengajari saya dan saudara-saudara sepupu dan tetangga dekat. Mbah Hadiyah lebih sering mengajar daripada mbah Fudholi, karena mbah Fudholi lebih sering di Surabaya mengurus dagangan besi tuanya. Saya diajarinya mengeja bacaan Al-Quran, menirukan dan mengulangi. Lambat memang untuk mengerti tapi disini saya merasakan proses belajar bukan hanya membaca tetapi juga belajar mengenal kehidupan. Jika bak kamar mandi mbah kosong maka kami bergantian untuk mengisinya sampai penuh, karena disitu pula saya dan teman-teman mengambil air wudhu. Dari maghrib sampai isyak – kami belajar mengaji. Santri yang sudah lancar membaca membimbing santri yang masih mengeja. Hanya bila malam jum’at kegiatan mengaji diganti kegiatan belajar sholat dan menghafal surat-srat pendek dan beberapa doa.
Usai isyak saya belajar dan mengerjakan tugas untuk pelajaran esok pagi. Kegiatan belajar ini berlangsung sampai pukul sembilan. Istirahat dan sebelum subuh kembali bangun melakukan aktivitas pagi hari menjelang sekolah. Sebuah rutinitas yang berlangsung saban hari, sehingga bila hari sabtu tiba, bahagianya tak terkira. Hari itu hari bebas bagi saya untuk bermain dan melepaskan beban belajar. Sabtu siang sampai minggu sore adalah hari yang menyenangkan. Malam minggu adalah saat nonton acara televisi di rumah H. Mattahir atau di rumah H. Matsaid – kepala desa Temoran.
Pendidikan SMA bagi saya merupakan pengalaman yang paling berkesan. Karena saya memasuki masyarakat yang baru, yaitu kota Pamekasan. Sebuah kota yang menjadi impian saya sebelumnya untuk bisa bersekolah di kota ini. Saya bersekolah di SMA Negeri 1 Pamekasan setelah lulus tes tulis. Sekolah dengan bangunan bersejarah dan banyak hal yang saya timba di tempat ini.
Saya kos didekat sekolah di sebelah Masjid Al-Anshor – Sedandang – jalan KH. Agus Salim. Sebuah tempat kos yang sangat peduli dengan pendidikan penghuninya. Saya bersyukur bisa sampai di tempat ini karena selain sekolah dilibatkan pula dengan kegiatan keagamaan yang berlangsung di masjid. Tiga tahun terasa kesannya sangat mendalam disini saya menempuh pendidikan, bukan hanya mengembangkan intelektual tetapi juga mengembangkan akhlak secara praksis. Terimakasih kepada Bapak Ahmad Hadrawi (Alm) dan Nyai Hasiyah yang telah banyak membimbing saya dalam belajar di kehidupan ini. Mereka adalah guru yang mengajarkan dengan sabar bagaimana belajar yang sebenarnya. Mereka benar-benar sebagai penganti ayah dan ibu yang ada di kampung. Di tempat ini saya mengenal bagaimana semangat belajar dan berkompetisi. Bagaimana   menggantungkan cita-cita setinggi langit supaya tidak jatuh.
Kesenian adalah mata pelajaran yang paling aku suka. Bapak Helmy, terimakasih Bapak, telah memberikan kebebasan saya meuangkan kreativitas. Bapak telah menumbuhkan kepercayaan terhadap apa yang saya kerjakan. Saya pernah ingin mengikuti jejakmu tetapi saya masuk ke ruang kuliah biologi, sehingga kini jadi guru biologi. Namun kreativitas yang telah bapak pantik, kini terus menyala dalam diri.
Sekolah yang saya alami adalah dunia belajar yang sangat menarik. Matematika yang bersudut dan kaku selalu membuat tengkuk gemetar dengan soal-soal bidang dan ruang yang tumpah di papan. Saya hanya berani mengerjakan aritmatika dan aljabar. Bila pelajaran matematika berlangsung yang saya tunggu dentang bel berakhir.
Fisika. Vektor dan arah putaran baut itu lekat di jidat saya, karena ketika saya tidak bisa mengerjakan soal vektor sebatang kapur tulis menyentuh jidat menyuruh saya berpikir. Namun kebencian pada fisika ini kembali punah dengan rasa gembira saat bapak Purwedi Bambang Rusdianto (PBR) mengenalkan belajar fisika 24 jam. Sangat Menarik, dan saya menemukan fisika yang lebih mengasyikkan di tetatralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
Kimia. Ocatana, dietilmetana. Pusing saya dibuatnya saya ingat nomer atom. Ah, waktu-waktu yang sangat mendebarkan. Saya hanya tertarik dengan kimia lingkungan, sebab disinilah saya merasakan kebermanfaatan ilmu kimia yang saya rasakan jlimet menemukan aktualisasinya.
VOC ( Vereenigde Oostindische Compagnie) sebutan yang snagat lekat dnegan pelajaran sejarah. Ibu Martini yang cantik mengajarkan sejarah, mengenalkan sejarah dengan korporasi VOC yang menguasai wilayah Nusantara. Aku baru paham kemudian jika sejarah bukan hanya tahun dan tanggal peristiwa, namun sejarah adalah bagian dari kehidupan manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sejarah yang menempatkan peristiwa sebagai sebuah konteks yang dialogis dan memberikan banyak tafsir baghi setiap peminatnya.
Jangan suruh pidato di depan kelas, karena saya tak bisa mengatur irama pembicaraan. Saya hanya menghafal teks yang saya susun dan dibacakan kembali di depan kelas. Semua tegang,karena memang tak pernah mencoba berpidato di depan kelas. Saya menjelaskan rencana pertarungan Thomas Americo dalam memperebutkan sabuk kejuaraan OPBF. Thomas Americo merupakan petinju Indonesia perta yang menantang juara dunia kelas welter yunior WBC, Saoul Mamby di Jakarta pada tahun 1981.
Saya senang pelajaran PKK. Saya belajar membuat pola dan menjahit baju. Saya diajari memadu-madankan warna kostum yang serasi. Di sini saya mengenal sedikit tentang ilmu fashion. Fungsi gari vertikal dan horizontal yang ada pada kain. Warna netral dan warna kontras. Terimakasih ibu Siti hajar. Saya belajar membuat masakan dan menyajikannya. Kenangan yang sangat mengesankan.
Ada Uki (Achmad Marzuki) teman belajar yang sangat kritis, progressif, darinya saya kenal bagaimana belajar otodidak dan bertanggungjawab, berani dan tidak takut menghadapi tantangan. Ia belajar bahasa Inggris melalui siaran Radio Asutralia dan memperlancar coversation dengan menjadi guide amatir pada saat berlangsung kerapan sapi memperebutkan piala Presiden Republik Indonesia.
Orang-orang yang selalu saya kenang setiap memperingati Haria Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei. Kepada mereka saya banyak belajar dan kepada mereka saya banyak berterimakasih yang dengan tulus memberikan ilmunya dan menjadikannya saya seperti sekarang ini. Seorang Guru dan penulis.
                                                                                                                          Sumenep, 2 Mei 2015
                                                                                                                          Hidayat Raharja