Translate

Kamis, 26 April 2012

"Talken Koneng" Mantra Lelaki, Perempuan dan Kematian


Kemarin pagi aku mendapatkan buku dengan sampul warna coklat kekuningan. Cover yang molekdengan ilustrasi seseorang memakai jubah warna kuning. Buku sehimpunan puisi seorang kawan penyair  Alfaizin Sanasren dengan judul “Talken Koneng”. Buku dengan tebal 50 halaman ini dipenuhi dengan puisi-puisi mantra yang diangkat dan berangkat dari perjumpaanya dengan naskah-naskah mantra (Madura) pemberian leluhurnya.
Mantra adalah bahasa pertama yang muncul dalam tradisi masyarakat sebagaibahsa komunikasi paling sublime untuk berbagai kebutuhan komunikasi.Mantra yang diyakini sebagai penakluk buaya di riau,kemudian diangkat kembali oleh Sutardji Calzoum Bachri  ke dalam puisi mantra.Dalam realitas keragaman sukubangsa sebagai bagian dariperadaban bangsa ini,mantra  memiliki fungsi penyembuhan, kekebalan, sihir,kejantanan, perdagangan, pekasihan atau percintaan dan juga dalam hubungan kelamin.
Kata pertama adalah mantra., demikian ujar Sutardji Calzoum Bachri. Dalam kehidupan saat ini mantra terus menyihir kehidupan dalam berbagai bentuk aktualisasinya.Sehimpun puisi yang berjudul “Talken Koneng” adalah sebentuk reaktualisasi mantra Madura yang bermetamorfosis dan memberikan bentuk dan pengaruh lain dari muasalnya. Perkembangan makna dan fungsi yang luput dariperhatian kita ditengah serbuan mekanisasi industri yang melupakan kita pada esensi.
Talken Koneng”  awalnya adalah sebentuk sihir untuk memanggil kematian seseorang dengan aneka laku dan ritual yang dilakukan oleh penujum dengan puasa dan membuat boneka kain yang diikat dengan kai kafan dan ditusuk dengan paku, jarum,  pada bagian tubuh tertentu yang diinginkan. Paku-paku yang dihujamkan ke organ-organ vital dalam tubuh yang dipetakan pada sebuah boneka kain. Si penyihir akan memanggil-mangil nama korban sembari menghunjamkan paku membacakan mantra kematian.
Kengerian mantra kematian berbalik arah di tangan Alfaizin menjadi sebuah ritual musikalyang ritmik dan mengubah panggilan kematian jiwa pada kematian nafsu,:hum, hum, huuuuumma,/datang, datang, datanglah kepadaku/ asap purba kubakar di atas kekuningkangn tembaga/ tiga puluh tiga rerempahan pekuburan/ meradang-radang/legamsaga barabara/berkelokan/ memungut letup garammulutku berkutub/ huuummma,/ datanglah kepadaku/ aku tuntaskan wujudmu/ maut tubuhmu/maut nafsumu// (Talken Koneng, halaman 1)
Mengapa membunuh nafsu? Ya manusia lahan subur nafsu, birahi, serakah, ambisi jabatan,kekuasaan, dengan berbagai jalan dan cara dikerjakan. Nafsu serakah dengan berbagai siasat yang terus berkelit sebagaimana para pemimpin rakus yang penuh nafsu dan ambisi mempergunakan kesempatan yang ada. Video porno para anggota dewan adalah nafsu birahi khewan yang memang pantas untuk diamtikan. Nafsu kelelakian dan kehilangan harga diri kaum perempuan yang tak mampu menjaga harkat dan martabatnya.
Kaum perempuan sebagai kaum pemuja tubuh. Sebuah mantra semacam ”letrek”, “Susuk” yang menyungsang pandang para lelaki. JIka susuk itu ditaruh di pelupuk mata, maka siapa yang dipandang atau menatapnya akan jatuh cinta. Pun juga ketika kartu letrek itu dimainkan tak  ada lelaki yang bisa kembali pulang ke rumah atau keluarga. Dia akan tersesat dalam rumah tubuh perempuan yang menaklukkannya./ gurjem,pandang tubuhku/matamu silau kemilau/mengigau bila tak berucap/ diam kalangkabutan/ (ayat-ayat pemuja tubuh, halaman 15)
Sesungguhnya diantara sekian banyak mantra yang akan terus hidup dalam kehidupan adalah mantra percintaan. Mantra yang mencari aktualisasinya di berbagai jejaring media sosial dan media cetak. Sebagaimana pula mantra Percintaan dan kematian dalam Talken Koneng yang bermula dari sebuah catatan di facebook. Catatan yang dikirimkan kepada kawan-kawan yang kemudian dipilih dan dikumpulkan dalam buku.
Percintaan dan kematian dua sisi mata uang yang saling melapisi. Jika percintaan itu dilakukan dengan dilandasi nafsu dalam sebuah perselingkuhan maka lambat dan pasti akan membawanya pada “kematian”. JIka politisi akan mematikan karier politiknya.Jika pejabat akan jatuh dari singasana,mati jabatan yang diagungkannya. Jika tokoh masyarakat akan diasingkan dari tengah khalayaknya, “mati” wibawanya.
Apabila cinta itu dilakukan dengan tulus dalam sebuah pernikahan, akan mematikan nafsu badani dan syahwat ke dalam sebuah cinta yang tentram. Sebuah “talken” tidak lagi untuk takluk-menaklukan, melainkan berselagu dalam sebuah  nyanyian mantra kehidupan; cinta, lelaki, perempuan, pernikahan, nafsu, kematian dan keabadian.  Membaca buku ini sepertimebaca kelebatan masa silam yang menakutkan dan mendebarkan dalam sebuah lompatan ke masa kini yang penuh tegangan, canda, dan kenakalan-kenakalan dalam bahasa yang kadang sulit dimenegerti atau tak ditemukan dalam kamus. Tersebab, karena bahasa puisi lebih dekat ke dalam hati.*****(HR)


Tidak ada komentar: