Translate

Selasa, 03 April 2012

Sebungkus Sarcophagus di Pagi Hari

Pagi ini aku  bersiap untuk berangkat ke tempat mengajar, karena kebetulan hari ini aku tak ada jam mengajar sehinga berangkat dari rumah pukul 07.30. Saat berkemas suara dering handphone berunyi, ada sms masuk. SMS dari seorang kawan penyair yang tengah menjalani terapi penyembuhan dari serangan stroke. Aku buka sms-nya. Ah, kiriman  puisi yang cukup panjang. Barisan kata yang mengingatkanku pada pengirimnya. Seorang penyair naratif yang sangat produktif di tahun 70- sampai awal tahun 90-an. Karena terbenam dalam kesibukan kantor dan menjadi humas pemkab dia kemudian lebih banyak jadi penikmat dan pembaca yang baik.

Kenangan yang terus merambat pada suatu waktu ketika mendapat kabar dari seorang kawan yang lain bahwa sang penyair mengalami stroke dan di rawat di rumah sakit daerah. Aku mengunjunginya, ada nada resah dan gamang. Bagaimana kejadiannya, mas? Tanyaku. Dia bercerita panjang lebar riwayat sebelum kejaidan ketika dia tidak mampu menjaga pola makan sehat.

“Mas, usiamu tidak lagi muda, 55 tahun usia yang cukup matang kalau tak mau dikatakan tua.” Jawabku.

“Tapi bukan kartena makanan. Aku sakit karena beban pikiranku  memberat!”

“Maksud, Mas?!”

“Aku bulan depan akan memasuki pensiun. Apa yang harus aku lakukan kalau aku tak lagi ngantor. Semua akan berubah. Aku menajdi kesepian, sendiri, ditinggal teman-teman,” keluhnya.

“Kalau kau kesepian tulislah puisi untuk menumpahkan resahmu. Karena disitu duniamu.”

Beberapa hari kemudian dia mengirimiku humor tentang KPK dan Melinda Dee, lelucun mengenai masa pensiun atau seseakali mengirimiku beberapa informasi mengenai penegtahuan populer. Aku senang karena dia bisa menghilangkan kesepiannya. Dia bisa berceriota banyak tentang hidup dan kehidupan.

Pagi ini ia mengirimiku sebungkus “Sarcophagus” lewat SMS. Bungkusan puisi yang amat menyentuh dan aku bisa menikmatinya. Terkenang akan kelihaiannya dalam memilih dan mengolah kata dan meraciknya dengan sentuhan kepenyairannya yang tak diragukan lagi.

Sarcopagus : berapa lama aku disini/ keheningan membangun kesunyian yang abadi/tanpa gemuruh/ meski terasa nafas semesta deras mengalir dalam deru denyut nadiku/ meski aku seperti petapa asing dii lembah/angin setia mendesir  jejak berita leluhur/mereka mengabarkan kota dunia yang menjauh/ terbenam dalam kabut peradaban/berapa lama aku disini/waktu tak terhitung/ hanya lolong serigala menjertikan kematian demi kematian/ melapaskan roh meregang di jalan-jalan  hotel-hotel/rumah-rumah/lewat jendela yang terbuka/di halaman luas kanak-kanak tetap berlarian tanpa tahu orangtua pergi ke utara/ melesat ke negeri pekat kelam/ tak pernah kembali// (Arya Mustafa , Sumenep 4 April 2012 pukul 07:20:42

Aku tak meragukan kelihaian dalam mengolah kata yang menari-nari dalam imajinasinya. Juga aku tak ragu dengan kegelisahan sepinya yang menerkam  perlahan. Sebuah kegelisahan seseorang yang akan pergi ke arah utara dan meninggalkan anak-anaknya yang bermain di halaman tanpa pernah paham ketika orang yang dicintai pergi ke utara dan tak pernah kembali. Dunia riuh yang menjauh dan sayatan lolongan serigala yang memanggil kematian. Sunyi yang mencekam. Dan sunyi itu bisa datang di sembarang tempat di jalan, rumah di hotel.

Puisi yang mengingatkan hiruk pikuk dunia, sekaligus kesunyian yang mengintai di baliknya. Betapa sepi dan gelisah temanku. Aku hanya sempat mengucapkan selamat berkarya kembali. Aku yakin  dengan mengembalikan kebiasaan menulis yang pernah dilakukannya akan mampu mengurangi beban berat yang bergelantung dalam pikirannya. ***
Sumenep, 4 April 2012 09:46


Tidak ada komentar: