Translate

Jumat, 13 April 2012

Akselerasi Bukan Eksploitasi dan Komersialisasi


Kelas akseperasi merupakan salah satu program yang banyak menarik minat sekolah baik di tingkat SMP dan SMA. Beberapa sekolah menyelenggarakannya dengan melakukan seleksi terhadap peserta didik yang berminat dan memenuhi sarat. Diantaranya seleksi dilakukan terhadap nilai yang diperoleh selama satu semester dan diikuti dengan tes psikologi untukmelihat kesiapan mental peserta didik. Program akselerasi tersebut berlangsung selama empat semester. Maka, siswa yang mengikutinya akan mendapatkan jumlah jam yang lebih padat dibandingkan dengan kelas reguler. Sebuah program yang amat membantu bagi siswa yang memiliki kecakapan yang lebih dibandingkan dengan yang lain untuk menyelesaikan studi lebih cepat.
Namun pada suatu ketika guru yang mengajar di kelas akselerasi mengeluh karena peserta didik di kelas tersebut terasa sangat individualis dan kurang kerja.sama dengan anggota kelasnya. Bahkan di kelas tersebut mulai terbentuk kelompok-kelompok  kecil. Bahkan ketika ditanyakan oleh guru pengajar mengenai apa yang menjadi keluhannya? Rata-rata mereka mengatakan kurang atau hilangnya rasa kebersamaan ketika mereka bersama-sama dimasukkan ke dalam kelas akselerasi.
“Di kelas ini amat egois Bu. Kompetisinya sangat tinggi!”
“Tidak  ada lagi kebersaman bu,”keluh yang lain.
Keluhan itu kemudian di bawa ke rapat dewan guru. Dalam rapat muncul bermacam analisa dan saran dari para guru.
“Ini akibat kelas akselerasi IPA tidak mendapatkan mata pelajaran IPS, sehingga rasa sosialnya berkurang.”
Aku heran juga dengan guru-guru yang mementingkan dirinya dan menganggap mata pelajarannya paling penting dibandingkan yang lain. Anggapan bahwa hanya ilmu sosial yang bisa menumbuhkan kecakapan sosial anak.
Dalam kelas akselerasi tidak akan dapat dihindari terjadinya kompetisi antara siswa dan antar kelompok karena mereka semua menjadi orang yang terpilih dan ingin menunjukkan keberhasilannya. Namun, disinilah sebenarnya peran guru untuk menata dan mendampingi mereka belajar sehingga mampu seluruh aspek kecerdasan yang dimilikinya. Tidak selalu yang benama mata pelajaran IPA lalu mengabaikan nilai-nilai sosial yang harus ditumbuhkan dalam diri anak.
Pelajaran IPA dapat mempergunakan metode pembelajaran yang mengembangakn kecakapan sosial. Sambil belajar mereka berinteraksi dengan temannya yang lain. Belajar mengenal perbedaan, menghargai perbedaan pendapat, dan menyadari kelebihan dan kelemahan setiap orang.
Mungkin, barangkali karena program akselerasi itu menjadi klasikal, sementara kebutuhan setiap anak berbeda. Saya hanya teringat saat masih di bangku Sekolah Dasar beberapa tahun lampau. Di sekolah kami (SD Omben) saat dibina oleh bapak Moh.Yahya melaksanakan program akselerasi dengan layanan individual. Peserta didik yang duduk di kelas V dan memiliki kemampuan melebihi kecerdasan  peserta didik yang lain, maka oleh pembina kami anak tersebut akan dibina secara khusus bersama dengan siswa kelas VI yang akan mengikuti ujian akhir.Siswa Kelas V tersebut akan diikutkan Ujian Akhir bersama-sama dengan siswa kelas VI. Di pagi hari anak tersebut tetap berada di kelas V, sehingga si anak tetap berinteraksi dengan teman sekelasnya dan tidak merasakan sesuatu yang berbeda.
Cara rekrutment dan penyelenggaraan yang sangat sederhana, dengan melibatkan orangtua murid dalam penanganannya, meminta persetujuan dan dukungan orang tua peserta didik. Layanan dilakukan secara personal sehingga perkembangan peserta didik dan kemajuan belajarnya dapat  terpantau. Program yang murah dan hasilnya terbukti peserta didik yang pernah mengikuti program akselerasi tersebut, tetap berprestasi ketika memasuki jenjang pendidikan berimutnya. Kelak kemudian, mereka dapat diterima diperguruan tinggi yang berkualitas, di Universitas Airlangga, dan ITS.
Artinya dengan pengalaman masa lampau yang saya alami memberikan pelajaran bahwa akselerasi tidak harus dilakukan secara klasikal dan biaya mahal.Sebab,yang tampak kemudian adalah eksploitasi anak dan komersialisasi pendidikan, bukan layanan yang memberdayakan potensi anak secara positif  dan menghilangkan harkat kemanusiaan.*****(hr)

Tidak ada komentar: