Translate

Kamis, 14 Maret 2013

Kurikulum 2013: Pengembangan Metode dan Karakter

Guru SMA Negeri 1 Sumenep (Ki-Ka) : Dewi Istiwatie,M.Pd, Dra.Istiqimah, dan Dra.Yayuk Ribut SR
Oleh: Hidayat Raharja |Pendidik dan Pelaku Kebudayaan

Perubahan kurikulum adalah hal yang pasti, sebagai upaya untuk mengikuti perkembangan sains, teknologi dan seni serta tuntutan kebutuhan masyarakat. Akan diberlakukannya kurikulum 2013 di awal tahun pelajaran yang akan datang menimbulkan pendapat pro dan kontra, namun rupanya pemerintah (kementrian) berkukuh untuk tetap menyelenggarakannya. Keresahan para guru bukan tanpa sebab, karena banyak yang belum tahu perubahan apa saja dalam kurikulum.
Secara filosofis kurikulum 2013  berbasis kepada nilai-nilai luhur, nilai akademik,  kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Sementara perubahan kurikulum lebih berorientasi kepada pengembangan kompetensi.

Salah satu hal  yang menarik dalam perubahan kurikulum adalah  penyempurnaan metode  pembelajaran aktif berdasarkan nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing karakter bangsa. Begitu pentingkah metode pembelajaran? Bagaimana membangun karakter dari nilai budaya bangsa? Ragam metode pembelajaran adalah bentuk cara-cara penyampaian materi supaya efektif dan mudah dipahami oleh peserta didik. Metode pembelajaran yang berpusat kepada murid (active learning), dan populer disebut dengan cara  belajar siswa aktif. Pendekatan semacam ini sebenarnya telah dikenalkan semenjak kurikulum 1984, pendekatan pengajarannya berpusat pada siswa melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dan diarahkan pada perkembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Pilihan strategi dan metode pembelajaran sebagai upaya penganeka ragaman pembelajaran, sesuatu yang membutuhkan kemampuan berpikir analitis dan kritis. Berpikir analitis terhadap kondisi dan situasi peserta diidk dan fasilitas belajar yang tersedia di sekolah, sehingga secara kritis mampu menentukan materi dan metode yang tepat dan efektif dalam penyajian pembelajaran, dan menyenangkan bagi siswa yang tengah belajar. Tidak mudah menjadi pelayan (fasilitator) tanpa ada kesiapan dan kesungguhan untuk mengembangkan diri dan mengembangkan potensi pribadi siswa yang beragam.
Kerapkali keterbatasan fasilitas dijadikan sebagai alasan untuk menyajikan pembelajaran yang baik dan bermutu.Pada hal keterbatasan menyimpan potensi kreatif bagi yang mau berpikir anakitis dan kritis. Tidak sedikit kawan-kawan guru yang berada didaerah terpencil dengan fasilitas terbatas mampu memanfaatkan alam dan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar yang menyenangkan. Seorang kawan guru SMA yang sekolahnya berada di dekat hutan menjadikan hutan yang dipenuhi tanaman anggrek sebagai sumber belajar biologi mengenai keanekaragaman dan pengklasifikasian makhluk hidup. Seorang guru fisika yang mengajar di daerah pinggiran kota Sumenep dengan segala keterbatsannya mampu memanfaatkan benda di sekitar untuk melaksanakan pembelajaran secara efektif dan menyenangkan. Kertarikan peserta didik terhadappermainan peran dapat dijadikan sebagai salah stau pilihan cara belajar dengan metode Role Playing.
Tidak ada yang tidak mungkin bagi seorang guru untuk mengembangkan potensi diri dan potensi peserta didik sehingga berkembang dan lebih maju.Maka,upaya untuk melaksanakan kurikulum baru (2013) yang dicanangkan Kemenerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah hal yang lumrah untuk bisa memenuhi tuntutan perubahan yang berkembang di tengah masyarakat di di dunia global. Namun yang patut diperhatikan adalah upaya-upaya untuk mengembangkan keprofesian guru sebagai ujung tombak penyelenggara penerapan kurikulum di lapangan. Sebab, penggampangan terhadap urgensinya pengembangan ini akan bisa menghambat terhadap penyelenggaraan kurikulum 2013.
Mengubah sikap guru dalam hal pilihan metode dan strategi pembelajaran bukan hal mudah, sebab: (1) Guru di  sekolah, tidak sedikit yang sudah merasa nyaman dengan apa yang telah dilakukanya. Mereka jika dikenalkan dengan metode-metode pembelajaran mutakhir seringkalimenganggap ribet. Juga beranggapan yang penting nilai peserta didiknya bagus, metode tidak penting. Sikap seperti ini hanya menganggapsiswa sebagai obyek. Pada hal setiap peserta didik adalah sosok yang unik sehingga kebutuhan mereka berbeda, sehingga memerlukan cara metode yang berbeda. (2) Perubahan pola atau cara mengajar sehingga proses belajar berpusat kepada murid membutuhkan latihan atau kebiasaan sehingga dalam upaya pengenalan kepada guru bukan secara teoritis tetapi secara praktik. Terlalu sering penataran mau pun workshop mengenai pembelajaran kreatif dan menyenangkan,  namun semua masih berpijak kepada teoritis. Juga setiap pelatioah atau workshop jumlah pesertanya sampai ratusan orang.Jika demikian maka workshop itu adalah hal yang sia-sia, omong kosong akan mampu membekali guru sebagai peserta yang jumlahnya demikian banyak.(3) Seringkali ketika sampai di lapangan (sekolah) upaya yang dilakukan oleh guru untuk memperbaharui metode dan cara mengajanya tidak mendapatkan dukungan dari teman guru yang lain, sehingga membutuhkan kesabaran lebih untuk bisa meyakinkan guru-guru yang lain. (4) Tidak penghargaan dari sekolah terhadap guru yang berbuat lebih bagus daripada guru yang biasa-biasa saja. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, sebab kerja kreatif itu menuntut kesadaran sang guru untuk senantiasa mencari tantangan baru. Mereka yang selalu kelauar dari zona aman untuk mencari tantangan dan kesuksesan yang lain.
Jika guru sudah melakukan perubahan tidak sulit untuk mempengaruhi murid dalam cara belajar. Guru sebagai fasilitator akan mampu mengelola murid sesuai dengan kondisi dan latar belakang budaya. Artinya budaya lokal yang tumbuh dan berkembang di sekitar peserta didik dapat jadi pertimbangan dalam pengembangan pembelajaran. Mulai dari budaya yang ada disekitar lingkungan sekolah, keluarga atu pun masyarakat.
Pembentukan karakter berbudi pekertiluhur dan berakhlak mulia, sebagaimana tujuan ideal diamanatkan Undang-Undang Sisdiknas. Tujuan yang menjadi kewajiban dari setiap guru mata pelajaran untuk melakukan implementasi pembelajaran  yang mengembangkan karakter peserta didik. Sangat disayangkan ketika persoalan pengembangan karakter dan akhlak mulia peserta didik hanya ditudingkan kepada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaan (PKn) dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Jika bertolak dari Undang-Undang Sisdiknas,maka menjadi kewajiban setiap mata pelajaran untuk mengimplementasikannya.
Kearifan lokal merupakan salah satu sumber daya untuk membangun karakter peserta didik, baik dalam etika, estetika, maupun dalam hubungan sosial antar sesama manusia atau dengan lingkungannya. Hampir di setiap daerah ada kearifan yang perlu diaktualkan sehingga kemajuan dalam persaingan global tetap memiliki ciri lokalitas yang menjadi identitas kebangsaan. Guru kerap kali lupa bahwa membangun pengetahuan peserta didik secara konstruktif akan lebih bermakna sebab hal yang diperoleh dibangun dan dihubungkan dengan oengalaman nyata yang pernah di alami atau nyata di tengah kehdiupannya. Pada suatu kesempatan seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah madrasah Tsanawiyah membuat buku pegangan sendiri dengan mengambilosa kata dan benda-benda yang ada dilingkungannya sebagai bahan pengajarannya. Sebuah upaya untuk mengenalkan pesrta didik terhadap kosakata bahasa indoensia benda yang ada di lingkungannya. Persoalan-persoalan yang diambil adalah persoalan – persoalan lokal dan kemudian dihubungkan dengan persoalan yang lebih luas.
Tidak sedikit pula persoalan-persoalan lokal yang menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan pengetahuan. Sejarah masa lampau telah membuktikan bahwa pengetahuan dalam bidang pengobatan yang dilakukan oleh nenek moyang kita telah dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Maka tak ada salahnya jika pengobatan herbaltradisional tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber pengathuan dalam bidang kesehatan, misalnya. Menjadikan pengetahuan (kearifan) lokal sebagai sumber belajar bukan bermaksud kita kembali hidupke jaman dahulu,tetapi menjadikan pengathuan masa lampau tersbeut sebagai wawasan(pijakan) untuk diaktulisasikan pada saat ini dan dikembangkan untuk menghadapi tantangan masa depan.
Maka,tidak ada alasan bagi guru untuk mengimplementasikan dalam setiap mata pelajaran. Implementasi tersebut akan selalu berkait dengan perilaku guru sebagai pelaksana pembelajaran, artinya untuk menumbuhkan karakter  kepada peserta didik harus diawali dari karakter guru yang baik sehingga dapat meberikan tularan yang baik terhadap siswa. Persoalan pengembangan karakter adalah persoalan perilaku bukan persoalan teoritis yang bisa dituliskan bagus di lembaran kertas namun tercabik-cabik saat diimplementasikan dalam realitas kehidupan.
Sangat disayangkan ketika upaya-upaya pengembangan karakter peserta didik didengungkan di berbagai kesempatan di saat yang sama masih ada guru-guru yang berbuat cela dengan melakukan kekerasan fisik bahkan kekerasan seksaul terhadap murid yang seharusnya diayomi dan dibimbingnya.
Sudah saatnya guru bersiap untuk melakukan perubahan, baik perubahan kurikulum yang akan menjadi haluannya pada saat melakukan pembelajaran mau pun perubahan personal dan profesional sehingga bisa bertindak profesional dan memberikan manfaat bagi kemajuan pendidikan dan kemajuan bangsa. Perubahan yang mampu menyiapkan peserta didik untuk berani menghadapi tantangan hidup sesuai dengan zaman yang akan dihadapinya di waktu yang akan datang.
Perubahan kurikulum memberikan banyak harapan akan perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, meski pada kenyataannya ide bagus dan tujuan mulia tersebut kerap tersungkur di lapangan. Implementasi kurikulum akan bersintuhan langsung dengan guru-guru yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Apabila guru sebagai ujung tombak tidak memiliki kecakapan-kecakapan profesional sebagaimana yang dipersyaratkan maka tidak tertutup kemungkinan strategi dan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif  (CBSA) akan kembali terjeremus kepada plesetan Catat Buku Sampai Abis. Kenapa demikian? Semua berkenaan dengan kemampuan dan kemauan guru untuk mengembangkan diri baik dari sisi penguasaan materi sebagai syarat profesionalisme mau pun penguasaan paedagogik. Bukan hal yang mudah, ketika guru-guru yang ada di sekolah hanya menjadi sebagai pentransfer ilmu dan menganggap dirinya selalu lebih tahu daripada peserta didik. Guru belum bisa bertindak sebagai fasilitator yang melayani klien (peserta didik) untuk mengembangkan diri.

Tidak ada komentar: