Translate

Jumat, 04 Januari 2013

Pelajaran Menggambar,Apresiasi,dan Aktualisasi Diri

Perahu,Karya Hidayat Raharja, 1994.
Pelajaran menggambar adalah mata pelajaran yang amat menyenangkan bagiku. Aku merasa senang karena guru gambarku ketika masih Sekolah Dasar amat menghargai karya siswa apapu bentuknya.Aku mamahami kalau kegaiatan menggambar baginya bukan menjadikan anak-didiknya menjadi seorang pelukis atau semacamnya, tetapi menjadikannya sebuah pelajaran untuk mengeksplorasi keberanian mengungkapkan melalui media gambar. Setiap gambar baginya adalah bagus, sehingga tidak ada anak merasa takut untuk menggambar. Jadilah aneka macam gambar dengan anekamacam cerita.
Setelah selesai menggambar, guruku akan menyuruh setiap anak untuk menceritakan gambar yang telah dibuatnya. Suasana kelas jadi riuh dengan berbagai cerita,dan kadang ceritanya mengalahkan keindahan gambar yang telah dibuatnya. Jadilah aku senang menggambar, kadang “ngeblat“ gambar yang kusukai dengan cara mengunakan minyak tanah yang dioleskan kepermuakaan kertas sehingga tembus pandang dan gambar yang akan ditiru ditaruh di bawah kertas yang telah transparan.
Aku menyadari kalau pada saat itu kegiatan menggambar adalah kegiatan belajar yang benar-benar penuh dengan kegiatan kreatif dan rekreatif. Kegiatan kreatif, karena kami bersama teman-teman diajak untuk menggunakan (menaklukkan) bahan yang ada. Papan tulis bisa kami gunakan media menggambar secara bergantian. Kertas yang warnanya kekuningan dengan kualitas yang amat buruk produksi kertas “Letjes”. Pada saat itu merupakan media yang amat mewah. Kadang aku menggambar di permukaan tanah sembari bercerita mengenai apa yang aku gambar. Menggambar menjadi kegiatan rekretaif, karena yang dituntut bukan hasil bagus atau jelek, tetapi bagaimana aku dan teman-teman berproses dan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan yang telah dibuat.
Kadang aku dan teman-teman menirukan gambar yang ada lembaran kertas yang dijual di halaman sekolah.kertas bergambar petinju Mohammad Ali yang bertarung dengan Ken Norton.Kertas tersebut merekam gambar pertarungan selama dua belas ronde dan menjadi bahan mainan yang menarik bagi teman spermainanku karen masih sangat jarang televisi di kampungku.
Tak kalah menariknya ketika pelajaran menggambar tiba, guru kami sering menyuruh kami untuk menggambar di luar kelas.Gambar anak-anak yang tengah bermain di halaman sekolah, gambar penjual  makanan dan minuman yang ada di samping gedung sekolah, atau gambar perbukitan yang ada di sebelah selatan gedung sekolah dengan anekapohon buah yang memenuhi lereng bukit. Kalau menggambar pemandangan temanku Sawir, jagonya. Teapi kalau menceritakan hasil gambar, Raheman jagonya. Aku sendiri hanya senang menggambar, menirukan gambar yang sudah ada.
Ketika menggambar, aku seperti menemukan ruang baru untuk menembus batas kejenuhan dan menemukan ruang baru untuk menumpahkan segala yang mengganjal dalam pikiranku. Saking senangnya kadang smapai di rumah gambar-menggambar mengisi di antara waktu belajar. Karenanya, aku kadang dimarahi ayahku.
Aku bayangkan kelak akan menjadi pelukis. Tetapi, selalu dinasehati ayahku untuk tidak menjadi pelukis, karena pelukis hidupnya tak jelas. Ya, di lingkungan tempat aku tinggal tak ada pelukis. Kakekku melukis kaligrafi diatas kaca (lukisan kaca) hanya menjadikan aktivitas tersebut sebagai hobi untuk mengisi waktu luang di antara kesibukannya sebgai pegawai pengairan. Tetapi aku membayangkan, betapa enaknya menjadi pelukis, bebas mengekspresikan ide kedalam bentuk dan warna, memajang karyanya, ditonton orang, dikerubuti media massa dan di kenal orang. Keinginan itu selalu ada dan selalu menghentak jantungku sesekali waktu.
Keinginanku untuk bisa menggambar kian menggebu ketika melihat kepala sekolahku – Bapak Abdullah Fagi menggambar candi Brobudur dan Prambanan dengan mempergunakan alat gambar dan tinta hitam. Lukisan hitam-putih di atas kertas karton, kemudian dipigora dengan bilahan bambu dan dengan cantelan kawat digantung di dinding ruang kelas dijadikan media belajar sejarah.
Bila malam tiba usai belajar mengaji di langgar, aku dan teman-teman biasanya menggamabr di atas aspal jalan dengan mempergunakan  batu putih yang biasanya dijadikan bahan bangunan. Potongan batu tersebut dijadikan alat tulis untuk menggambar di sepanjang jalan.Waktu itu amat memungkinkan, karena belum ada penerangan listrik dan dilakukannya saat bulan terang di angkasa malam. Aku dan teman-teman mengambar anekamacam tulisan grafiti di antara lukisan yang dibuat di aspal jalan. Grafiti yang muncul hampir seragam, biasanya tulisan di jalan dijadikan olok-olok untuk teman yang lain. Waktu itu, umumnya anak laki danperempuan telah dijodohkan oleh orangtuanya sewaktu masih kanak-kanak. Maka jalanan menjadi media ungkap denga grafiti yang begitu menarik, karena tulisannya tidakfromalsehiongga menimbulkan estetika tertentu.”BLiroh BKL Muzakki”(salah satu contoh grafiti yang muncul di aspal jalan).BKL merupakan singkatan dari “bakallah” (Madura) artinya Tunangannya. Grafiti lainnya yang hadir adalah nama-nama yang mengidentifikasi kampung atau kelompok tertentu.
Peristiwa dan pengalaman macam itu menguatkan aku untuk bisa menggambar. Aku yakin dengan menggambar bisa menyampaikan sesuatu lewat bentuk dan warna. Meski, kurang berkenan bagi orangtuaku, diam-diam aku belajar menggambar sesuka hatiku. Namun lamunan untuk bisa menggambar dan menjadi pelukis buyar berantakan ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Sampang.
*****
Pelajaran Menggambar (Kesenian) di SMP Negeri 1 Sampang memberikan pengalaman baru bagi aku, karena gurunya berbeda dan metode mengajarnya berbeda. Seorang guru yang displin dan tegas kadang membuat aku takut, karena ketika masih di Sekolah Dasar pelajaran ini amat santai dan menyenangkan. Aku ingat betul diawali dari pelajaran menggambar bentuk benda tiga dimensi. Gambar yang menyenangkan bagiku karena aku bisa membuatnya meski tidak bagus. Di minggu-minggu berikutnya menggambar ornamen daun dan bunga dengan mempergunakan pensil. Namun ketika disuruh menggunakan warna dan pewarnanya ditentukan berupa ”Waterproof”, aku tak menguasainya. Warnanya berlepotan sehingga melebihi kontur dan  gambar menjadi rusak. Aku ulangi lagi membuat sket dari pensil di lembaran kertas gambar yang lain. Aku mewarnainya dengan sangat hati-hati supaya tidak melewati garis batas yang telah aku buat. Namun karena jenis “waterproof” kualitas jelek, maka yang muncul di permukaaan gambar seperti butiran tepung dengan warna pucat, meski aku coba memilih warna cerah.
            Habi, teman sebangkuku tak lebih bagus, mengalami nasib yang sama, gambarnya berlepotan dan warnanya meleleh melewati kontur pada ornamen yang dibuat. Dia buat gambar lagi sepertiku. Namun malang bagiku, ketika guru gambar memeriksa gambar yang aku buat, kepalaku kena jitak. Rupanya, guruku taksuka dengan warna norak. Aku pilih warna merah, hijau dan kuning. Warna yang kerap aku lihat di lingkunganku, bahkan dapat dikatakan warna tersebut warna favorit di daerahku. “Orang gunung turun kota” kata guruku. Namun aku tak risih meski sedikit jengkel, karena warna itulah yang selalu mencolok mataku, jadi pilihan utama ketika aku memilih warna. 
Aku jadi takut ketika pelajaran menggambar karena teringat dengan jitakan di kepala. Maka, setiap pelajaran mengambar yang paling aku rasakan adalah bagaimana secepatnya aku menyelsaikan gambar dan guruku tak memeriksanya. Kalau guruku memeriksanya, pasti dia akan tersenyum sinis dan keluar lagi ucapannya, warnanya norak. Aku menyerah, dan di akhir semester nilai pelajaran menggambar (kesenian) di buku rapor=4,5,yanilai mepat setengah (jaman segitu ada nilai tengahan).
Aku kecewa dengan nilai yang kuperoleh, tetapi apa boleh buat, aku sudah dicap tidak bisa menggambar. Aku lampiaskan rasa tidak puas dengan menggambar kesenanganku, gambar mickymouse atau menirukan gambar kartun yang ada di koran “Jawa Pos” langganan ayahku. Aku gambar karikatur Mario Kempes pesepakbola Argentina yang menjadi bintang lapangan hijau di piala dunia pada saat itu. Aku gambar wajah Slamet Rahardjo, Christin Hakim yang menjadi aktor dan aktris terbaik peraih pila citra Festival Film Indonesia (FFI)  saat itu. Apa pun tugasnya gambar itulah yang aku serahkan.Sudah dapat dipastikan nilaiyang kuperoleh takbergeser dari 4 dan 5.
Ayahku tidak marah,karena dia tahu kalau aku sudah berusaha.Bahkan,diamemotivasi aku untuk belajar menggambar potret atau pemandangan (lanskap).Tetapi aku hanya boleh latihan menggambar di hari minggu.
Saat sekolah di SMA, aku menemukan kembali keasyikan mengggambar. Aku sekolah di SMA Negeri 1 Pamekasan. Aku ingat benar,pak Suharto guru gambarku di sekolah.Beliau juga pelukis dan cukupdikenaldi kota Pamekasan.Beberapaposter dan baliho dipinggiran jalan adalah karyanya. Senangnya lagi, dia tidakmuluk-muluk dalam mengajar,tidak memaksa siswa untukmenjadi tukang gambar atau pelukis, tetapimengajari siswadengan melukis untuk bertanggungjawab dan menghargai karya seni. Cukupmenarik cara dia menanamkan apresiasi bagi siswanya. Setiap karya yang sudah dinilai dikembalikan lagi kepada siswa untuk disimpan, dan di akhir semester semua karya yang telah dikembalikan dikumpulkan kembali (harus lengkap). Apabila karya yang dikumpulkan kurang jumlahnya, maka akan dikurangi sebanyak jumlah kekurangan. Sebuah upaya untuk menamkan sikap bertanggungjawab dan menghargai karya seni. Dia pernah bilang bahwa penghargaan terhadap karya seni (atau lainnya) harus dimulai dari diri sendiri. Jika diri sendiri tidak bisa menghargai karya yang telah dihasilkan, bagaimana oranglain bisa menghargai. Pesan yang selalu aku ingat dalam mengapresiasi karya seni. Sayang beliau hanya mengajarku selama satu tahun.
Di tahun kedua,saat aku kelas 2 SMA, ada guru menggambar yang baru-Bapak Helmy menggantikan pak Harto karena dia guru pinjaman dari sebuah SMP di kota Pamekasan. Pak Helmy seorang guru muda yang tampan dan sangat akrab dengan murid. Disini aku menemukan kembali kebebasan kreatif dalam mengambar. Guru kreatif dalam bidang seni. Aku diajarinya mneggambar hias batikdi atas. Aku diajarinya mneggambar hias batikdi atas kertas dan kemudian permukaannnya dilapisi denganlilin supaya kedap air. Kami diajarinya bikinpatung dari sabun batangan dan juga dari batu bata.Hebatnyauntukmengapresiasikarya siswa, karya yang terilih akan dipamerkan  di akhir semester sebelum orangtua murid mengambil rapor.
Aku senang karena setiappenugasan meski bukan yang terbaik, karyaku terpilih untuk dimasukkan dalam materi pameran. Suatu ketika materi ajarnya menggambar sketsa, makasemua siswa disuruh keluar kelas dengan membawa perlengakapan buku gambar dan pensil. Semua siswa wajib keluar dan mencari obyek yang akan digambar di lingkungan sekolah. Setiapsiswa diperiksa perlengkapannya sebelumkeluar kelas.
Setelah enampuluh menit,siswa dimita kembali kedalam ruangan dan beberapasiswa diminta untuk menceritakan apa yang telah digambarnya diluar kelas. Dari sketsa kemudian dilanjutkan dnegan tugas rumah untuk mewarnai gambar yang telah dibuat.Sungguh menyenangkan dan aku semakin intens untuk melukis meski hanya di hari minggu atau senggang ketikatak ada ulangan. Dari sini ketertarikanku untuk menggambar kian menggebu, namun sayang aku dianjurkan orangtuaku untuk melanjutkan ke pendidikan Biologi bukan kependidikan seni rupa. Namun disini pula aku menemukan banyak hikmah sehingga kemudian aku bukan hanya senang menggambat tetapi juga senang menulis. (Hidayat Raharja).

Tidak ada komentar: