Translate

Selasa, 01 Februari 2011

VARIAN SASTRA


Oleh: Hidayat Raharja*

Sastra Indonesia adalah ragam karya yang sangat menarik dan unik. Menarik, karena hampir di setiap daerah dapat dipastikan bertumbuhan karya sastra yang mungkin tak dhiraukan oleh para pemerhati dan peneliti. Unik, karena dari situ dapat ditemukan perkembangan budaya dan pengetahuan yang melatarbelakangi. Keunikan dan kemenarikan karya tersebut dapat dilihat dari bahasa dan fungsi yang diperankannya.

Karya-karya mereka tergolong unik, karena dengan keterbatasan dan kesederhanaan mencoba mengungkapkan harapan, keinginan, dan pengalamannya. Tetapi tidak tertutup kemungkinan, karya tersebut terasa klise bagi orang lain. Tetapi setidaknya karya tersebut tersebar di lingkungannya untuk saling komunikasi dan mengapresiasi.

Pada suatu ketika, saat pulang ke kampung di daerah pinggiran kota Sampang, tepatnya di desa Omben - saya menemukan beberapa lembar undangan yang dicetak lalu kemudian diperbanyak dengan mesin fotokopi. Undangan tersebut sangat menarik perhatian, karena tidak lazim sebagaimana undangan yang ada di desa kelahiran saya.

Senja memerah di ufuk, menandakan waktu yang kian redup. Namun bersamaan dengan pancaran sinar surya yang kemerahan, aku mengakhiri petualangan. Rasa yang sangat bahagia, karena aku telah menemukan tempat berlabuh pada tambatan hati kekasih. Untuk merayakan akhir masa remajaku dalam pernikahan, maka aku mengundang sobat pada resepsi pernikahanku. Tiada rasa bahagia selain kehadiran sobat dalam pesta pernikahannku.......

Salah satu potongan kalimat dalam surat undangan yang saya temukan di tempat rental, di rumah adik saya, sebuah desa yang berjarak 13 km dari kota Sampang. Undangan ini sangat menarik, karena ada kreativitas berlangsung didalamnya. Upaya untuk membuat undangan yang berbeda dari lazimnya. Sebuah penanda bahwa di antara generasi muda yang ada di kampung kelahiran saya, mulai mengenal penggunaan kalimat yang berindah-indah dan bermetafor. Sebuah keadaan yang menguatkan adanya pertumbuhan sastra di kalangan anak muda di pinggiran kota. Tak ada komunitas. Namun, sangat mungkin mereka belajar dari televisi, radio, Internet, ataupun dari layanan selluler yang menawarkan kata-kata bijak, mutiara, dan semacamnya.

Karya mereka ini menjadi unik, karena dihasilkan di suatu wilayah yang sebenarnya bukanlah masyarakat yang peduli terhadap karya sastra. Juga, disitu tidak ada komunitas yang mencoba mengembangkan karya sastra. Tetapi karya mereka tumbuh dalam batas kepentingan dan kebutuhan untuk mengingat dan mengenang sebuah momentum. Mereka tak pernah peduli, apakah karyanya bagus atau jelek? Mereka tak mengharpkan pujian. Apakah karyamnya tergolong dalam karya sastra atau bukan? Mereka hanya mengharapkan kehadiran sahabat dan kerabat yang diundangnya.


Dari sisi bahasa, hampir dapat dipastikan bahwa mumnya anak-anak muda mempergunakan bahasa Indonesia sebagai komunikasinya. Atau sesekali mereka membaurkannya dengan mempergunakan bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi, kian menegaskan bahwa bahasa daerah kian terpinggirkan, hanya dipakai oleh golongan orangtua. Keterpinggiran ini, bisa dcermati dari sms yang dikirim antar mereka yang sebaya, dapat dipastikan mempergunakan Bahasa Indonesia. Pun teks yang ada dalam undangan resepsi pernikahan, semua mempergunakan bahasa Indonesia.
Pertama, Penggunaan bahasa Indonesia di pinggiran kota atau di pedesaan ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dalam pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai teks yang berindah-indah dan bermetafor. Terus terang kesan dalam teks sangat klise, tetapi ini menjadi penegas bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat. Cuma, yang membedakan dengan sastra Indonesia umumnya, mereka jarang tersentuh para pemerhati, peneliti, mau pun akademisi. Banyak dari kritikus dan pemerhati sastra lebih suka mempersoalkan dominansi kekuasaan dan politik sastra. Persetruan yang lebih mengarah kepada kekuasaan, pengaruh, dan semacamnya. Sementara akar budaya masyarakat kita, sastra yang berkembang di dalamnya adalah sastra lisan dengan anonim.

Kedua, sehubungan dengan fungsi. Mereka memanfaatkan sastra dalam fungsi praktisnya sebagai media komunikasi – mengundang sabat-kerabat dengan mempergunakan “kalimat indah” , dan mudah dipahami sesuai dengan fungsi sebagai informasi. Peran yang dijalankan semacam ini, cukup menarik, meski sebenarnya sebagai “Puisi” kering dengan pencitraan. Hal semacam ini disadari, karena bukan ditujukan untuk akademisi, sastrawan atau pemerhati sastra. Tetapi ini merupakan varian dari sastra lokal, berkembang di tengah masyarakat kaum muda, sebagai perkembangan dinamika dari kelisanan yang pernah mencapai kejayaannya di waktu lampau.

Dalam konteks pembaharuan atau penemuan baru, jelas apa yang dihasilkan mereka dalam kertas undangan undangan tersebut, tidak memenuhi. Namun, dalam konteks sebuah upaya kreatif dalam memberikan nilai fungsi bagi masyarakatnya dan sepantarannya, adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Bukankah sebuah penemuan baru itu tidak akan banyak ditemukan oleh banyak orang. Jalan penemuan adalah bentangan proses dan waktu. Maka, alangkah indahnya ketika sastra yang begitu diagungkan, disakralkan, dikembalikan ke dalam keseharian masyarakat kita. Sastra yang pernah tumbuh dalam aneka gurauan, pantun, maupun nyanynyian-nyanyian lirih sembari menidurkan si anak tersayang., dan menemukan aktualisasinya di saat sekarang.

Saya memandang bentuk dalam undangan tersebut sebagai sebuah varian dari teks sastra yang akan terus berkembang bentuknya di waktu yang akan datang, baik dari sisi pengucapan maupun format atau bentuknya. Bentuk yang sangat terbuka’ menjadi pengantar pada sampul surat yasin yang sering dijadikan bingkisan pada saat memperingati kematian seseorang. Atau bisa juga dijadikan pengantar yang diselipkan pada bingkisan kue ulang tahun, dan semacamnya.

Kadang, pengklasifikasian memunculkan diskriminasi tanpa pernah mengarifi realitas pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat. Ketika kita menginginkan sebagai bagian dari masayarakat global, bukan berarti membiarkan diri kita hanyut dalam gelontoran arus yang akan melenyapkan diri kita sendiri. Namun, bagaimana kita harus berenang di atasnya menuju ke dalam pergaulan yang lebih terbuka dan demokratis.
*terbit di radar surabaya 28 November 2010

Tidak ada komentar: