Translate

Kamis, 03 Februari 2011

KEMARAU YANG LAIN; DONGENG YANG TERSISA DI TENGAH KECAMUK SOSIAL

Oleh: Hidayat Raharja*

Cerpen sebagai cerita yang pendek, merupakan suatu yang menarik untuk disimak dan direnungkan. Di dalamnya kita menemukan sebuah dunia ideal yang diimpikan. Bahkan kadang menemukan dunia fakta yang tersebunyi dalam kenyataan. Meski sebuah cerpen adalah cerita yang bersifat fiksi, namun kadang di dalamnya tersesat realitas yang tak terungkap dalam dunia nyata.

Membaca sebuah cerpen, membaca sebuah konstruksi sosial masyarakat yang melatarbelakangi pengarang, untuk menyampaikan ide dan persoalan yang disandangnya. Konstruksi sosial dimana kreator tinggal, dan kemana dia menginginkan. Meski tak sepenuhnya diyakini cerpen dapat mengubah kehidupan sosialnya, tetapi sebagai teks, tak dapat diingkari kalau cerpen mengandung pesan yang akan dicerna dan direnungkan pembaca.

Hal yang sangat menarik, kala membaca cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi ‘Kemarau yang lain” Penerbit - Komunitas Peara - Sumenep - terdiri-dari 10 cerpen, seakan memasuki wilayah rawan tersembunyi, dan menyimpan gejolak serta pemberontakan sosiokultural. Sebuah wilayah sosial yang mulai terganggu oleh perubahan-perubahan yang memporak-porandakan kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya. Serbuan yang kemudian menggoyahkan posisi-posisi mapan di tengah masyarakat, dan gugatan terhadap relijiusitas yang mulai terkoyak oleh kapitalisasi dan industrialisasi. Goncangan sosial tersebunyi dalam “Amanah Hati” karya Yusro Shaleha, cukup menggelisahkan ketika, Zainab mengambil pilihan utnuk tidak menikah dan tak mengikuti tradisi yang ada di kampungnya. Sebuah cita untuk menegakkan peranw anita dalam masyarakat yang bukan saja sebagai obyek tetapi dapat juga berperan sebagai subyek dalam memajukan kaum perempuan sehingga tidak lagi menjadi amsyarakat kelas dua di antara kaum lelaki. Tekad untuk menjadi sosok perempuan yang mampu melakukan peruabahan di kampungnya, justru mendapat perlawanan dari kakeknya sendiri. Sebuah realitas tersembunyi di dalam masyarakat bangsa ini (khususnya di Madura). Bukan sesuatu yang gampang.

Bagaimana upacara kematian sudah menjadi seauatu yang tak lagi sakral, melainkan sesuatu yang memberatkan bagi yang mendapatkan musibah. Benarkah Kyai telah kehilangan keikhlasannya untuk membacakan doa bagi yang meninggal, melihat kondisi ekonomi yang bersangkutan. Benarkah masyarakat masyarakat melakukan doa tahlil, apabila did alamnya ada jamuan makan? Entahlah! Namun, inilah realitas fiksi yang dibangun dalam cerpen dalam upcara kematian “ Kemarau Yang Lain”. Sebuah pertanyaan yang seringkali dilupakan bahwa yang meninggal dunia menyisakan anak yatim, beban keluarga.

H. Untung” karya Insiyah Munif, adalah sebuah kisah yang mengkritik terhadap status Haji seseorang. Selama ini status Haji bagi orang Madura adalah sebuah simbol status yang membedakan dengan orang lain. Haji, hanya sekedar simbol, karena pada kenyataannya mereka tidak mampu menunjukkan kesalehan sosial atas gelar Haji yang disandangnya. Gugatan status juga muncul dalam cerpen “Sang Kiai dan Gadis Penakluk” yang mengisahkan kehidupan seorang Kyai dan anak seorang pelacur. Bahwa setiap Kiai selalu benar dan setiap pelacur dan keturunannya selalu buruk, adalah persoalan-persolan yang digugat oleh Henny Jufawni.

Di satu sisi mereka harus tunduk dan patuh pada Kyai namun pada lenyataannya anak seorang Kiai moralitasnya justru tak bisa dijadikan tauladan dalam masyaralat.
Masyarakat yang rajin shalat berjamah di masjid dersa ternyata tak mempunyai kepedulian sosial terhadap masyarakat sekitarnya. Suatu masyarakat yang mudah menghukum dan menghakimi seseorang tanpa pernah tahu latar belakang persoalan yang melatarinya.

Shalat bagi mereka hanya sekedar ritual yang dilepas (terlepas) dari lingkung sosialnya- terungkap dalam “Istisqa’ Tanpa Hujan” – Bintu Tahriroh. Dalam teks ini Tahriroh mencoba mengungkai persoalan yang berkelindan dalam kampungnya, seorang suami yang tidak mau mengikuti shalat Istisqa’. Sebuah sikap untuk menfgkrtiik sikap masyarakat dan kiai yang tak lagi utuh dalam bershalat. Mereka seperti memaksa tuhan untuk mengabulkan permohonannya, tetapi apa yang dianjurkan Tuhan banyak dilanggarnya.

Permasalahan sosial yang terus mendobrak diam-diam lewat “ Tanpa Identitas” karya Faridah Mahrus, ketika ulama lebih banyak melakukan menikah di bawah tangan (Sirri), daripada mengurus persoalan umat. Betapa banyak sarjana di pedesaan, mereka yang telah menyandang ahli namun tak bisa berbuat apa-apa terhadap masyarakatnya. Pendidikan seakan hanya memisahkan kepedulian terhadap orangtua (keluarga) dan masyarakatnya.

Sebuah dongeng kerapkali dihubungkan dengan kisah-kisah lama, pengantar tidur malam hari, atau mengisi waktu terang bulan di teras rumah dan di halaman. Namun dalam metamorfosisnya dongeng bergerak dalam berbagai teks dan visual. Kisah anak durhaka, takkan pernah usai dikisahkan, dongeng yang kan terus hidup sepanjang sejarah manusia. Bagaimana seorang Aira dengan kesombongan dan kecongkakan sebagai artis terkenal tak mau mengakui ibunya. Sebuah kisah klise yang uncul di berbagai tempat dan di berbagai waktu, dan pada akhirnya penyesalan akan muncul di kemudian hari, sebagaimana terungkap dalam “Jejak Terakhir” karya Insiyah Munif.

Sebuah teks yang cukup menarik ditilik dari pesan yang terkandung di dalam teks, terutama ketika mereka: berbicara mengenai lingkungan sosiokultural yang ditempatinya. Namun, ada beberapa hal yang amat mengganggu dalam cerpen ini.Ketergangguan yang disebabkan logika cerita mandeg karena kreator tak emnguasai persoalan sosial yang diangkatnya ke dalam teks – “Terjerat” karya Yusro Shaleha terasa sekali ketergesaan dan kedangkalan refrensial dan empirik mengenai aspek-aspek sosiologis kehidupan masyarakat metropolis.

Ada beberapa catatan terhadap kumpulan cerpen dalam “Kemarau yang Lain”.Pertama, secara tematik beberapa cerpen terasa menarik dalam mengangkat persoalan. Mereka mengangkat persoalan-persoalan sosiokultural yang selama ini tak tersentuh. Sehingga dalam hal ini, mereka memiliki keberanian utnuk berbeda dalam hal tema. Namun juga sebaliknya ketika mereka mengangkat persoalaa-persoalan di luar lingkung sosiokulturalnya, mereka sangat kedidiran, dan tak berhasil mengedepankan konflik secara menarik. Kedua, Plot, sangat lemah dan datar. Tak ada karakter tokoh yang kuat yang terbangun dalam teks. Barangkali karena pengalaman pertama bagi mereka dalam menggeluti dunia cerpen. Sehingga kalau dibandingkan dengan dongeng masa silam yang menjadi latar kultural kehidupan, mereka tak mampu mendongengkan ceritanya secara menarik dan memikat, sebagaimana dongeng yang “mampu” menidurkan pendengarnya. Ketiga, saya memiliki optimisme, bahwa inilah sebenarnya kekuatan sastra remaja di kalangan pesantren (juga santri) bergelut menekuni persoalan-persoalan sosial dan kehidupan, menjadikan manusia yang kritis dalam menghadapan tantangan dan gejolak sosial di waktu yang akan datang. Kalau mereka menyertai diri menjadi pembaca yang baik, maka tidak mustahil mereka akan menjadi bagian penentu masa depan cerpen Indonesia.

Bumi Sumekar Asri, 24 Desember 2010

Tidak ada komentar: