Translate

Selasa, 07 Juni 2011

BUWUN; Pulau Risau dalam Puisi Mardi Luhung

Oleh: Hidayat Raharja*
Buwun, konon adalah sebuah nama untuk pulau Bawean. Pulau yang ada di dekat Gresik. Banyak yang menyebut sebagai pulau perempuan, karena banyak para suamai merantau ke negeri seberang sebagai TKI di Malysia dan Singapura. Pulau yang unik, seperti pulau-pulau lainnya banyak ditinggal kaum lelaki, namun di dalamnya memendam keindahan dan kekayaan yang kerap luput dari perhatian Pemerintah setempat. Di tengah keluputan perhatiannya dalam mengangkat dan memberdayakan Bawean, justru penyair Mardi Luhung dipikatnya, sehingga melahirkan puisi yang terkumpul dalam buku puisi “Buwun”.

Bawean pulau yang ada dan dekat dengan kota Gresik, dan ditempuih dengan perjalanan laut sekitar 1-2 jam. Pulau yang banyak ditinggalkan lelakinya untuk bekerja ke tanah rantau. Oprang Bawean merantau ke Singapura dan Malysia dan di sana orang Bawean menyebut dirinya sebagai orang Boyan dengan Bahasa Boyan.

Buku puisi setebal 67 halaman ini yang edisi keduanya diterbitkan “Buku Bianglala” menuai Khatulistiwa Literary Award 2010 yang lalu, sangat unik dan menarik. Unik karena pengucapan Mardi Luhung yang sangat berbeda bahkan tak perduli sehingga dia bisa memasukkan apa saja ke dalamnya, setiap yang datang kepadanya. Keunikan karena begitu personal pengucapannya dengan idiom-idiom keseharian. Idiom cakapan yang kemudian masuk ke dalam tulisan. Puisi yang berdatangan ke hadapan Mardi Luhung setelah beberapa waktu mengunjungi Bawean selama dua hari.

Maka tak ayal jika dalam pusi-puisi yang terkumpul dalam buku ini akan banyak ditemukan pernak-pernik yang ada di pulau ini: Jhukung, Kuburan Panjang, Kelotok, Rusa, Pulau Menangis, Nasi Pandan, Kastoba, Komalsa, Gili, durung, Moko, dan sebagainya. Cerita dan legenda yang hidup di tengah masyarakjat dan hadir dalam puisi Mardi Luhung. Namun ketika hadir dalam puisi-puisinya Cerita dan Mitos serta bagian-bagian pulau itu tidak diam ,tetapi bergerak blingsatan dan menjadi gumpalan-gumpalan pecahan pulau-pulau lainnya yang ada di Indonesia. Pulau yang gelisah. Pulau yang resah. Kewgelisahan yang membuat penghuninya merasa memiliki tapi tak kuasa untuk menikmatinya.

.../memang pulau/ kita tak keliru. Tapi, karena terlalu cantik, maka/ banyak yang menyuntingnya. Dan banyak pula yang/ akan menukarnya dengan puisi atau kembang/ (Pulau, halaman 17). Pulau-pulau kita nan cantik adalah kekayaan yang tak pernah kita sadari. Bukan hanya bawean, tapi pulau-pulau yang kita miliki. Tidak sedikit pulau kita yang dikuasai atau diincar orang asing. Dari pemberitaan yang tersebar, dikabarkan sedikitnya 12 pulau terluar (terdepan) Indonesia di perbatasan sangat rentan dikusai atau diambil alih pihak asing. Jika tidak dilakukan antisipasi, maka tak tertutup kemungkinan 12 pulau tersebut akan lepas kepemilikannya dari tangan Pemerintah Indonesia. Kerentanan karena kurang diperhatikan pemerintah daerah setempat atau pun pemerintah pusat. Keindahan dan sumber kekayaannya adalah faktor pemikat untuk memilki dan menguasainya. Pada larik lainnya diutarakan:

Memang pulau kita tak keliru. Dan kita, kadang/ ada baiknya membuka seluruh daya peluklekuk. Dan/ memahami, jika esok ketengelaman itu tiba sudah,/ tak ada yang menyebut pulau itu sembarangan/(halaman 17). Suatu ajakan untuk membuka daya peluklekuk. Sutau pemberdayaan yang selama ini pulau dan orang-orangnya hanya sebagai obyek, sehingga mereka aseringkali memposisikan diri sebagai korban bukan subyek. Meski, katakan saja banyak dari poenduduknya yang bekerja sebagai tenaga kerja di berbagai negara. Tenaga kerja yang banyak emnyumbangkan devisa. Kondisi yang memicu pulau-pulau dalam kesatuan wilayah Indonesia untuk melpaskan diri dari NKRI. Kekhawaitran akan tenggelamnya nasib pulau dan orang-orangnya sehinga ia memiliki tetpai tak mampu menikmatinya.
Pulau yang telah menberinya tempat singgah, dan terbuka bagi setiap yang datang, yang Jawa, Madura, Melayu, China, dan aneka lainnya. Sebagaimana dalam kisah-kisah dan legenda dalam pulau Ini, akulturasi sebagai warisan dari masa silam yang terus berinteraksi menjadi sesuatu yang baru dalam keragaman negeri ini. Kisah yang mebangun dan mebentuk sejarah pelayaran, perniagaan, dan trasportasi di tanah air.

...Katanya:”dulu si naga sipit telah. Menitipkan jalur kapalnyadi situ.Tapi, sayang, malah tersesat./Menabrak karang.Menangis, jadi pulau! Ya,ya, Pulau Menangis/ dengan mata semakin sipit (Pecinan , 24)
Kampung China, ada hampir di setiap kota di negeri ini, sama halnya dengan keberadaan kampung Arab. Bahkan di pulau-pulau kecil yang ada di sekitar Sumenep pun ada keturunan China yang telah berakulturasi dengan masyarakat setempat. Sama halnya dengan keberadaan orang-orang keturunan China di Bawean, China yang berassimilasi dengan berbagai pendatang yang Melayu, yang Bugis, yang Jawa, Yang Arab, denga kehadirtan beberapa tokoh agama yang menyebarluaskan ajaran islam di pulau tersebut. Termasuk akulturasi bahasa. Yang kedengarannya seperti Madura bisa dimengertoi dan emngerti bahasa madura tetapi telah menjadi bahasa Boyan, bahas pembauran dengan berbagai masyarkat yang telkah menjadi masyarakat Bawean. Assimilasi yang ekmudian melahirkan kesetiaan, kesetiaan terhedap “pulau” yang mereka miliki, meski sering ditinggal lelakinya, namun atetap punya rindu untuk kembali. Untuk hilirmudik dan bersetia. Sebagaimana kesetian si suami kepada perempuannya atau sebaliknya. Maka:
Bapakmu berujar:”Ternyata, semalaman bundamu/ begitu luar biasa. Begitu telah membawa semaket/ kapal yang punya pintu tak terhitung. Yang/kamar-kamarnya begitu benderang. (Ketam, halaman 22)

Kesetioaan yang tetap membawa kegundahan, bisik-busuk, dan kecemasan, .. dan memang pantai masih tak bergeming. Tetapi rapat pada/keklabuan/ (Kuduk-Kuduk, halaman 20) Kekelabuan yang meresahkan, akan tersianya pulau –pulau ini yang terlupakan untuk diberdayakan. Datangnya kecemburuan atau keinginan untuk mekmisahkan diri , sesuatu ancaman yang sangat mensicaya, apabila d\tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Maka dengan tegas si aku lirik melihat jauh ke depan beratus tahun ke depan dlam “Buwun”:
Dan sekian ratus tahun ke depan. Lewat sebuah piknik yang/ sederhana. Ada si remaja menemukan telinga si tukang jukung itu di/ sebuah hutan. Dan ketika telinga itu dipasangkan ke telinganya, si remaja pun mendengar jeritan yang begitu lirih..../ dana da sebuah perkelahian yang tak pernah dimenangkan.(halaman 24)
Bukan sekarang tapi beratus tahun ke depan, di waktu yang akan datang. Kegelisahan yang memunculkan kelebatan-kelebatan pertarungan, perebutan yang tak pernah dimenangkan. Kegelisah atas keberadaan pulau-pulau kecil. Kegelisahan “Buwun” atau Bawean yang mewujudkan kegelisahjan pulau-pulau lain yang smaapi sekarang dibiarkan. Sebuah cerita baru yang akan melenyapkan kisah dan legenda masa lalu. Benarkah?!

Tidak ada komentar: