Translate

Selasa, 21 April 2015

Ayahku Guru dan Seorang Fotografer


"Ayah" -Hidayat Raharja
Saya hanya ingin Ayah sehat dan bisa berkisah lagi tentang masa lalu. Kisah yang menjadikannya kuat menghadapi berbagai tantangan yang ada. Kisah seorang guru Sekolah dasar berhadapan dengan masyarakat yang enggan  menyekolahkan anaknya. Setiap ahad didataginya perkampungan-perkampungan di seluruh desa bertamu kepada warga dan mengajak putra-putrinya disekolahkan di Sekolah Dasar. Ada yang senang hati menerima dan menyerahkan anaknya untuk dimasukkan sekolah. Namun tidak sedikit yang menolak, karena mereka berkeyakinan, sekolah hanya untuk kaum bangsawan dan ambtenar, sementara mereka hanya kaum tani dan akan tetap jadi petani atau buruh tani.
Ayah tak penah menyerah sesekali dia mendapatkan siswa kelas satu sampai delapan puluh siswa. Jumlah yang banyak sehingga harus dipisah dalam dua kelas. Keberhasilan yang menyenangkan walau sifatnya sementara. Sebab, seiring dengan waktu banyak di antara mereka yang berhenti di tengah jalan di bulan kedua atau ketiga. Mereka lebih suka ikut bapak atau ibunya ke ladang atau ke pasar. Tahun berikutnya mereka diajak lagi untuk bersekolah, awalnya senang bertemu dengan banyak teman, namun kemudian mereka kembali berhenti tak mau bersekolah.
Jika dicermati mereka hanya sekolah sampai kelas III atau kelas IV setelah bisa menulis dan berhitung mereka sudah merasa cukup untuk menimba ilmu sebagai bekal  hidup mereka bermasyarakat. Jika anakperempuan setelah mengalami menstruasi pertama, mereka dianggap telah dewasa dan berhenti sekolah untuk menikah. Bukan hal aneh, perkawinan usia dini merupakan hal yang lumrah. Sebab, jika anak gadis tidak segera menikah dianggap tidak laku dan akan menjadi pergunjingan di kampung.
Bagi anak laki-laki setelah menamatkan bangku Sekolah Dasar, dengan selembar iiazah tersebut mereka mendatangi kota Surabaya atau ke daerah lain untuk menjadi buruh pabrik. Ya,kota besar jadi magnet bagi mereka. Keramaian dan segala fasilitasnya menjadi daya tarik mereka untuk mendatangi meski tidak punya bekal keterampilan. Jadi penarik beca, kernet angkutan umum, pemilah logam di pengolahan besi tua,dan semacamnya merupakan sasaran pekerjaan yang mereka tuju.
Setiap lebaran mereka datang dengan aneka asesoris kota yang mereka bawa.Gaya bicara, berpakaian dan juga mode rambut menirukan orang kota. Meski, kadang terasa dan terlihat gerak tubuh yang berbeda. Banyak kisah yang mereka tuturkan selama berada di rantau. Kehidupan kota yang menakjubkan bagi mereka. Pergaulan kaum muda dan aneka hiburan yang memanjakan mata yang melihatnya. Mereka jadi magnet baru bagi anak-anak muda di kampung halaman. Daya tarik yang menggoda lainnya untuk mendatangi kota besar.
Ayah hanya menginginkan mereka menempuh pendidikan yang baik, sehingga mereka bisa mengubah nasibnya. Namun bagi mereka, bekerja dan menghasilkan uang adalah hal utama. Sekolah tak menjamin mendapatkan lapangan pekerjaan, jawab mereka ketika diajak berdialog.
                “ Orang menuntut ilmu, bersekolah itu wajib.  Apabila seseorang berilmu, memiliki pengetahuan, keahlian, maka dia berbeda derajatnya dengan orang yang tidak terdidik.” Jelas Ayah.
                Kadang saya tidak paham dengan apa yang dilakukan ayah. Dia mengorbankan  seluruh tenaganya untuk memajukan pendidikan di kampung.  Bagi anak-anak yang berbakat dan memiliki kecakapan  lebih di antara yang lain diberikan tambahan pelajaran sore hari secara gratis. Pengorbanan yang  membuat saya iri. Kadang  saya sebagai anaknya merasa kurang diperhatikan. Ini hanya perasaan saya. Sebab ketika memberikan tambahan pelajaran,saya sering diajak untuk menemani mereka.
                Dalam kehidupan bermasyarakat seringkali ayah mendampingi masyarakat mengurus persoalan-persoalan berhubungan tata pemerintahan. Sering saya melihat ayah membantu keluarga  yang mengurus uang pensiun bagi ahli waris yang ditinggalkan. Dan yang tak dapat kulupakan adalah keinginannya untuk  mengubah kebiasaan masyarakat menggunakan peralatan dapur dari bahan logam ke peralatan pecah belah seperti piring, cangkir, dan gelas dengan mengadakan arisan pecah belah yang dilotre setiap senin dan kamis. Uang hasil arisan sebelum dibelanjakan dipnjamkan kepada pedagang kecil di pasar, tanpa bunga.
                Dari sinilah pergaulan ayah semakin luas ke desa-desa sebelah. Dia merasa senang jika para pedagang yang meminjam modal usahanya terus berkembang. Banyaknya persaudaraan yang dimiliki,Ayah mengembangkan usaha dengan bisnis fotografi. Ya, ayah belajar fotografi pada temannya di kota Pamekasan, membeli kamera murahan dan mencucicetaknya ke Pamekasan. Pengalaman baru, karena keterampilan itu di kampung masih merupakan barang langka. Foto dengan kamera analog dan mempergunakan rol film merek Kodak. Satu rol berisi 36 gambar dengan warna black white. Foto yang mewah dan saat itu saya dan adik sering kali jadi model ayah untuk manfasihkan keterampilannya. Ayah orang yang pertama kali memperkenalkan fotografi di kecamatan Omben.
                Waktu-waktu yang sangat membahagiakan. Seringkali ayah diundang untuk memotret resepsi pernikahan dikampung-kampung yang jauh. Jika malam ayah mesti mengajak salah seorang kerabat untuk menemaninya dengan mengendarai sepeda onthel. Satu-satunya moda transportasi yang banyak digunakan di waktu itu. Pulang dari kondangan pasti  Ayah  akan banyak membawa oleh-oleh jajanan dan nasi. Jajanan yang akan sampai tetangga sebelah rumah karena banyak.
                Dari hasil pemotretan yang ayah lakukan, saya banyak tahu ragam pengantin di kampung-kampung yang jauh. Pakaiannya khas dengan warna norak dan kaca mata hitam. Ada yang ditandu dengan tandu berbentuk pesawat terbang pengantin diarak keliling kampung. Juga adapula yang diiringi dengan “Jaran Kenca’”.
                Ayah dikenal sebagai tukang foto Amatir yang memenuhi undangan dari kampung ke kampung sampai acara-acara resmi di kecamatan. Karena usaha makin maju, ayah kemudian membeli alat cetak foto hitam putih dena menjadikan sebagian kamar tidur sebagai kamar gelap untuk mencucui  dan mencetak foto. Sesekali saya melihat bekerja di ruang gelap yang diterangi dengan lampu dop warna merah. Warna cahaya yang aman bagi kertas foto supaya tidak gosong atau terbakar.
                Hal paling menyenangkan bagi saya adalah ketika ayah berbelanja perlengakapan fotografi ke kota Pamekasan. Aya kadang diajaknya serta, dan berkunjung ke teman ayah yang mengajari fotografi, pak Affandi. Pak Affandi ternyata memberikan ilmunya pada beberapa orang yang mau belajar fotografi. Mereka yang akan menjadikan fotografi sebagai sandaran hidupnya. Di antara murid-muridnya ada aturan tidak tertulir yang diterapkan pak Affandi mereka bisa buka usaha asal di tempat yang berbeda. Mereka tidak boleh bersaing di antara mereka.
                Usaha fotografi  dan arisan pecah belah berkembang  maju, dan kemudian ayah mengembangkan usaha foto berwarna. Jika hitam putih dicetak sendiri sedangkan kalau foto berwarna ayah mencetaknya di studio foto di kota Pamekasan. Ayah makin sering menghadiri undangan memotret resepsi pernikahan bagi keluarga tertentu yang ekonominya cukup mapan bisa pesan dua sampai tiga rol. Foto-foto penikahan yang sangat menarik dengan kostum dan dandanan yang sangat berbeda dengan keseharian.
                Saya ingin ayah sehat dan kembali berkisah masa lalu yang membangun kehidupan saya dan saudara-saudara saya saat ini. Diantar anakku yang laki-laki. Saya menuju terminal  Arya Wiraraja - Sumenep menumpang bis AKAS ekonomi jurusan Jember – Banyuwangi. Pukul 14.00 Bis keluar dari terminal. Di pertigaan kota seorang penumpang laki-laki naik Pak Haji Udin. Saya mengenalnya dan bertegur sapa menanyakan tujuan. Dia mau keBangkalan. 
                Bis  maju perlahan,  di perjalanan ada beberapapenumpang naik, dan kondektur mulai meminta uang ketika mau membayar,ternyata didahului pak Haji Udin. Uang yang saya keluarkan dimasukkan lagi ke dalam dompet. Udara gerah dan angin dari pintu depan cukupmenghilangkan rasa panas dipermukaan kulit. Rasa kantuk tak tertahan dan sya tertidur pulas dengan keringat membasahi wajah. Saya baru terbangun saat bis akan memasuki terminal Pamekasan.
Di terminal Pamekasan bis tidak berhenti lama, hanya beberapa menit menaikan penumpang, melaju lagi ke arah Sampang. Saya tuntaskan rasa kantuk dengan sesekali tertidur dan terbangun ketika bis melewati lobang jalan. Sekitar pukul 16.00 bis memasuki terminal Sampang. Saya bersiap turun dan makan siang di terminal di bakso Goyang Lidah . Semangkuk bakso, sepotong lontong dan segelas es jeruk.
Saya berjalan keluar terminal ke arah selatan menuju ke jembatan Glugur menunggu angkutan umum  jurusan Omben. Baru bersandar dipagar jembatan ,mobil jazz warna ungu menepi dan membukakan jendela.
“Omben,Pak?!” ajaknya
Saya bingung, karena saya tahu ini bukan mobil angkutan umum. Jendela dibuka dan pengemudinya dengan ramah mengjak saya naik.
“Ayo Pak temani, saya sendirian biar ada yang bisa diajak ngobrol. Dia membukakan pintu. Saya masuk dan dia membuka pembicaraan bahwa apabila berkendara sendirian dia sering mengajak orang lain yang searah tujuan.  Ternyata pengendara ini orang sangat menyenangkan.Bebrapamenit kemudian pembivcaraan menjadi akrab karena kebetulan dia bertugas sebagai penyalur adana bantuan dana dari Kemneterian Pendidikan dan Kebudayaan untuk komunitas seni budaya yang ada di Jawa Timur.
Dahiburahman dipanggil Dahib, begitu dia memperkenalkan diri. Tak terasa perjalanan sampai dipetigaan  jalan menuju karang penang dan kekanan ke arah Omben. Saya minta ijin untuk turun dan Mas Dahib melanjutkkan ke arah utara ke desa Talamba.
Saya hanya ingin Ayah sehat dan bisa berkisah lagi tentang masa lalu. Sampai di rumah saya lihat ayah tengah bermain catur olahraga kesukaannya ketika masih muda. (hidayat raharja)

Tidak ada komentar: