Translate

Rabu, 05 Juni 2013

Ladang Garam Girpapas dan Pusaran Ekonomi Kreatif

Oleh: Hidayat Raharja|Pendidik dan Pelaku Kebudayaan.
Kawasan ladang garam di Girpapas – Sumenep adalah kawasan yang banyak memproduksi garam di musim kemarau. Bertonton-garam menggunung di tempat penampungan (gudang) ada di sekitar tambak. Produksi garam rakyat yang memberikan sumber penghidupan bagi para pemilik dan pekerja ladang. Namun sayang perekonomian garam tidak pernah berpihak kepada para pekerja yang seumur hidupnya tetap akan menjadi kuli di ladang garam.
Kondisi perekonomian dari ladang garam kerap terganggu oleh cuaca dan juga besarnya impor garam dari luar negeri sehingga memperburuk kondisi harga garam rakyat. Produksi  sampai juli 2012 158.596 ton, garam rakyat masih dibeli Rp 450.000/ton, padahal  bila disesuaikan dengan keputusan pemerintah, harganya seharusnya Rp 750.000/ton. ( Minggu, 2 Desember 2012 SURYA Online).
Menjadi buruh ladang garam mendapatkan upah sebesar Rp 27.500 perhari dengan perhitungan Rp 825.000/30 hari. Sebuah peghasilan yang sangat minim untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup para pekerja. Kondisi yang rutin mereka lakukan karena tidak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika saja mereka hidup dengan jumlah anggota keluarga empat orang maka setiap kepala hanya mendapatkan penghasilan tidak lebih tujuh ribu rupiah per hari.
Maka, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja di ladang garam tidak bisa hanya bergantung kepada produksi garam. Menyikapi kondisi semacam ini harus ada pilihan lain yang bisa memberikan tambahan penghasilan bagi mereka. Jika ladang garam hanya dipandang sebagai lahan produksi garam, maka sepanjang waktu tidak akan ada pergeseran nasib para pekerja yang ada. Di sinilah peran ekonomi kreatif untuk memandang ladang garam sebagai wilayah lain yang bisa produktif selain sebagai penghasil garam.
Hamparan ladang yang membentang di sisi barat dan timur jalan, adalah sebuah hamparan jejak sejarah kejayaan di masa silam ketika garam rakyat mempu meberikan devisa bagi negara. Ketika daerah-daerah sekitar ladang dan pelabuhan menjadi pusat kesibukan dan keramaian ekonomi. Kini hanya meninggalkan bau lumpur dan amis yang menyebar di antara petak-petak yang menghitam.
Perkembangan teknologi dan informasi telah mengubah segalanya. Garam bukan lagi produksi yang mampu meningkatkan harkat dan martabat pekerjanya, ketika mereka sebagai buruh dengan upah yang rendah.
Film “Semesta Mendukung” atau “Mestakung” yang dibintangi Rivalena S Temat, di antaranya melakukan pengambilan gambar di lokasi perladangan garam yang ada di sekitar PT. Garam Sumenep. Pengangkatan lokasi ladang garam dengan kincir angin untuk memindahkan air. Sebuah panorama yang amat menarik, semula diharapkan mampu memberikan ekses terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Efek ekonomi hanya berpengaruh pada saat pengambilan gambar dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai figuran dan menjadikan ladang sebagai salah satu setting pengambilan gambar. Film “Mestakung” tak mampu mengangkat  budaya lokal sebagaimana film “Laskar Pelangi”.
Dijadikannya ladang garam sebagai salah satu obyek pengambilan gambar dalam”Mestakung” adalah sebuah realitas yang mendedahkan kepada penentu kebijakan di daerah, untuk melihat obyek ladang garam dari berbagai sisi dan sudut yang bisa memberikan dampak ekonomi bagi masyarakatnya. Eksotisme, dan keunikan yang ada di dalamnya adalah sumber pengembangan ekonomi kreatif yang perlu ditelaah dan dikembangkan.
Ladang garam adalah hamparan kisah sejarah dan manusianya dengan berbagai dinamika kehidupan yang menarik. Hamparan ladang ekonomi kreatif  yang patut dipikirkan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam perkembangan teknologi dan informasi, dan mengggeliatnya pusaran ekonomi kreatif yang mampu menghasilakan uang untuk meninkatkan kesejahteraan warga sekitar dalam pengelolaan yang melibatkan amsyarakat setempat untuk mengambil peran dan mengaktualisasikan diri dalam percaturan ekonomi kreatif. Tentu,  pemerintah daerah Sumenep dapat bertindak sebagai fasilitator sehingga masyarakat kaum pekerja atau buruh ladang garam menjadi berdaya.
Beranikah pemerintah daerah memasarkan jejak sejarah, eksotika, dan pengetahuan yang menghampar di seluas ladang dan kehidupan masyarakat yang bergerak dinamis sebagai penghasil ekonomi yang mampu meningkakan harkat dan martabat masyarakat setempat?

Tidak ada komentar: