Translate

Rabu, 13 Februari 2013

Perlawanan – dari Duniake-3; Pon-Minimalis diluar Kuasa Media

Perlawanan -1994- Karya Hidayat Raharja
Beberapa waktu yang lalu saya didatangi dua orang teman (Mahendra dan Amin Bashiri) membawa tiga eksemplar buku yang ternyata; 2 eksemplar Jurnal Pon-Minimalis,sebuah jurnal yang bermuatan silang budaya urban culture, globalisasi, dunia ke-3, gender, dan kampung-kampung hibrid. Satu eksemplar Kehadiran jurnal tersebut sangat menarik, karena keduanya lahir ditengah kuasa media kapital yang memborbardir informasi dan kebudayaan atas kepentingan ekonomi kapital.
Pon-Minimalis yang diterbitkan oleh Language Theatre mengambil jalan sebagairuang bagi budaya dan kampung hibrid,dunia ketiga, dan kultur urban. Sebuah pilihan yang amat menarik dengan jalur yang tak tersentuh ruang media massa komersial. Sebuah ruang kreatif dan kritis yang mewadahi hal-hal yang takmungkin ditemukan dalam surat kabar. Sebuah kelahiran yang tanpa takut menghadapi kenyataan onformasi dan ruang budaya yang tumpang tindih dan saling bertubrukan diantara persilangan yang selalu memposisikan pihakmenag dan kalah. Pilihan yang diambil Po-Minimalis adalah sebuah keberanian untuk melawan arus informasi yang sedemikian tertib (bahasa) dan topik dalam sebuah ruang yang longgar dengan bahasa hibrid dan topik urban yang selalu tersisihkan.
Ruang yang memberikan pembebasan dan alternatif untuk menandai detak-gelegak yang tak teralirkan dalam koran atau media massa komersial. Kesungguhan atas pilihan ini diawali dengan menghadirkan penulis-penulis dari luar daerah Madura, yang menadakan jurnal Pon-Minimalis melintasi wilayah geografis dan lokalitas. Edisi pertama tahun 2012 menghadirkan penulis tamu Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Mario F Lawi (Kupang), Dewi K Hidayat (Sidoarjo), Tony Lesmana (Jawa Barat). Pada edisi kedua (desember 2012); Irmansyah (Padang), Galah Denawa (Jawa Barat), Alek Subairi (Surabaya) dan Y Thendra BP. Sedangkan dari Sumenep; Amin Bashiri, Mahendra, Salamet, S(lam)et Wahedi, Muhammad Affan.
Gelegak itu tumpah dalam : Tor-ator (dari redaksi),esai,puisi,dan cerpen. Meski tampak benar apa yang dimaui oleh kehendak redaksi jurnal telah menunjukkan sebagai ruang “Urban Culture” dengan bahasa hibrid (madura-inggris-indonesia) yang bersejajar sebagai ejawantah keurbanan yang demikian longgar dan tanpa beban,sebagai ruang bisik-bisik sampai ruang serius untuk membedah atau menelaah. Adalah hal yang sangat menarik untuk menjadi bacaan pilihan yang mengkayakan pemahaman dunia ketiga, kampung urban,dan budaya urban. Dari sebuah perlawanan untuk menandai setiap peristiwa yang tak terungkap di ruang baca umum, ke dalam ruang baca yang ebih privat.
Kesungguhan ini ditandai dengan pilihan tulisan (esai khususnya) yang takmungkin ditemukan diruang media massa,sehingga menarik. Perlawaanan ini sendiri adalah sebuah kesungguhan yang serius dikerjakan oleh Pon-Minimalis dengan membenahi kemasan dan lay-out di terbitan yang ke-2. Keseriusan ini otomatis akan berhadapan dengan ruang-ruang media massa yang mengatur alur informasi. Juga jejaring sosial dengan aneka bentuknya yang demikian narsis dan masif.
Maka, pilihan berbeda ini menjadi ruang alternatif yang menyimpan kepalan-kepalan kemungkinan yang akan terlempar ke hadapan publik.Kepalan kebudayaan yang takterjamah oleh koran atau pun media massa komersial. Nilai inilah yang bisa menjadi bargaining bagi pembaca untuk menjadikan pilihan sehingga bisa melengkapi informasi yang meruah di media massa. Informasi yang tidak menjadi sampah di antara sampah infromasi yang berjatuhan dari ruang publik yang bersesakan dan saling bertubrukan.
Tawaran itu bisa berangkat dari kemasan yang mendakan dunia ketiga, dunia urban – tempat berbaurnya segala kemungkinan dan peradaban sehingga menjadi sebuah hibrid yang adaptif bisa bertumbuh di segala ruang dan cuaca. Di tangan orang-orang muda segala kemungkinan bisa menjadi mungkin. Kemustahilan bisa menjadi mungkin. Karena begitu banyak dari remahan dunia ketiga, kampung hibrid, budaya urban, gender, globalisasi, yang tak terjamah dan kemungkinan kita telah tergilas di dalamnya dalam sebuah rupa yang tanpadisadari telah terseret oleh geretan waktu yang berderit di engsel tubuh memutar jam biologis di antara tikaman peradaban yang berdarah dan bernanah. Waktu!
Sumenep, 2@13

Tidak ada komentar: