Translate

Selasa, 21 April 2015

Ayahku Guru dan Seorang Fotografer


"Ayah" -Hidayat Raharja
Saya hanya ingin Ayah sehat dan bisa berkisah lagi tentang masa lalu. Kisah yang menjadikannya kuat menghadapi berbagai tantangan yang ada. Kisah seorang guru Sekolah dasar berhadapan dengan masyarakat yang enggan  menyekolahkan anaknya. Setiap ahad didataginya perkampungan-perkampungan di seluruh desa bertamu kepada warga dan mengajak putra-putrinya disekolahkan di Sekolah Dasar. Ada yang senang hati menerima dan menyerahkan anaknya untuk dimasukkan sekolah. Namun tidak sedikit yang menolak, karena mereka berkeyakinan, sekolah hanya untuk kaum bangsawan dan ambtenar, sementara mereka hanya kaum tani dan akan tetap jadi petani atau buruh tani.
Ayah tak penah menyerah sesekali dia mendapatkan siswa kelas satu sampai delapan puluh siswa. Jumlah yang banyak sehingga harus dipisah dalam dua kelas. Keberhasilan yang menyenangkan walau sifatnya sementara. Sebab, seiring dengan waktu banyak di antara mereka yang berhenti di tengah jalan di bulan kedua atau ketiga. Mereka lebih suka ikut bapak atau ibunya ke ladang atau ke pasar. Tahun berikutnya mereka diajak lagi untuk bersekolah, awalnya senang bertemu dengan banyak teman, namun kemudian mereka kembali berhenti tak mau bersekolah.
Jika dicermati mereka hanya sekolah sampai kelas III atau kelas IV setelah bisa menulis dan berhitung mereka sudah merasa cukup untuk menimba ilmu sebagai bekal  hidup mereka bermasyarakat. Jika anakperempuan setelah mengalami menstruasi pertama, mereka dianggap telah dewasa dan berhenti sekolah untuk menikah. Bukan hal aneh, perkawinan usia dini merupakan hal yang lumrah. Sebab, jika anak gadis tidak segera menikah dianggap tidak laku dan akan menjadi pergunjingan di kampung.
Bagi anak laki-laki setelah menamatkan bangku Sekolah Dasar, dengan selembar iiazah tersebut mereka mendatangi kota Surabaya atau ke daerah lain untuk menjadi buruh pabrik. Ya,kota besar jadi magnet bagi mereka. Keramaian dan segala fasilitasnya menjadi daya tarik mereka untuk mendatangi meski tidak punya bekal keterampilan. Jadi penarik beca, kernet angkutan umum, pemilah logam di pengolahan besi tua,dan semacamnya merupakan sasaran pekerjaan yang mereka tuju.
Setiap lebaran mereka datang dengan aneka asesoris kota yang mereka bawa.Gaya bicara, berpakaian dan juga mode rambut menirukan orang kota. Meski, kadang terasa dan terlihat gerak tubuh yang berbeda. Banyak kisah yang mereka tuturkan selama berada di rantau. Kehidupan kota yang menakjubkan bagi mereka. Pergaulan kaum muda dan aneka hiburan yang memanjakan mata yang melihatnya. Mereka jadi magnet baru bagi anak-anak muda di kampung halaman. Daya tarik yang menggoda lainnya untuk mendatangi kota besar.
Ayah hanya menginginkan mereka menempuh pendidikan yang baik, sehingga mereka bisa mengubah nasibnya. Namun bagi mereka, bekerja dan menghasilkan uang adalah hal utama. Sekolah tak menjamin mendapatkan lapangan pekerjaan, jawab mereka ketika diajak berdialog.
                “ Orang menuntut ilmu, bersekolah itu wajib.  Apabila seseorang berilmu, memiliki pengetahuan, keahlian, maka dia berbeda derajatnya dengan orang yang tidak terdidik.” Jelas Ayah.
                Kadang saya tidak paham dengan apa yang dilakukan ayah. Dia mengorbankan  seluruh tenaganya untuk memajukan pendidikan di kampung.  Bagi anak-anak yang berbakat dan memiliki kecakapan  lebih di antara yang lain diberikan tambahan pelajaran sore hari secara gratis. Pengorbanan yang  membuat saya iri. Kadang  saya sebagai anaknya merasa kurang diperhatikan. Ini hanya perasaan saya. Sebab ketika memberikan tambahan pelajaran,saya sering diajak untuk menemani mereka.
                Dalam kehidupan bermasyarakat seringkali ayah mendampingi masyarakat mengurus persoalan-persoalan berhubungan tata pemerintahan. Sering saya melihat ayah membantu keluarga  yang mengurus uang pensiun bagi ahli waris yang ditinggalkan. Dan yang tak dapat kulupakan adalah keinginannya untuk  mengubah kebiasaan masyarakat menggunakan peralatan dapur dari bahan logam ke peralatan pecah belah seperti piring, cangkir, dan gelas dengan mengadakan arisan pecah belah yang dilotre setiap senin dan kamis. Uang hasil arisan sebelum dibelanjakan dipnjamkan kepada pedagang kecil di pasar, tanpa bunga.
                Dari sinilah pergaulan ayah semakin luas ke desa-desa sebelah. Dia merasa senang jika para pedagang yang meminjam modal usahanya terus berkembang. Banyaknya persaudaraan yang dimiliki,Ayah mengembangkan usaha dengan bisnis fotografi. Ya, ayah belajar fotografi pada temannya di kota Pamekasan, membeli kamera murahan dan mencucicetaknya ke Pamekasan. Pengalaman baru, karena keterampilan itu di kampung masih merupakan barang langka. Foto dengan kamera analog dan mempergunakan rol film merek Kodak. Satu rol berisi 36 gambar dengan warna black white. Foto yang mewah dan saat itu saya dan adik sering kali jadi model ayah untuk manfasihkan keterampilannya. Ayah orang yang pertama kali memperkenalkan fotografi di kecamatan Omben.
                Waktu-waktu yang sangat membahagiakan. Seringkali ayah diundang untuk memotret resepsi pernikahan dikampung-kampung yang jauh. Jika malam ayah mesti mengajak salah seorang kerabat untuk menemaninya dengan mengendarai sepeda onthel. Satu-satunya moda transportasi yang banyak digunakan di waktu itu. Pulang dari kondangan pasti  Ayah  akan banyak membawa oleh-oleh jajanan dan nasi. Jajanan yang akan sampai tetangga sebelah rumah karena banyak.
                Dari hasil pemotretan yang ayah lakukan, saya banyak tahu ragam pengantin di kampung-kampung yang jauh. Pakaiannya khas dengan warna norak dan kaca mata hitam. Ada yang ditandu dengan tandu berbentuk pesawat terbang pengantin diarak keliling kampung. Juga adapula yang diiringi dengan “Jaran Kenca’”.
                Ayah dikenal sebagai tukang foto Amatir yang memenuhi undangan dari kampung ke kampung sampai acara-acara resmi di kecamatan. Karena usaha makin maju, ayah kemudian membeli alat cetak foto hitam putih dena menjadikan sebagian kamar tidur sebagai kamar gelap untuk mencucui  dan mencetak foto. Sesekali saya melihat bekerja di ruang gelap yang diterangi dengan lampu dop warna merah. Warna cahaya yang aman bagi kertas foto supaya tidak gosong atau terbakar.
                Hal paling menyenangkan bagi saya adalah ketika ayah berbelanja perlengakapan fotografi ke kota Pamekasan. Aya kadang diajaknya serta, dan berkunjung ke teman ayah yang mengajari fotografi, pak Affandi. Pak Affandi ternyata memberikan ilmunya pada beberapa orang yang mau belajar fotografi. Mereka yang akan menjadikan fotografi sebagai sandaran hidupnya. Di antara murid-muridnya ada aturan tidak tertulir yang diterapkan pak Affandi mereka bisa buka usaha asal di tempat yang berbeda. Mereka tidak boleh bersaing di antara mereka.
                Usaha fotografi  dan arisan pecah belah berkembang  maju, dan kemudian ayah mengembangkan usaha foto berwarna. Jika hitam putih dicetak sendiri sedangkan kalau foto berwarna ayah mencetaknya di studio foto di kota Pamekasan. Ayah makin sering menghadiri undangan memotret resepsi pernikahan bagi keluarga tertentu yang ekonominya cukup mapan bisa pesan dua sampai tiga rol. Foto-foto penikahan yang sangat menarik dengan kostum dan dandanan yang sangat berbeda dengan keseharian.
                Saya ingin ayah sehat dan kembali berkisah masa lalu yang membangun kehidupan saya dan saudara-saudara saya saat ini. Diantar anakku yang laki-laki. Saya menuju terminal  Arya Wiraraja - Sumenep menumpang bis AKAS ekonomi jurusan Jember – Banyuwangi. Pukul 14.00 Bis keluar dari terminal. Di pertigaan kota seorang penumpang laki-laki naik Pak Haji Udin. Saya mengenalnya dan bertegur sapa menanyakan tujuan. Dia mau keBangkalan. 
                Bis  maju perlahan,  di perjalanan ada beberapapenumpang naik, dan kondektur mulai meminta uang ketika mau membayar,ternyata didahului pak Haji Udin. Uang yang saya keluarkan dimasukkan lagi ke dalam dompet. Udara gerah dan angin dari pintu depan cukupmenghilangkan rasa panas dipermukaan kulit. Rasa kantuk tak tertahan dan sya tertidur pulas dengan keringat membasahi wajah. Saya baru terbangun saat bis akan memasuki terminal Pamekasan.
Di terminal Pamekasan bis tidak berhenti lama, hanya beberapa menit menaikan penumpang, melaju lagi ke arah Sampang. Saya tuntaskan rasa kantuk dengan sesekali tertidur dan terbangun ketika bis melewati lobang jalan. Sekitar pukul 16.00 bis memasuki terminal Sampang. Saya bersiap turun dan makan siang di terminal di bakso Goyang Lidah . Semangkuk bakso, sepotong lontong dan segelas es jeruk.
Saya berjalan keluar terminal ke arah selatan menuju ke jembatan Glugur menunggu angkutan umum  jurusan Omben. Baru bersandar dipagar jembatan ,mobil jazz warna ungu menepi dan membukakan jendela.
“Omben,Pak?!” ajaknya
Saya bingung, karena saya tahu ini bukan mobil angkutan umum. Jendela dibuka dan pengemudinya dengan ramah mengjak saya naik.
“Ayo Pak temani, saya sendirian biar ada yang bisa diajak ngobrol. Dia membukakan pintu. Saya masuk dan dia membuka pembicaraan bahwa apabila berkendara sendirian dia sering mengajak orang lain yang searah tujuan.  Ternyata pengendara ini orang sangat menyenangkan.Bebrapamenit kemudian pembivcaraan menjadi akrab karena kebetulan dia bertugas sebagai penyalur adana bantuan dana dari Kemneterian Pendidikan dan Kebudayaan untuk komunitas seni budaya yang ada di Jawa Timur.
Dahiburahman dipanggil Dahib, begitu dia memperkenalkan diri. Tak terasa perjalanan sampai dipetigaan  jalan menuju karang penang dan kekanan ke arah Omben. Saya minta ijin untuk turun dan Mas Dahib melanjutkkan ke arah utara ke desa Talamba.
Saya hanya ingin Ayah sehat dan bisa berkisah lagi tentang masa lalu. Sampai di rumah saya lihat ayah tengah bermain catur olahraga kesukaannya ketika masih muda. (hidayat raharja)

Jumat, 17 April 2015

Kangean; Tak ada Lagi Kisah Hutan dan "Mano' Bukong"


(catatan perjalanan Arjasa Kalianget)

Dermaga II Arjasa - Foto Hidayat Raharja

                Matahari berkilau membentuk bayang-bayang memanjang ke arah barat. Bayangan yang mendahului  tubuh bangunan tempat saya bermalam. Pagi beranjak. Semua berkemas mengeluarkan tas dan koper yang dibawa. Semua bersiap dan mobil yang akan mengatar ke pelabuhan sudah siaga. Saat berpamitan kepada panitia yang aka mengantar saya dan teman ke pelabuhan, pak Sudarman mendekat dan menyerahkan sebuah bungkusan kecil seukuran botol 600 ml.
                “ Maaf Pak, sedikit oleh-oleh Madu Kangean Asli” ujarnya sambil menaruhnya ke dalam tas.
                “ Ah, kok repot Pak. Terimakasih pak Darman”
                Semua barang dimasukkan ke bagase mobil. Hanya tas ransel yang berisi notebook dan pakaian saya cangklong di puggung. Saya dan teman-teman berpamitan. Mobil perlahan bergerak ke arah selatan meninggalkan halaman kantor UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Arjasa. Kapalakan berangkat lebih pagi dari biasanya karena penumpang sangat banyak. Saya dan teman khawatir tidakmendapatkan tempat untuk duduk. Cuma melihat cuaca yang cerah perjalanan akanlanacar-ancar saja. Menurut mereka yang paham cuaca bulan November bulan yang tenang tak ada ombak besar dan badai di tengah laut.
                Mobil  bergerak lamban dan sisi kanan dan kiri adalah pemandangan yang sangat menarik. Lanskap yang mengingatkan pada kampung halaman dimasa kanak-kanak. Sesekali melintasi kebun kelapa dan bukit yang ditumbuhi pohon jati taklebat tapi cukup jelas kawasan yang dilewati dulunya adalah kawasan hutan. Konon, pula dari teman yang lama tinggal dan mengajar di Kangean, pulai ini juga dikenal sebagai habitat burung Beo dan orang sekitar menyebutnya mano’ Ko’ong. Burung ini  hampir punah bersamaan dengan  kristisnya hutan jati Kangean.
                Tak terasa mobil sudah bergerak ke arah dermaga dari kejauahn tampak keriuhan penumpang. Karcis saya pegang tujuh lebar karena ada tambahan satu orang bapak Atmojo kepala UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Kangean. Turun dari mobil di punggung tas tergendong dan di tangan kardus kecil berisi oleh-oleh dari panitia.
                Dari kejauhan terlihat kerumunan penumpang penuh sampai  ke geladak. Tak ada ruang untuk duduk, hanya tersisa ruang untuk berdiri berdempetan. Tak terbayangkan jika harus berdiri selama sembilan jam.

Di atas Kapal “Dharma Bakti Sumekar”
                “Kita ke ruang kemudi di sana kosong,” salah seorang dari teman kami memberikan usulan.
               Saya coba ke ruang atas tersebut. Namun ditolak oleh petugas. Ruang itu steril dan tak boleh ditempati penumpang. Ketika saya meinta ijin untuk menaruh laptop dan printer. Dia mengijinkan. Dua barang tersebut ditaruh dan kami turun lagi ke lantai dasar.
                Saya dan teman-teman didatangi salah petugas dan seorang pengangkut barang yang ada di kapal. “Tolong bapak-bapak dari Sumenep ini dicarikan tempat dalam ruangan tak apa-apa  tidak mendapatkan tempat tidur asal di dalam.”
                Engghi, Pak.” Jawabnya dan mengajak saya dan lainnya mengikutinya dari belakang. Dia sangat hafal dengan ruangan yang ada di kapal. Kami dibawa masuk ke sebuah ruang tak kebagian tempat tidur tapi lumayan mendapat tempat yang agak longgar sehingga bisa tiduran.
                Sirine kapal melengking panjang, deru mesin bergetar dan asap keluar dari ruang mesin.Kapal siap berangkat. Suara yang menggegar dan gerakan kapal agak kasar. Amat berbeda ketika dibandingkan dengan  menumpang “Bahari Ekspres”. Kapal memutar haluan dan perlahan meninggalkan pelabuhan. Sembilan jam perjalanan akan mengambang di atas laut.

Penjual Tikar
                Suara gaduh antara penjual  tikar menawarkan dagangannya Rp.5000 per lembar. Kelompok-kelompok orang yang bercengkerama. Suasana yang ramai sehingga tak terasa kalau tengah berada dalam kapal. Suara televisi beradu dengan suara kipas angin yang kasar berbaur dengan suara keras orang-orang bercerita bersaing dengan mesin kapal. Perjalanan yang menarik. Tkar-tikar kecil ini memiliki manfaat besar bagi penumpang yang tak kebagian kamar. TIkar didelar jadi alas duduk dilantai atau tidur menggelimpangkan tubuh sepanjang perjalanan untuk mnghilangkan rasa mual.
                Gelombang tak terlalu besar ini dirasakan dari gerakan lambung kapal yang mengikuti gerak gelombang. Sesekali hanya terasa agak besar, namun bberapadetikkemudian terasa tenang. Yang berada di dalam kamar dengan tambahan uang sewa bisa tiduran di atas dipan kecil yang muat untu dua orang. Ada yang capai terlelap ada pula yang bersila melingkar beberapa orang berbagi cerita sambil nyamil makanan kecil yang mereka bawa dan beli dikantin kapal. Di lantai tubuh bergelimpang taktentu arah, sehingga ketika berjalan ingin keluar kamar dapat dipastikan melangkahi tubuh bahkan kepala orang yang tengah tidur. Pemandangan yang lumrah dan merekamemaklumi menumpang di kelas ekonomi.
                Sejam perjalanan, teman-teman berkumpul di dekat pintu samping kamar mereka beli the botol dan makanan kecil semacam krispi sambil bercerita membuang waktu di atas kapal. Sebungkus kacang asin jadi penawar perjalanan saya sambil merebahkan tubuh di bawah kipas angin ukuran tanggung dengan suara kemeresak yang mengganggu liang telinga. Yakin takkan bisa tidur dengan suara gaduh. Namun tubuh butuh rebah untuk meluruskan kepenatan yang bergelayut di punggung.
Loket di Pelabuhan Arjasa


Tubuh-Tubuh Bergelimpangan
                Rasa tak tertahan di bawah perut, kantung kemih telah penuh dengan cairan ingin buang air kecil. Saya keluar lewat pintu samping lorong sisi kapal yang penuh dengan orang-orang berselonjor memandang ke arah laut. Namun saat tiba di ruangan terbuka di bagian belakang kapal, mata saya terpaku. Gelimpangan tubuh tak tentu arah dan tak ada jalan untuk menuju ke kamar kecil. Saya harus berhati-hati  menjejakkan langkah di sisi tubuh yang rebah melangkahi tubuh mereka. Beberapalagi berdiri di geladak menatap hamparan laut yang luas dengan gelombang biru yang berpecahan.  Usai dari kamar kecil saya mencoba berdiri di geladak di antara beberapaorang yang mencoba membuang kejenuhan ke biru laut mebentang. 
Suasana di geladak

                Di belakang pulau kangean terlihat samar makin samar dan menghilang di hadapan kambangan pulau Raas dan Sapudi terlihat samar. Suara ombak beresiur erbaur siut angin menerpa wajah. Angin kering bergaram terasa lekat di wajah. Angin yang sedikit mengurangi rasa panas ketika berada dalam ruangan kapal. Memandang ke kekauhan air laut terlihat hitam pekat menandakan kedalamannya. Laut lepas. Ke depan laut. Ke samping laut. Ke belakang laut.
                Matahari berpantulan dari wajah laut yang bergerak-gerak. Kilauan perak di atas muka laut yang biru kehitaman. Laut yang jerbih karena tak terlihat kambangan sampah sepanjang perjalanan. Buih-buih tersisih putih bersih, seputih garam yang digarap para petani garam. Kian lamamatahari kian turun dan redup berwarna kekuningan. Matahari runduk dan sore mulai meringkuk. Suasana yang nyaman dipandang. Beberapa orang berdiri di tepian menghadap ke laut  menaruh kedua lengannya di jendela kapal yang terbuka. Matahari  yang lembut dan air laut yang biru cerah di sore yang akan rebah. Di sisi kanan pandangan sebuah onggokan pulau yang hijau mirip tubuh paus yang tengah mengambang.

Poteran, Paus yang Terdampar
 
Menatap dari Jendela
                “Pulau Poteran,” ujar salah seorang lelaki kepada teman yang ada di sebelahnya. Pulau itu cantikmirip tubuh ikan paus yang tengah  berenang di permukaan laut. Punggung pulau yang miripdengan punggung ikan mengingatkan petualangan Sinbad si Pelaut. Satu dua terliaht atap rumah penduduk yang berwarna kemerahan ditimpa cahaya sore. Pandangan yang selalu memabuat takjub,Kapal serasa mengitari tubuh paus yang tengah melepaskan punggungnya di permukaan air.
                Seorang perempuan mendekap seorang anaklelakinya yang masih balita mengahdap ke pulau Poteran. Saya perhatikan pandangannya lepas ke sekujur punggung pulau yang berwarna hijau redup seiring makin surutnya sinar matahari. Pandangan mulai remang. Satu-dua rumah tampak menyala. Pulau itu berwarna hitam saat matahari lenyap ditelan bumi. Bayangan hitam yang semkain pekat diiringi dengan lenguh orang-orang yang kecapaian. 
 
Merangkul Anak Menatap Pulau Poteran
                Pelabuhan kalianget di hadapan terlihat amat dekat, namun jauh ditangkap. Masih sekitar satu jam lagiperjalanan akan sampai ke pelabuhan Kalianget. Lampu kapal mulai menyala dan rumah-rumah penduduk di pulan poteran terilah memantulkan cahaya lampu dari dalam rumah. Rumah-rumah itu seperti mengintipkapal dan mengucapkan selamat jalan makin lama makin jauh dari pandang dan hilang dari  tatapan. Perampuan itu masih bertahan dengan  mendekap  anaknnya menataplaut yang mulai gelap.
Terminal Pelabuhan Kalianget

                Suara mesin makin cepat dan kalianget makin dekat. Gerak kapal makin kencang dan emmautar haluan. Orang-orag berkemas bersiap untuk meninggalkan kapal. Lampu pelabuhan benderang dan kerumunan orang menunggu di dermaga menunggu kerabat keluarag dan sahabat yang akan mendarat. Sirine kapal nyaring terdengar dan lampu sorotkapal mmenyala benderang menerangi dermaga tempat bersandar. Saya keluar dari lambung kapal dengan ransel di punggung dan kardus di tentengan. Lampu-lampu menyala dan suara ramai pengojek dan mobil angkutan umum menawarkan tumpangan. Magrib telah lewat isyak merambat.
Sumenep,  7-9  November 2013 (Hidayat Raharja)

Kangean; Tanah Kenangan

SDN PAseraman I - Arjasa


Terkenang Kampung Halaman
                Sepanjang perjalanan aroma desa dan kampung di waktu kecil  (bagai melintasi daerah kelahiranku di Omben- Sampang di waktu lampau). Aroma kenangan kembali bangkit dari memori.  Saya seperti melewati  jalan dan kampung-kampung kelahiran di tahun 80-an. Pandangan yang mengesankan bahwa daerah ini masih belum tersentuh industrialisasi. Masyarakat masih utuh dengan berbagai kebiasaan yang terlihat di dalam kehidupan mereka.
                Jalanan berlobang bertebaran di beberapa tempat sehingga terasa lebih lancar lewat laut yang baru dilalui. Sekitar 15-20 menit mobil yang menjemput kami sampai di suatu halaman kantor “ Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Arjasa “. Sebelah kiri tempat pengianapan dan sebelahnya kantor  UPT Dinas Pendidikan. Di tempat inilah kami berenam akan bermalam selama tiga hari untuk melakukan wokrshop Penilaian Kinerja Guru bagi kawan-kawan guru di Sekolah Dasar. Tempat penginapan yang mulanya adalah rumah dinas Camat Arjasa. Namun kemudian dialih fungsikan sebagai rumah dinas kepala UPT Dinas Pendidikan kecamatan Arjasa. Sebuah banguan berukuran  sekitar 6 X 9 Meter dengan tiga ruangan kamar dan sebuah ruang tamu yang bergabung dengan ruang kelauarga.  Saya kebagian kamar di bagian paling belakang dengan berukuran 3 X 3 meter dengan jendela I arah utara. Di bagian belakang bangunan ada ruang dapur dan kamar mandi dengan bak mandi yang berukuran besar.
                Saya masuk ke kamar untuk menaruh tas, dan bersiap siang hari nanti usai shalat dzuhur untuk menghadiri pembukaan workshop PKG dan PKB. Saya kebagian tugas mengisi materi mengenai Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Usai menaruh tas, saya mengambil handuk dan perlengkapan mandi. Kamar mandi cukup besar dengan air yang jernih dan tawar. Air segar mengguyur badan menghilangkan bau lekat angin laut yang menempel di kulit.
                Usai mandi istirahat sambil ngobrol di ruang tamu membagi jadwal kegiatan yang akan kami lakukan. Ternyata kegiatan hanya dilakukan siang hari, karena di malam hari kesulitan penerangan di sekolah yang ditempati pelaksanaan workshop tenaga listriknya kurang memadai. Maka, diputuskan kegiatan workshop akan dilanjutkan esok pagi sampai sore hari.
                Di meja ruang makan telah disiapkan makan siang menu lalapan ayam panggang.  Sama seperti di kota di daerah ini juga banyak penjual makanan. Rupanya sajian makan siang kali ini juga dibelikan oleh tuan rumah,sebab semuanya dikemas dalam kotak steroform. Makan yang nikmat, sebab pas dengan perut yang tengah kosong. Jeruk manis menjadi penutup yang menyegarkan.
Sebuah mobil Avanza siap di halaman. Mobil yang akan mengantar kami dalam kegiatan di Kangean selama tiga hari.  Saya dan teman yang lain bersiap berangkat menuju ke tempat workshop pesertanya dari kecamatan Arjasa dan Kangayan (Pulau kanean) dan guru-guru dari pulau Sapeken dua jam perjalanan dari Kangean dengan menggunakan perahyu nelayan, satu-satunya angkutan yang melayani jalur Ajasa – Sapeken.
Mobil Antar Jemput

                Melewati jalanan menuju lokasi  memori saya bangkit teringat kampung halaman beberapa puluh tahun silam. Tanah  kelahiran tempat saya dilahirkan. Suasana lanskap dan penghuninya, jalanan banyak yang belum beraspal dan sempit, sehingga kalau berpapasan dengan mobil lain salah satu harus mengalah mencari lahan kosong untuk memberi kesempatan yang lain atau bahkan memasuki pekaranagn rumah penduduk. Jalanan yang menyenangkan karena seluruh memori masa lampau kembali bangkit. Mobil bergerak menuju jalan kecil yang membelah kampung di kanan-kiri baliho berukuran besar banyak bertebaran memampang foto para calon legistlatif yang akan memperebutkan kursi DPRD juga DPR RI. Wajah yang bersih, gagah, tampan dan tampak berwibawa sebuah produk olahan photoshop sehingga wajah mereka layak bintang.
                Melewati jalanan Kalinganyar  yang berdebu dan beberapa ruas jalannya rusak menunggu perbaikan, akhirnya saya dan kawan-kawan sampai disebuah lokasi sekolah yang halamannya sangat luas bangunannya terlihat sejuk dan di halaman depan pohon asam yang rindang seperti menatap setiap ruang kelas yang berjajar. SDN Paseraman I.  Bangunan sekolah induk yang terlihat bersih dan sejuk terlihat dari luar.
                Suara mesin genset nyaring melengking menandai acara akan segera dimulai. Sekitar seratusan lebih guru memenuhi ruangan. Mereka adalah utusan dari setiap sekolah yang ada di wilayah Kangean dan Sapeken. Guru-guru yang telah banyakmemberikan pengorbanan untuk mengabdikan diri mendidik anak-anak bangsa yang ada di kepulauan. Saya katakan pengorbanan besar, karena beberapa di antara mereka untuk mencapai lokasi sekolah harus berjalan kaki selama 2 sampai 3 jam. Jika musim hujan mereka harus bertarung dengan lumpur tebal yang terhampar di sepanjang jalan. Bila musim kemarau tiba mereka bertarung dengan terik matahari di sepanjang jalan gersang berbatu karang.
                Pembukaan dilakukan oleh kepala UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Arjasa – Bapak Drs Armojo,dan dilanjutkan dengan sesi materi yaitu mengenai kebijakan umum Dinas Pendidikan serta dilanjutkan dengan materi Penilaian Kinerja Guru (PKG). Susana jadi agak riuh ketika mereka mengetahui informasi mengenai aturan penilaian kinerja guru dan pengajuan kenaikan pangkat. Mereka merasa sulit untuk bisa memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Namun mereka harus menerima karena merupakan kewajiban yang harus dipatuhi. Mereka datang memenuhi panggilan sebab sebagian besar dari mereka sudah berumur karena memang persyaratan untuk menjadi penilai PKG mereka adalah guru senior di sekolah.
                Pukul setengah lima sore, kegiatan workshop dihentikan. Beberapa kawan guru masih duduk ngobrol bersama. Namun saya dikejutkan dengan salah seorang guru yang mendekat dan bersalaman menyebut nama saya setengah bertanya,;
                ”Pak Hidayat?!”
                Engghi!” jawab saya menggunakan bahas  Madura halus.
                “Maaf pak, jangan pakai bahasa halus. Saya Sudarman murid bapak ketika SMA tahun 90-an.”  Dia mengambil duduk di dekat saya.
                Kami kemudian banyak ngobrol masa lalu. Masa-masa tahun 90-an di Sumenep saat dia masih SMA. Ditanyakan nya beberapa orang guru yang pernah mengajarnya. Sebagian ada yang sudah pensiun dan kembali ke tanah Jawa dan sebagian lagi telah berpulang keharibaan Ilahi. Kami ngobrol panjang lebar,dan dia menceritakan kalau sudah menjadi Kepala Sekolah  Dasar yang saat ini ditempati wokrshop. Dia mengajak saya dan kawan pemateri yang lain besok malam untuk makan malam di rumahnya. Saya berjanji akan mendatanginya jika teman yang lain juga berkenan.
Saya mohon pamit karena mobil antar jemput sudah datang dan dia kembali mengingatkan untuk makan malam bersama besok malam. Saya tinggalkan halaman sekolah yang lapang bersamasinar matahari yang condong ke barat dengan warna kuning keemasan. Cahaya yang menimbulkan bayang-bayang pohon di sore hari. Di Mobil saya hanya bertiga sebab teman yang lain ada yang dibonceng sepeda motor oleh panitia setempat dan seorang lagi mengunjungi keluarganya.

Malam Pertama.
Jam lima sore listrik menyala. Saya cek isi batere laptop masih tinggal separuh, cukup untuk digunakan saat presentasi besok pagi, namun batere ponsel tinggal satu strip,minta dicharge. Saya lihat teman-teman yang lain berebutan colokan listrik karena tenaga batere handphonenya telah habis.  Saya baru sadar kalau listrik menjadi sangat berarti bagi para pengguna peralatan digital, sementara di sini listrik hanya menyala di sore pukul 17.00 hingga pagi pukul 05.00. Pagi sampai sore berikutnya listrik padam. Saya mengalah menunggu semua sudah selesai menambah tenga baterenya,sekitar tengah malam. Tubuh terasa lelah karena tidak istirahat siang. Saya berencana setelah makan malam akan beristirahat sehingga besok pagi tubuh kembali fit untuk melakukan presentasi.
 “Makan malam, nanti di rumah makan, sebelah timur alun-alun kecamatan,” terang pak Sariful ketua rombongan.
“menu apa,Pak?” celetuk salah seorang teman.
“Terserah, ada pilihan macam-macam; ikan laut, daging, ayam goreng  tersedia juga disitu.”
Usai salat isyak sebagian naik mobil antar jemput dan sebagian lagi dibonceng sepeda motor menuju lokasi rumah makan. Melewati lapangan sepakbola yang merupakan aktivitas penduduk di pagi dan sore hari. Di sebelahnya rumah makan yang dituju. Rumah makan dengan bangunan bambu yang artistik dan estetik. Seperti rumah makan yang ada di kota besar. Ada meja kursi bagi yang ingin duduk formal namun juga tersedia panggung yang tak terlalu tinggi (sekitar 40 cm) untuk mereka yang ingin lesehan. Kawan-kawan memilih menu olahan laut; kepiting, udang, cumi dan kakap. Tiga yang disebut pertama saya berpantang karena kandungan kolesterolnya tinggi. Tapi tak ada pilihan lain saya memilihnya juga walau hanya sepotong tapi tidak, untuk kepiting. Es jeruk jadi  penutup makan malam. Sajian yang khas Cumi, udang, kepiting dan kakap ukuran besar. Sajian yang membuat benar-kenar perut jadi kencang sepertinya tak ada ruang lagi buat sisa udara.
Selesai makan saya dan beberapa teman memilih berjalan kaki ke tempat penginapan. Selain ingin melihat suasana malam di sekitar pusat kecamatan Arjasa, juga untuk melonggarkan perut yang kenyang sehingga bisa tidur nyaman. Suasana yang ramai namun tidak gaduh. Beberapa penjual makanan mengelilingi lapangan. Agak ke sudut sebuah masjid jamik megah berdiri berwarna hijau keemasan. Sebuah gedung olah raga – lapangan bulu tangkis indoor  cukup besar. Fasilitas umum yang mampu melahirkan atlet bulutangkis yang tangguh dari bumi bekisar. Untuk bidang olahraga bulu tangkis siswa dari Kangean mampu bersaing dengan siswa lain yang ada di daratan kabupaten Sumenep.
Suasana malam benderang disinari lampu jalanan dan terlihat malam bergitu bersinar. Beberapa  penduduk bercengkerama di depan rumah dan beberapa remaja tengah berjalan-jalan menghirup angin malam di seputar lapangan. Sementera di bebarapa tempat terdengar suara sutil beradu dengan wajan, diiringi deru suara kompor gas tengah memanasi makanan yang siap disajikan. Inilah kehidupan, sebagian penduduk laki-laki Kangean merantau sampai ke negeri Jiran, sementara penduduk dari pulau Jawa berdatangan ke Kangean mengadu peruntungan dengan berjualan makanan. Konon di sinilah pusat keramaian kecamatan Arjasa.
Sampai di penginapan di halaman depan, di gardu terdapat beberapa orang cangkrukan, ada kawan guru yang berkonsultasi dengan petugas  Dinas Pendidikan kabupaten. Dan ada pula tengah dipijat oleh tukang urut. Pak Sutejo, meminta bantuan kawan guru di Kangean untuk mendatangkan tukang pijat, karena tubuhnya terasa lelah.  Jam digital di pesawat handphone menunjukkan pukul 21.00 kantuk saya tak tertahan. Saya mohon pamit kepada teman yang lain untuk masuk kamar tidur lebih awal. Udara panas, terasa gerah. Tak ada kipas angin. Celakanya saya mendapatkan kamar yang sumpek tempat tidur yang ala kadarnya. Namun karena kelelahan sepanjang perjalanan siang tadi, akhirnya saya terlelap juga.
Keringat membasahi kaos yang saya pakai untuk tidur. Saya terbangun. Keringat menetes di dahi. Udara terasa panas diselingin gigitan nyamuk dengan suaranya menggeruweng menabuh gendang telinga. Saya terbangun Pukul 03.20 menit. Saya beranjak dari tempat tidur dan mengambil sebotol air mineral yang ditaruh di dekat tempat tidur. Guyur air lewat kerongkongan seperti menyerap panas yang menjalar di sekujur badan. Segar. Saya menuju kamar  mandi mengguyur tubuh dengan air yang terasa menyerap hawa panas. Tubuh benar-benar terasa segar. Sambil menunggu subuh, saya duduk di ruang tamu yang cukup lebar. Mata saya tertuju ke meja di ruang tamu beberapa perangkat digital bergelantung dan soketnya menempel pada colokan listrik. Mereka berebut colokan listrik menambah tenaga batere laptop, notebook, tablet, dan smartphone. Cadangan energi untuk digunakan esok pagi.
Azan subuh terdengar dan pagi mulai berisik. Ayam berkisar di kurungan di depan kantor UPT Dinas Pendidikan terdengar berkali-kali berkokok dengan cengkoknya, khas bekisar Kangean. Konon,dulu pulau ini amat terkenal dengan ternak ayam bekisar (persilangan ayam kampung dengan ayam hutan).
Sarapan pagi nasi lemak ayam  goreng dan ikan laut. Lezat dan terasa khas, tak sama rasanya dengan yang pernah saya makan di kota.
Pukul tujuh kami diantar oleh petugas ke tempat workshop. Pagi yang cerah. Susana cukup ramai. Beberapa orang siap berangkat kerja; berbelanja ke pasar, ke kantor, dan beberapa pelajar berseragam berangkat ke sekolah.  Sepanjang jalan di sisi kiri pemukiman dan sebelah kanan ladang-ladang terbuka ditumbuhi rerumputan dan belukar bersemi disentuh hujan di awal musim penghujan. Rumah-rumah degan warna cerah dan pagar besi yang gagah. Di setiap rumah hampir dapat dipastikan terdapat gardu kecil tempat beberpa perempuan bercengkerama atau menggerai rambut dissiir oleh perempuan lainnya. Uniknya hampir di sepanjang jalan dirumah-rumah lebih banyak terlihat kaumhawa daripada lelakinya.
Bertemu Pak Aminudin
Sampai di lokasi kegiatan,beberapapeserta sudah banyakyang bercengkerama di depan ruangan kelas. Petugas menyalakan genset dan sebentar lagi acara akan dimulai. Saya ekbagian dikelas sebelah kelas C untuk memberi materi  Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Para pesertanya rata-rata guru senior dan bahkan berumur lebih tua dari saya. Canggung rasanya, tetapi ini saya letakkan posisi sebagai sharing, berbagi informasi. Di ruangan yang seharusnya berisi 40 orang masih banyaktempat duduk yang kosong. Satu per satu mereka berdatangan.
Satu di antara mereka ada yang amat saya kenal.  Saya lupa namanya. “Ibu,siapa nama Bapak yang ada di belakang, berkumis?” saya tanya seorang ibu di dekat saya.
“ Pak Aminudin, Bapak.” Jawabnya sambil tersenyum.
                Saya ingat Pak AMin, begitu dia biasa dipanggil. Seorang kawan pada saat diklat Calon Kepala Sekolah. Saya ingat betul Pak Amin orangnya sangat kocak, banyak banyolan yang dilontarkan membuat suasana ruangan menjadi gaduh. Jika penyaji tidak mampu mengendalikan laju presentasi diruangan, alamat Pak Aminudin yang akan mengambil alih situasi. Bisa kacau acaranya. Jangan-jangan di kelas ini dia berulah. Untuk redam suasana presentasi yang akan dilakukan, di awal perkenalan saya ceritakan bahwa di antara peserta ada satu yang amat saya kenal, Bapak Aminudin. Teman saat mengikuti Diklat Calaon Kepala Sekolah. Peserta lain tertawa gaduh karena karena ketika saya ceritakan kesan saya terhadap Pak Amin saat diklat, beliaunya merasa sungkan.
“Ah, saya merasa tidak enak ,malu.” Bisiknya ke teman sebelahnya.
Benar saja sepanjang sesi penyampaian materi dia tenang. Pun saat dikusi takberulah sperti waktu mengikuti diklat calon kepala sekolah. Saat diskusi jadi amat menarik karena banyak hal yang mereka tanyakan. Umumnya mereka merasa keberatan dengan tuntutan kewajiban dalam pengembangan keprofesian berkelanjutan. Bagi mereka datnag ke sekolah untuk mengajar saja sudah merupakan perjuangan yang amat berat. Jalan berbatu karang dan terik menggila jika kemarau tiba, dan jalan berlepotan lumpur serta licin jika musim penghujan tiba. Beban berat masih ditambah lagi untuk  menyemangati anak-anak pulau yang membutuhkan perhatian lebih di bidang pendidikan.
Saya tidak meragukan perjuangan mereka, beberapa di antaranya berasal dari pulau Jawa. Sudah puluhan tahun mengabdi sebagai guru,menikah dengan penduduk setempat dan bermukim di Kangean. Setahun sekali baru merekapulang ke Pulau Jawa. Mereka telah menjadi pendudukasli setempat, dari adat istiadat dan cara bertutur sapa menyatu dengan kehidupan masyarakat umumnya.
Di sesi yang kedua sing harinya,saya kebagian mengisi di kelas B. Suasana kelas jauh lebih hidup dan diskusi  lebih menarik dengan berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Saat Jam istirahat siang Pak Sudarman mengingatkan saya untuk makan malam di rumahnya. Sya berjanji akan mendatanginya bersama teman-teman penyaji yang lain. Sudarman bercerita WAchid,ketika SMA manejadi anak asuh kawan guru olah raga bapak Sutrisno. Setamat dari STPDN menjadi camat di kota Jember. Kini telah ditarik ke pemerintahan pusat jadi Dirjen di Kementerian Perhubungan.                
Saya semakin yakin jika anak-anak di pulau ini mendapatkan kesempatan yang sama, mereka juga mempunyai peluang kesuksesan yang sama dengan anak-anak di kota atau daratan lainnya. Sayang memang jika anak-anak di usia sekolah tidak mendapatkan pengajaran danpendidikan yang berkualitas.
Sore hari sekitar pukul 16.00 semua sesi sudah selesai dan dilanjutkan dengan penutupan.
                Sore pukul 16.00 WIB acara workshop ditutup dan kepada para peserta diberikan sertifikat sebagai asesor PKG-PKB di sekolah tempat bertugas. Merekaseperti terlepas dari tekanan dan segera pulang. Satu-dua orang guru masih bercengkerama dengan panitia.  Kegiatan yang amat mengesankan bagi saya,karena keramahan para guru dan para petugas sehingga saya dan teman-teman bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Ternyata,mobil jemputan belum datang.  Di halaman sekolah yang luas,pandangan jadi lapang di dekat pintu masuk pohon asam yang rindang melambai pelan seperti  menyambut sore yang mulai menguning. Di sebelah kanan bangunan kelas gedung perpustakaan yang mungil menghadap arah matahari bangkit. Sekolah yang teduh dan tenang untuk belajar.
Tiga puluh menit kemudian mobil jemputan datang.  Saya dan dua orang teman yang ikut di dalamnya sedangkan 3 teman yang lain sudah pulang diantar beberapa peserta pelatihan.  Perjalanan balik yang menyenangkan selain karena tugas sudah selesai,  besok pagi kembali ke Sumenep. Jalanan lengang dan sesekali debu berterbangan di aspal jalan yang rusak.
Sampai di tempat penginapan ruang tamu ramai oleh beberapa peserta yang memiliki keperluan kepada petugas dari Dinas Pendidikan Sumenep. Saya lihat diantara mareka membawa souvenir  yang akan diberikan kepada rombongan dari Sumenep berupa tongkat dari kayu Sentigi dengan pegangan berbentuk kepala garuda.  Tongkat yang menarik,unik.
Malam sehabis isyak  saya dan rombongan berangkat ke rumah bapak Sudarman untuk makan malam bersama. Sebuah hunian yang asri di dekat tegal dan persawahan yang luas. Ternyata disitu sduah menunggu bapak Sudarman dan beberapa kawan Kepala Sekolah Dasar menyambutnya. Aroma masakan yang sedap menyengat hidung.  Kuah masih mengepulkan asap menandakan baru diangkat dari tempat penghangat. Ayam bakar, kakap,tongkol, pepes tongkol dan kuah sop terhidang di meja.  Setelah bebasa-basi sebentar tuan rumah mempersilahkan menyantaphidangan. Ikan laut segar dibakar, aromadan rasa tak tertakar. Saya tidak makan nasi tetapi makan banyakikan dan sedikit nasi.  Satu kakapbesar dan satu ekor tongkol ukuran tanggung telah disantap. Makan malam yang berkeringat sebab sajian ditemani dengan bumbu kecap yang agak pedas.
Daripercekapan mereka saya dan teman-teman diberitahu bahwa besokpagi pukul tujuh rombongan akan kembali  dermaga denganmenumpang kapal Dharma Bakti Sumekar. Kapal penyenberangan Pemerintah Kabupaten Sumenep. Kelas ekonomi dengan harga tiket  Rp. 70.000.(tujuh puluh ribu rupiah).
“Di dek atau di kamar?” Tanya seorang di antaranya.
“Di dek,karena tiket untuk kamar sudah habis”  jawab panitia setempat yang diserahi tugas membeli tiket.
“Tak apalah nanti, bisamasukkamar dan untuk istirahat bisa membeli tikar kecil yang banyakdijual di kapal. Tak masalah sebab penumpang untuk besok sangat banyak, penuh. Makanya besok berangkat ke pelabuhan agak pagi biar tak berdesakan.”
“Kalau naik Dharma Bakti Sumekar,perjalanan dari kangean ke Kalianget kira-kira berapajam,Pak?”  tanya saya pada pak Sudarman.
“kalau tak ada halangan sembilan jam sudah sampai di pelabuhan Kalianget.”
Saya  bergumam dalam hati; tiga kali lipat waktu yang ditemopuh jikadibandingkan dengan kapal “Bahari Express”. Namun perjalanan ini akan sangat menarik buat saya,sebab iniperjlananpertama saya ke pulau Kangean dan menumpang kapal “Dharma Bakti Sumekar”. Waktu sembilan jam, bukan sebentar  di atas kapal. Paling lama naik kapal penyebrangan 3 jam menyeberang dari pelabuhan  Kalianget ke Pulau Sapudi.
Usai beramah tamah dengan tuan rumah pukul 21.05 saya kembali ke tempat penginapan.  Beberapa teman masih nongkrong di gardu depan berbagi cerita. Saya memilih kembali ke kamar tak tahan diserbu kantuk .(Hidayat Raharja)